Ketika menulis ini, saya baru saja selesai mengirim makanan untuk teman-teman yang sedang isolasi mandiri (isoman) di Solo, Yogya, dan beberapa teman di kota lain yang saya kenal. Teman saya yang lain yang punya banyak follower mengkoordinasi bantuan untuk anak-anak kos yang sedang isoman dan terkendala bantuan makanan, tempat tinggal, dan akses kesehatan. Alasan kami berdua sama, kami merasa ketika keluarga kami yang sakit, banyak dibantu teman-teman juga. Jadi sudah seharusnya ketika kami mampu, giliran kami membantu.
Saya memang tipe yang tidak suka berisik ketika sedang sedih atau kesusahan. Ketika sekeluarga saya sakit dengan ibu yang punya banyak komorbid, saya sengaja mematikan akun Facebook saya untuk sementara. Saya tidak tahan melihat dinding Facebook sudah seperti obituari. Tapi saya tetap terhubung dengan teman-teman dekat karena saya sadar, saya pasti butuh bantuan. Dan memang benar, ketika info saya sekeluarga sakit bocor ke beberapa orang, mereka mengirimi saya vitamin, wedang uwuh, jajanan, buah-buahan, madu, dan bahan makanan yang bisa dimasak untuk seminggu. Terharu? Jelas. Saya jadi sadar kalau punya teman-teman dan tetangga yang baik benar-benar rezeki yang tak terhingga.
Selain itu saya banyak mendengar dan membaca cerita yang tidak mengenakkan tentang orang-orang yang diusir ketika sedang isoman. Teman saya rumahnya dilempari batu dan dimaki-maki tetangganya diminta pergi karena dia positif Covid sekeluarga. Dia dianggap membawa penyakit ke lingkungan kampung itu. Di rumah sendiri lho itu kok disuruh pergi. Boro-boro dibantu dipenuhi kebutuhannya ketika isoman.
Tetangga teman saya yang lain, seorang perawat sudah berminggu-minggu tidak pulang karena ditolak tetangga-tetangganya. Sampai ketika anaknya menangis minta ketemu bapaknya, tengah malam tetangga teman saya itu mengendap-endap seperti maling untuk pulang ke rumahnya sendiri. Itu pun dia tidak berani memeluk anaknya. Setelah mandi dan membersihkan diri dia tetap memakai masker dan jaga jarak dengan anaknya. Yang penting anaknya sudah tidak menangis lagi.
Cerita anak kos yang diusir induk semang lebih banyak lagi. Saya paham mungkin pemilik kos keberatan kalau tempatnya untuk isoman, tapi ada beberapa kasus yang mereka mengusir anak kosnya tanpa memberi kesempatan untuk mencari tempat tinggal atau shelter. Saya membaca status teman saya yang kebetulan punya rumah yang tidak terpakai, dia menggunakan rumah itu sebagai tempat penampungan sementara anak-anak kos yang terkendala tempat untuk isoman. Dalam kondisi seperti ini saya sungguh ingin menjadi orang kaya yang dermawan agar bisa membantu yang lebih dari bantuan yang saya berikan sekarang.
Yang masih menempel di ingatan saya adalah cerita pegawai percetakan teman saya. Seorang ibu muda yang terkonfirmasi positif Covid dan punya bayi diminta keluar kos saat itu juga (saat itu tengah malam) karena pemilik kos-kosan tidak mau menampung orang yang positif Covid. Entahlah, setakut-takutnya pemilik kos ini apa ya tidak punya sisi kemanusiaan? Tengah malam, kondisi positif, dengan seorang bayi, harus mikir ke mana harus pergi. Untung saja teman saya masih punya ruangan di rumah bacanya untuk tempat penampungan sementara. Dua hari kemudian dia baru bisa pindah ke asrama haji untuk isoman di sana.
Cerita pengusiran yang tidak kalah dramatis berasal dari seorang mahasiswa teman saya. Waktu itu dia terkonfirmasi positif dan melapor ke bapak kosnya apakah bisa isoman di kos. Sebenarnya kalau tidak diizinkan pun tidak apa-apa, dia bisa mencari informasi tempat yang bisa untuk isoman. Tapi ternyata dia diusir saat itu juga sambil dimaki-maki sebagai pembawa virus. Padahal sebenarnya mahasiswa teman saya ini bukan tipe yang suka keluyuran dan abai prokes. Justru dia dikenal hati-hati, itu pun masih bisa kena. Untung saja teman saya punya ruangan di halaman rumahnya, sebuah paviliun yang dia gunakan sebagai tempat isoman untuk tetangganya yang tidak punya tempat. Mahasiswanya itu akhirnya ditampung di situ.
Mahasiswa teman saya sembuh dan pindah tempat kos. Tiga bulan kemudian ada kabar kalau bapak kosnya yang dulu sedang kritis dan butuh donor plasma konvalesen. Entah bagaimana ceritanya, keluarga bapak kos itu tahu kalau mahasiswa teman saya ini memenuhi syarat sebagai pendonor plasma bagi bapak kos itu. Apakah mahasiswa teman saya bersedia mendonorkan plasmanya? Ternyata tidak. Bahkan dia membuat status di WhatsApp story-nya begini:
“Orang yang mengusir dan memaki-maki saya dulu meminta donor plasma dan tidak saya kasih. Biarkan dia mati. Tolong jangan tiru saya. Hanya saya yang paham betapa sakit hati saya. Terserah kalian mau bilang apa.”
Miris. Saya tidak mau menghakimi mahasiswa itu. Betul, hanya dia yang paham betapa sakit hatinya saat itu. Bahkan dia sudah bilang “tolong jangan tiru saya” yang artinya dia mengaku kalau yang dia lakukan memang ada salahnya. Saya yakin dia sebenarnya anak yang baik. Saya justru bisa memahami bahwa dia juga manusia. Manusia yang bisa sakit hati. Dan kita tahu tiap hati orang itu berbeda. Seperti teman saya yang diusir tetangganya itu, dia memang akhirnya sembuh dari Covid, tapi ada hati yang masih terluka. Saya yakin, hubungannya dengan tetangganya tidak akan sama lagi. Begitu juga cerita mahasiswa tadi, dia mungkin sembuh dari Covid, tapi traumanya masih membekas hingga dia tidak mau menolong orang yang pernah mengusirnya. Sembuh dari Covid tapi sakit hati tidak hilang. Sungguh tidak mengenakkan rasanya yang tersisa seusai pandemi adalah sakit hati.
Belajar dari cerita-cerita tidak mengenakkan tersebut saya melakukan hal yang sudah saya ceritakan di awal tulisan. Saya ingin membantu sebisa saya. Karena ternyata masih banyak juga orang yang baik. Saya percaya pada dasarnya masyarakat kita itu baik dan peduli dengan sesamanya. Banyak cerita solidaritas semacam jaga tangga, warga bantu warga, sobat isoman, dan sebagainya. Saya sendiri belum bisa berbuat banyak. Hanya sebatas urun dana, bantuan makanan, membagikan info penting, dan hal-hal kecil semacam itu. Yang penting ikut memastikan kalau yang sakit jangan sampai merasa sendirian.
Saya merasakan sendiri ketika sekeluarga sakit dan harus di rumah, pertanyaan apa kabar dari teman dan kiriman-kiriman bantuan itu sangat berarti sekali. Bahkan saat ini ketika saya sedang mencari info rumah untuk tempat tinggal permanen saya nanti, selain soal aksesnya yang mudah dengan dunia luar dan fasilitas kesehatan, saya juga mencari info tentang calon tetangga saya nanti. Di masa-masa sekarang punya tetangga yang baik adalah privilese.
Saya tidak setuju ketika pemerintah mengglorifikasi gotong royong warga ini. Warga bantu warga itu memang sudah wajar dan sudah wataknya begitu. Apa tidak sadar kalau gerakan warga bantu warga ini sebenarnya nyemoni (menyindir) pemerintah, tapi yang di-semoni tidak merasa? Warga sampai bergerak sendiri ya karena negara tidak hadir untuk menyelesaikan masalah rakyatnya. Warga bantu warga, negara bantu siapa? Di hari-hari dengan suasana sendu, berita lelayu dan suara wiu-wiu ini memang kita seharusnya bersatu padu, bukan malah berseteru.
Gondangrejo, 17 Juli 2021
SUMBER : DETIK.COM