Prof. Suteki yang meneropong Omnibus Law Cipta Kerja setelah menjadi UU No. 11 Tahun 2020 menyimpulkannya sebagai UU paling kontroversial pada tahun 2020.
(TintaSiyasi.com, Desember 19, 2020)
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Negeri Diponegoro (UNDIP) itu Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum memapar UU Cipta Kerja. No.11 Tahun 2020 merupakan RUU atau UU yang paling kontroversial di tahun 2020. Karena menurut dia Prof. Suteki,
beberapa alasan UU Cipta Kerja layak disebut sebagai UU paling kontroversial, karena UU Cipta Kerja cacat formil dan materiil. “Akumulasi berbagai kecacatan UU Omnibus Law CLBK (Cipta Lapangan Bisnis dan Kerja), ini melahirkan residu yang berpotensi menyengsarakan rakyat, bukan menyejahterakan rakyat.
Minimal basic insting-nya tidak untuk employee welfare, apalagi social welfare. Sebab menurut dia adakah penguasa dan pengusaha mendesain pola kepemilikan saham bersama pekerja atau buruh yang dikenal dengan ESOP (Employee Stock Ownership Program) atau Program Kepemilikan Saham Bersama (Pengusaha dan Pekerja).
Berikut cacat dan cela dari UU Cipta Kerja itu tetap disahkan, meski sebenarnya telah kehilangan legitimasi.
Dan legitimasi sosial UU Cipta Kerja itu telah berakhir. Seperti terlihat dari penolakan oleh berbagai elemen masyarakat dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Kevuali itu, Prof. Suteki menilik sejumlah elemen masyarakat yang menolak RUU Cipta Kerja tersebut terus berlanjut sampai sekarang (lebih dari sebulan lamanya sejak disahkan). Tak hanya kaum buruh, tapi juga Ormas besar seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah serta MUI (Majelis Ulama Indonesia) hingga ratusan ormas lain, termasuk akademisi, para pelajar dan mahasiswa sampai dosen.
Jadi yang menolak Omnibus Law Cipta Kerja itu hingga disahkan menjadi UU No. 11 Tahun 2020 bukan cums sarjana serta doktor maupun profesor. Tetapi juga para sktivis Buruh, Lembaga Hukum, Lembaga Bantuan Hukum, Pemerintah Daerah hingga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juga menolak dan minta Omnibus Law Cipta Kerja itu dicabut atau dibatalkan.
Penolakan yang tak kalah penting menurut Profesor Suteki adalah dari masyarakat internasional, yaitu tiga puluh lima investor asing Amerika dengan nilai investasi 4,1 trilyun dollar AS. Bahkan ASEAN Parliamentarians for Human Rights ( APHR), serikat buruh/ pekerja internasional ITUC (The International Trade Union Confederation) juga menolak.
Pertanyakannya, mengapa rezim tetap bersikeras mengesahkan RUU Cipta Kerja tersebut. Sejatinya rezim legislator kita itu sebenarnya mewakili siapa?
Kok ya, terus ngotot mensahkanvUU No. 11 Tahun 2020 yang jelas tidak berpihak pada rakyat. Dan sebenarnya UU Cipta Kerja itu sebenarnya untuk siapa?
Kesangsian terhadap tezim legislator yang memaksakan kehendaknya yang jelas-jelas ditolak oleh rakyat ini, apakah masi berpegang pada adagium, salus populi suprema lex esto?
Guru Besar dan Pakar Hukum ini juga meluhat beberapa UU lainnya yang kontroversi dan merugikan rakyat seperti UU Covid-19, UU Minerba, RUU HIP, dan RUU BPIP. Semua UU dan RUU yang disebutkan itu berpotensi juga merugikan rakyat baik secara ideologis, ekonomis serta politis.
Menurut Profesor Suteki UU Covid telah membuat buyarnya asas trias politica. Karena fungsi anggaran dan kontrol DPR tidak berjalan, fungsi pengawasan pemeriksaan BPK jadi terpasung. Dan semua kekuasaan jadi memusat pada eksekufif.
Dari UU Minerba menurut dia juga amat sangat merugikan secara ekonomis. Sebab UU Minerba itu akan sangat merugikan perekonomian nasional. Sebab perusahaan tambang yang seharusnya sudah kembali ke pangkuan negara (BUMN), menjadi panggah atau tetap dikuasai oleh perusahaan swasta hingga puluhan tahun lamanya.
Akibatnya, menurut Profesor Suteki, kerugian dari sisi ideologis RUU HIP dan BPIP itu misalnya, telah men-downgrade Pancasila dan memberi ruang ideologi komunis berkembang lagi di Indonesia sehingga negara Indonesia bisa berubah menjadi negara sekuler bahkan ateis, tak bertuhan.
Oleh karena itu agaknya atas kesadaran serta rasa tanggung jawab segenap warga bangsa Indonesia, terutama kaum buruh yang merasa semakin terancam masa depannya, wajar bila akan terus bereaksi dengan unjuk rasa turun ke jalan-jalan sepanjang UU yang mengancam masa depan itu tidak diperbaiki.
SUMBER : JACOB ERESTE