Oleh: Timboel Siregar
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya Dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah ditandatangani oleh Menteri Kesehatan tanggal 17 Desember 2018 lalu. Permenkes ini mengatur ketentuan baru tentang urun biaya dan Selisih Biaya yang menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat.
Urun biaya diamanatkan Pasal 22 ayat (2) UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Untuk jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, peserta dikenakan urun biaya. Dalam penjelasannya disebutkan jenis pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan yang membuka peluang moral hazard (sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta), misalnya, pemakaian obat-obat suplemen, pemeriksaan diagnostik, dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medik. Secara operasional, urun biaya diatur di Pasal 80 dan 81 Peraturan Presiden (Perpres) 82/2018 yang mengamanatkan lahirnya Permenkes 51/2018.
Mengingat jenis pelayanan kesehatan yang bisa diurun biaya belum ditetapkan oleh menteri kesehatan, maka urun biaya ini belum berlaku hingga saat ini. Namun ketika Permenkes 51 terpublikasi, terjadi “kegaduhan” di media sosial, yang menyebutkan urun biaya sudah berlaku dan Program JKN tidak gratis lagi. Tentunya kegaduhan tersebut tidak perlu terjadi bila Kementerian Kesehatan mau lebih dahulu melakukan kajian tentang jenis pelayanan kesehatan yang bisa diurun biaya dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, termasuk peserta JKN, sebelum Permenkes 51 diterbitkan. Yang terjadi adalah Permenkes No. 51 sudah diterbitkan tapi jenis pelayanan kesehatan yang bisa diurun biaya belum juga ditetapkan.
Kalaupun nanti jenis pelayanan kesehatan yang bisa diurun biaya sudah ditetapkan, tentunya tidak semua jenis pelayanan kesehatan yang akan bisa diurun biaya, sehingga peserta JKN tidak perlu khawatir. Dan kalaupun ditetapkan maka tidak otomatis peserta JKN akan membayar urun biaya tersebut. Urun biaya atau tidak itu bergantung pada keputusan peserta. Kalau peserta JKN mau berproses sesuai indikasi medis, maka tidak perlu urun biaya. Urun biaya hanya dikenakan bagi pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan yang dipengaruhi selera dan perilaku peserta.
Mengacu pada Pasal 6 dan 7 Permenkes 51, rumah sakit (RS) wajib menginformasikan jenis pelayanan yang dikenai urun biaya dan estimasi besarannya kepada peserta sebelum dilaksanakan pemberian pelayanan kesehatan. Pesertalah yang akan memutuskan persetujuan untuk urun biaya. Bila peserta mengalami permasalahan dengan urun biaya maka peserta dapat langsung melaporkan hal tersebut ke Unit Pengaduan BPJS Kesehatan yang ada di RS.
Selisih Biaya
Terkait dengan selisih biaya, ketentuan ini sudah lama diatur. Namun ketentuan lama direvisi oleh Pasal 10 ayat (5) Permenkes 51/2018 yang mensyaratkan peningkatan kelas perawatan hanya dapat dilakukan satu tingkat lebih tinggi dari kelas yang menjadi hak peserta. Di ketentuan sebelumnya, peserta JKN bisa naik kelas perawatan lebih dari satu tingkat dengan membayar selisih biaya ke RS.
Menurut saya, ketentuan Pasal 10 ayat (5) ini tidak tepat. Harusnya ketentuan tentang naik kelas perawatan tidak perlu direvisi. Alasannya adalah, pertama, BPJS Kesehatan tidak dirugikan ketika peserta naik kelas perawatan lebih dari satu tingkat. BPJS Kesehatan tetap membayar sesuai INA CBGs kelas perawatan peserta JKN. Pesertalah yang membayar selisih biaya tersebut ke RS secara tunai.
Kedua, dengan dibatasinya naik kelas perawatan maka peserta JKN akan dirugikan dan hal ini akan mengurangi tingkat kepuasan peserta JKN.
Ketiga, ketentuan ini akan mengganggu pelaksaan COB (coordination on benefit) sehingga bisa mengurangi hak pekerja Peserta Penerima Upah (PPU) swasta yang dijamin asuransi kesehatan swasta. Pekerja PPU yang mendapat kelas 2 hanya boleh naik ke kelas 1, tidak boleh sampai ke kelas VIP. Umumnya asuransi kesehatan swasta menjamin pelayanan kesehatan PPU swasta sampai kelas VIP. Dengan terganggunya COB, asuransi kesehatan swasta akan semakin tidak diminati oleh perusahaan swasta maupun BUMN. Ini merupakan kerugian bagi perusahaan asuransi kesehatan swasta.
Keempat, pihak RS pun akan kehilangan potensi pendapatannya dari selisih biaya yang dibayar oleh peserta. Dengan naik kelas lebih dari satu tingkat maka RS akan berpotensi mendapatkan dana tunai lebih besar lagi secara langsung dari peserta, yang bisa langsung digunakan untuk membiayai operasional RS. Hal ini tentunya akan membantu cash flow RS yang selama ini bermasalah karena klaim RS belum dibayar oleh BPJS Kesehatan.
Untuk memastikan bahwa Permenkes ini tidak membingungkan dan membuat kegaduhan bagi peserta JKN, seharusnya Kementerian Kesehatan bersikap terbuka dan melibatkan perwakilan peserta JKN dalam menetapkan jenis-jenis pelayanan kesehatan yang dapat diurun biaya, dan kemudian harus dilakukan edukasi, sosialisasi serta pengawasan yang baik tentang urun biaya ini kepada peserta JKN.
Tentang selisih biaya, mengingat banyak pihak yang dirugikan dalam ketentuan baru ini dan BPJS Kesehatan tidak dirugikan, seharusnya ketentuan Pasal 10 ayat (5) Permenkes 51 ditinjau ulang, dan peserta JKN dibolehkan naik kelas perawatan lebih dari satu tingkat. Kementerian Kesehatan harus memastikan cash flow RS bisa lebih baik di tengah persoalan belum selesainya BPJS Kesehatan membayar seluruh tunggakan klaim RS, dan Program COB bisa lebih diminati pihak perusahaan swasta dan BUMN.
Semoga pelaksanaan Program JKN di tahun keenam ini bisa semakin lebih baik tanpa harus terjadinya kegaduhan di tengah masyarakat, dan Pemerintah bisa menyelesaikan masalah defisit pembiayaan JKN secara sistemik.
Timboel Siregar, koordinator advokasi BPJS Watch dan sekjen OPSI.
(Sumber:Suara Pembaharuan, 11/03/2019)