Kenaikan upah minimum yang layak, diiringi penguatan pengawasan dan penegakan sanksi, akan menopang kualitas pemulihan ekonomi. Buruh khawatir sistem baru penentuan upah menahan laju kenaikan upah jadi lebih moderat.
Tahun depan, penetapan upah minimum menurut rencana resmi mengikuti rezim Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sistem baru ini ditengarai akan menahan laju kenaikan upah minimum tahunan menjadi lebih moderat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Setidaknya ada tiga perubahan mendasar. Pertama, rumusan upah minimum tidak lagi ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi. Ke depan, penetapan hanya mengacu pada salah satu indikator yang nilainya lebih tinggi.
Kedua, munculnya variabel penghitungan selisih batas atas dan batas bawah upah minimum. Variabel ini didapat dengan menyandingkan nilai rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata jumlah anggota rumah tangga (ART), dan rata-rata jumlah ART yang bekerja di setiap rumah tangga.
Ketiga, penetapan upah minimum tidak lagi mempertimbangkan analisis kebutuhan riil lewat survei komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Perkiraan biaya hidup pekerja dipukul rata berdasarkan indikator ekonomi makro.
Buruh khawatir perubahan sistem pengupahan itu akan membuat standar upah menjadi lebih murah. Kurang dari dua bulan lagi, kekhawatiran itu akan diuji dan kemungkinan besar dapat terbukti.
Seperti kata Wakil Ketua Dewan Pengupahan Nasional dari unsur pengusaha, Adi Mahfudz, upah minimum provinsi (UMP) 2022 bisa naik, bisa juga turun. Namun, ia mengakui, laju kenaikannya tidak akan setinggi tahun-tahun sebelumnya ketika penetapan upah minimum masih bisa dinegosiasikan dan mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan inflasi (Kompas, 24/9/2021).
Sebagai simulasi kasar, ambil contoh DKI Jakarta sebagai provinsi dengan upah minimum provinsi tertinggi. Mengacu pada rumus baru, UMP Jakarta 2021 naik dari Rp 4,27 juta menjadi Rp 4,36 juta. Sementara itu, jika memakai rumus lama, UMP Jakarta 2021 naik lebih tinggi, yakni Rp 4,66 juta.
Contoh lain, DI Yogyakarta yang memiliki upah minimum terendah. Dengan memakai rumus lama, UMP DIY 2020 seharusnya naik dari Rp 1,57 juta menjadi Rp 1,71 juta. Namun, dengan rumus baru, kenaikan UMP DIY 2020 menjadi Rp 1,67 juta. Tentu ini masih simulasi kasar karena data riil teranyar dari BPS belum dirilis.
Sistem baru ini memang sedikit mengurangi kesenjangan upah minimum antarprovinsi. Namun, alih-alih mendorong kualitas upah minimum yang layak secara merata, sistem ini mengerem dan mengorbankan laju kenaikan upah minimum di daerah lain.
Kepatuhan rendah
Laporan Global Wage Report 2020/2021, ”Wages and Minimum Wages in the Time of Covid-19”, oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat, di tengah krisis ekonomi akibat pandemi, upah minimum layak berperan penting untuk menahan masyarakat jatuh ke jurang kemiskinan.
Hakikat dasar upah minimum adalah sebagai perlindungan atau instrumen jaring pengaman (safety net) agar pekerja tidak dibayar semena-mena. Upah minimum juga seharusnya hanya berlaku untuk pekerja lajang yang baru masuk ke dunia kerja.
Itulah mengapa undang-undang mengharuskan upah minimum dibayarkan kepada pekerja dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Di atas itu, harus lebih tinggi dengan mengacu pada struktur dan skala upah sepatutnya, sesuai masa kerja, jabatan, produktivitas, dan kompetensi pekerja.
Namun, nyatanya, tingkat kepatuhan (compliance) pengusaha untuk membayar pekerjanya sesuai upah minimum masih terhitung rendah. Bahkan, masih banyak pekerja yang dibayar di bawah standar.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional Februari 2021, sebanyak 49,67 persen pekerja masih digaji di bawah upah minimum. Hampir setengah dari total pekerja di Indonesia dibayar di bawah standar.
Data Sakernas Februari 2021, sebanyak 49,67 persen pekerja masih digaji di bawah upah minimum. Dari 34 provinsi, ada 11 provinsi yang rata-rata upah riil bersihnya di bawah standar upah minimum.
Hasil olahan data Sakernas Februari 2021 menunjukkan, dari total 34 provinsi, masih ada 11 provinsi yang rata-rata upah riil bersihnya di bawah standar upah minimum yang berlaku. Misalnya, standar upah minimum Aceh pada 2021 adalah Rp 3.165.030, tetapi rata-rata upah bersihnya Rp 2.317.419. Kepatuhan juga rendah di Sumatera Selatan, yakni dengan upah minimum Rp 3.043.111 dan rata-rata upah bersih Rp 2.348.034.
Pandemi seharusnya tidak menjadi alasan karena ketidakpatuhan menjalankan upah minimum tidak hanya terjadi saat ini. Dalam empat tahun terakhir, kepatuhan pengusaha menggaji buruh sesuai standar minimum selalu ada di kisaran 49-57 persen.
Pengawasan lemah
Kondisi ini seharusnya dapat dihindari dengan mewajibkan perusahaan membayar upah sesuai struktur dan skala upah. Undang-Undang Cipta Kerja mengatur, pengusaha yang memberikan gaji di bawah upah minimum dikenai sanksi pidana penjara 1-4 tahun dan/atau denda minimal Rp 100 juta dan maksimal Rp 400 juta. Namun, aturan ini hanya garang di atas kertas.
Sumber masalah berbagai konflik ketenagakerjaan adalah lemahnya pengawasan dan penegakan sanksi. Kementerian Ketenagakerjaan berulang kali mengeluhkan minimnya jumlah pengawas ketenagakerjaan. Idealnya diperlukan 6.000 pengawas yang disebar di semua kabupaten/kota. Nyatanya, jumlah pengawas saat ini hanya 1.586 orang dan terpusat di Jakarta atau ibu kota provinsi.
Di sisi lain, masih banyak pekerja yang tidak berserikat sehingga posisi tawarnya lemah untuk memperjuangkan hak. Ada pula yang tidak tahu bahwa dirinya berhak dan wajib dibayar sesuai UMP sehingga banyak kasus pelanggaran tidak diketahui dan berujung data statistik di BPS.
Padahal, upah minimum dapat menjadi instrumen efektif mencegah kemiskinan. Simulasi dalam laporan Global Wage Report 2020-2021, jika pengusaha patuh menjalankan upah minimum dan aturan itu diterapkan merata kepada semua kelompok pekerja, tingkat kemiskinan dan kesenjangan dapat berkurang signifikan. Apalagi jika diterapkan sesuai struktur dan skala upah.
Perdebatan perlu tidaknya menaikkan upah minimum sedang menjadi polemik global. Pandangan tradisional menilai, kenaikan upah dapat membebani pelaku usaha, menggerus lapangan kerja, dan mendorong pengangguran. Konsumen juga bisa rugi karena biaya ekstra untuk upah dikompensasikan pada harga barang/jasa yang dihasilkan.
Namun, pandangan baru mendebat itu dan menempatkan kenaikan upah sebagai bentuk investasi yang akan mendorong konsumsi, menarik investasi, dan menggerakkan ekonomi. Saat krisis, upah minimum layak justru diperlukan. Jika warga tidak punya cukup uang untuk membeli kebutuhan hidup, konsumsi tertahan dan ekonomi sulit pulih. Terlebih di negara yang mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai penggerak ekonomi.
Tentu saja, besarannya harus tetap proporsional, sesuai dengan kebutuhan riil buruh dan kondisi perekonomian setempat. Kenaikan upah minimum yang layak dan proporsional, diiringi penguatan instrumen pengawasan dan penegakan sanksi, akan menopang pemulihan ekonomi yang lebih berkualitas.
SUMBER : KOMPAS.ID