Vanuatu, negara ini terdengar asing di telinga warga Indonesia. Tak banyak yang tahu di mana letak Vanuatu.
Faktanya Vanuatu memang kecil. Mereka hanya memiliki luas area 12.189 kilometer persegi dan populasi penduduk 270 ribu.
Walau terdengar asing di telinga, negara di Pasifik Selatan ini berulang kali mengusik kedaulatan RI di Papua. Lebih ekstremnya, Vanuatu terang-terangan mendukung kemerdekaan Papua dari Indonesia.

“Isu Papua akan tetap menjadi yang paling utama dalam agenda politik Vanuatu,” sebut Sekretaris Parlemen untuk Kantor Perdana Menteri Vanuatu, Johny Koanapo, 2017 lalu seperti dikutip dari Daily Post Vanuatu.

Vanuatu memang memakai banyak cara demi menarik dukungan dan perhatian dunia soal isu Papua. Hampir setiap tahun mereka menyuarakan masalah Papua di berbagai forum PBB, salah satunya Sidang Majelis Umum. Terbaru, mereka merongrong Indonesia dengan menyelundupkan tokoh separatis Papua, Benny Wenda, ke kantor Komisi Tinggi PBB untuk HAM (KTHAM).

Merongrong Melalui PBB

Perjalanan Vanuatu membawa isu Papua berlangsung cukup panjang. Namun, mereka mulai lantang terhadap dukungan kemerdekaan Papua ketika dipimpin Perdana Menteri Charlot Salwai 2016 lalu.
Pada 2016, bersama enam negara Pasifik lainnya seperti Solomon Islands, Tonga, Nauru, Marshall Islands dan Tuvalu lewat Sidang Majelis Umum PBB mereka meminta diadakannya penyelidikan Dewan HAM PBB terhadap situasi di Papua.

Tindakan Vanuatu berulang pada 2017. Kali ini tuduhan yang sama hanya dibawa oleh Vanuatu dan Solomon Islands ke Sidang Majelis Umum PBB.

“Kami menyerukan seluruh rekan kami di dunia untuk mendukung hak hukum Papua Barat untuk menentukan nasibnya sendiri,” ucap Salwai seperti dikutip dari Radio New Zealand, pada September 2017 lalu.
“Indonesia harus segera mengakhiri segala bentuk kekerasan dan mencari kesamaan persepsi untuk memfasilitasi proses agar (Papua) bisa menentukan nasibnya sendiri,” jelas dia lagi.

Segala tuduhan yang disampaikan Vanuatu selalu dikonter oleh delegasi RI di New York. Sejumlah diplomat dikerahkan untuk memberikan keterangan mengenai kondisi Papua demi membantah tuduhan Vanuatu.

2018 lalu, Vanuatu kembali melakukan hal yang sama. Isu pelanggaran HAM di Papua dan dorongan untuk meminta restu negara dunia agar segera digelarnya referendum di Papua kembali diperdengarkan.
Kali ini Wakil Presiden Jusuf Kalla yang hadir di Sidang Majelis Umum PBB di New York menyampaikan pernyataan sikap tentang kedaulatan RI di tanah Papua yang coba diganggu Vanuatu. Ia meminta seluruh negara menghormati kedaulatan wilayah teritori RI.

“Indonesia melihat adanya upaya dari satu negara untuk mendukung atau bahkan yang lebih parah, menjadi bagian dari gerakan separatis. Sikap seperti ini tak memiliki tempat di sistem PBB. Sebuah sikap yang jelas-jelas melanggar prinsip yang dianut PBB,” tegas JK.

“Vanuatu itu selalu memunculkan isu yang tidak benar mengenai pelanggaran HAM, tentang tidak sahnya keputusan penggabungan Papua ke Indonesia. Maka itu kita tegas, sekali lagi ada itu, maka kita punya suatu cara untuk melawan itu,” jelas dia.
Sementara, ketika pada pekan lalu Benny Wenda dibawa delegasi Vanuatu ke Jenewa, Kementerian Luar Negeri juga melontarkan kecaman yang tak kalah keras.

“Indonesia mengecam keras tindakan Vanuatu yang dengan sengaja telah mengelabui KTHAM dengan melakukan langkah manipulatif melalui penyusupan Benny Wenda ke dalam delegasi Vanuatu,” sebut keterangan resmi Kemlu.

Solidaritas Pasifik

Guru Besar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana mengatakan, ada alasan di balik sikap Vanuatu yang mati-matian mendukung kemerdekaan Papua. Salah satunya adalah solidaritas negara Pasifik.

“Sebenarnya masalah solidaritas sesama negara Pasifik dan kesamaan ras. Vanuatu menganggap Papua tidak merupakan bagian dari Indonesia dan karenanya harus merdeka,” kata Hikmahanto kepada kumparan, Rabu (30/1).
Penduduk Papua dan warga Vanuatu diketahui merupakan ras Melanesia. Hikmahanto menilai Vanuatu yang menganggap Papua tidak bisa jadi bagian RI karena berbeda ras sepenuhnya salah.

“Padahal sebuah negara tidak berdiri atas dasar ras. Seperti Amerika serikat, negara tersebut terdiri dari berbagai ras. Demikian pula dengan Australia. Lalu mengapa Vanuatu tidak membela hak-hak orang aborigin di Australia? Ini merupakan suatu kejanggalan,” ujar Hikmahanto.

Sementara, pengamat politik internasional Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, menyatakan Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri sudah bertindak tepat dengan mengecam dan bertindak tegas atas dukungan Vanuatu terhadap kemerdekaan Papua.

“Ide-ide (kemerdekaan Papua) ini digoreng terus (oleh Vanuatu) dan sudah selayaknya Kemlu bertindak keras untuk itu karena resikonya kedaulatan NKRI, jangan sampai terdapat imej RI tak bisa kelola rumah tangganya sendiri,” ucap.

(Sumber: Kumparan news)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here