Barbara Ehrenreich menulis dalam “Dancing in the Streets: A History of Collective Joy”, pengumpulan massa telah lama dipakai oleh para pemain politik untuk menunjukkan kekuatannya. Biasanya mereka menggunakan isu agama dan sosial dalam menyedot energi komunal dengan tujuan untuk mengglorifikasi kekuatannya. Sistem politik berbasis elektoral selalu berupaya untuk menjinakkan pertemuan massal dengan momentum yang mereka ciptakan sendiri. Mengacu kepada antropolog Robin Dunbar, Ehrenreich menyebutkan praktik semacam ini sudah terjadi sejak era Zaman Batu.
Namun Russel Neuman menulis secara lebih kontekstual lagi dalam “The Paradox of Mass Politics”. Menurutnya, pengumpulan massa cenderung memanfaatkan orang-orang dengan pengetahuan politik rendah, memanipulasinya, dan mengerahkannya melalui anjuran kultus-kultus yang paradoksal dengan budaya demokrasi ideal. Kata Neuman, “kelompok politik yang selalu berusaha menampilkan jumlah massa besar, adalah mereka yang cenderung memiliki elektabilitas rendah dan tidak yakin dengan daya pikat politik yang dimilikinya”.
Di Indonesia ini bukan sesuatu yang aneh. Dalam kerumunan yang diciptakan untuk tujuan politik, jumlah manusia yang hadir tidak pernah spesifik. Seringkali dilebih-lebihkan dan manipulatif. Dampaknya kemudian, klaim jumlah massa berbanding terbalik dengan perolehan suara. Dalam dua kali Pemilu pada 2014 dan 2019, kelompok “Monaslimin” yang mengaku memiliki massa puluhan juta, ternyata menunjukkan sebaliknya dalam kotak suara.
Tapi politik memang penuh dengan kosmetik. Ada banyak “makelar” elektoral yang memainkan pengumpulan massa untuk tujuan transaksional. Ini ranah yang seksi. Meski kerumunan itu secara umum tak saling mengenal, tapi selalu sibuk mengadakan “reuni”. Bahkan uniknya lagi, kadang reuni itu terjadi berdekatan; tanggal 2 Desember diadakan reuni, dua bulan kemudian pada 21 Pebruari reunian lagi. Padahal mereka baru lulus tahun 2017, dari “Universitas Pilkada” fakultas “Ayat dan Mayat”.
Redaksi SBSINEWS
2 Desember 2021