Oleh: Edward Pakpahan
Hiruk pikuk pemilihan umum sudah gencar bagaikan pasar. Pilih…pilih…pilih…teriak kandidat, berani berapa satu suara sambut si kandidat pemilih, tawar menawar harga pas angkat barang.
Pasar ini sudah jadi fenomena, kandidat legislatif berposisi jadi juragan membayar suara calon pemilih menunggu harga bagus satu suara.
Kenyataan pasar ini tidak selamanya jujur dan tidak resmi, sebutlah pasar gelap
Betapa hati ini remuk dengan realitas politik ini tanpa ada upaya pemberantasan perangkat pemilu: bawaslu/panwaslu. Sudah dipastikan hasil pasar gelap pemilu merugikan negara bahkan cenderung merusak moralitas bangsa.
Saya sedang intens mencari pemecahan masalah dikampung saya dari berbagai persoalan yg timbul. Namboru saya bertanya, Bapa penduduk akan memilih jika Bapa membangun sumur bor warga, jika tidak, mereka sedang membawa Caleg provinsi lain. Teknik berunding yg sesat, saya hanya jawab itu hak dan kebebasan. Penekanan dan ancaman buat sumur bor itu sampaikan ke Bupati bukan ke saya, jika penduduk tidak milih saya kembali lagi pada kebebasan dan hak.
Saya hanya tertawa, kenapa gak minta bangun pabrik hahaha……
Bahkan ada gereja yg terus terang minta saya datang ke gereja dengan menyebutkan batu demban (anggaran) tegas saja saya menolak dan mengatakan bukan saya tidak punya uang, tapi Anda mengajak saya supaya jadi penjahat, lebih baik jangan pilih saya mungkin masih ada yg rasional. Mungkinkah rasional sudah punah….
Fenomena ini sebagai isyarat pemilu gagal sebagai prinsip demokrasi
Selamat Hari Minggu