JAKARTA SBSINEWS – Ketetapan upah minimum provinsi (UMP) Tahun 2019 telah disepakati sebesar Rp 2.303.403,- adalah kebijakan yang mencederai nasib dan kesejahteraan buruh di Sumatera Utara. Hal itu ditegaskan, Dewan Pengurus Pusat Konfedarasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPP (K) SBSI) melalui Sekretaris Wilaya I Sumatera (DPP – K) SBSI, Arsula Gultom, SH. kepada wartawan pada Selasa (23/10) saat melakukan konsolidasi di Medan.
Dikatakan Arsula, secara sistematis kenaikan UMP yang mengacu pada PP 78 Tahun 2015 secara hukum telah melanggar Pasal 88 dan 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Artinya, kebijakan itu tidak berdasarkan kesepakatan Tripartit yang melibatkan serikat buruh, pengusaha dan pemerintah, dalam melakukan survei daerah yang menjadi acuan penetapan UMP di Sumatera Utara. Sehingga, kebijakan yang akan diusulkan, adalah bentuk kebijakan otoriter pemerintah untuk menyampingkan nasib dan kesejahteraan buruh.
“Yang jelas, PP 78 Tahun 2015 harusnya dicabut. Mana lebih tinggi, undang – undang atau peraturan presiden. Kita tetap menolak kebijakan yang akan diumumkan pada 1 November nanti, karena kenaikan upah sangat rendah dibandingkan dengan UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Jadi, kita minta gubernur harus lebih teliti dan bijak mengumumkan keputusan itu,” tegas Arsula.
Dijelaskan oleh orang yang selama ini dikenal sebagai aktivias buruh, bahwa untuk Kota Medan dan Deliserdang, pada tahun 2018 telah melakukan gugatan di PTUN tentang pengupahan UMK, dalam gugatan itu, diputuskan untuk Kota Medan dan Deliserdang berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, makanya, buruh memperoleh upah lebih tinggi dari penetapan berdasarkan PP 78 Tahun 2015.
” Dalam salinan Putusan MA Nomor 120 K/TUN/2018 UMK Deliserdang dan MA Nomor 122 K/TUN/2018 UMK Medan sudah jelas, upah buruh dapat terlaksana oleh pengusaha sesuai dengan perkalian dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hasilnya, diperoleh UMK Medan sebesar Rp 2.749.074 dan Deeliserdang 2.720.100 serta untuk UMP untuk Sumatera Utara Rp 2.132.168,68. Terbukti, pengusaha bisa membayar upah buruh dengan kenaikan itu,” ungkap Arsula.
Melihat kebijakan UMP naik 8,03 persen, sangat tidak relevan dengan kondisi inflasi daerah, dimana kebutuhan di Provinsi Sumut dengan daerah lain berbeda, makanya, inflasi di Sumatera Utara lebih tinggi dibanding secara nasional. Sehingga, secara penghasilan dari PP 78 Tahun 2015 sangat rendah.
Oleh karena itu, Tripartit sebagai kelompok yang punya kewenangan, seharusnya dilibatkan dalam menetukan pengupahan di Sumatera Utara, berdasarkan 62 poin item survei menjadi acuan penetan upah. Perlu dijelskan, lanjut Arsula, biaya hidup buruh di Sumatera Utara berbeda dengan kebutuhan hidup di provinsi yang nilai inflasinya rendah.
Misalnya, pendapatan upah yang diperoleh buruh UMP Tahun 2019 Rp 2.303.403 sangat tidak sebanding dengan kebutuhan hidup buruh, dapat dijabarkan secara umum, kebutuhan transpor, sewa rumah, makan, pendidikan anak, biaya sosial dan kebutuhan lainnya. Apabila, ditungkan dari hasil pendapatan maka, selisih upah yang diperoleh tidak mampu memenuhi kebutuhan buruh.
“Ini yang harus dilakukan survei, jangan bilang ingin sejahterakan buruh, kalau belum turun ke lapangan. Makanya, jangan asal bilang kalau kenaikan ini sudah sesuai, mana buktinya. Harusnya, pemerintah tidak serta merta menaikan upah tanpa mendasari hasil keputusan bersama dalam Tripartit. Yang jelas, kalau tetap dengan keputusan itu, paling kita lakukan gugatan lagi, seperti tahun semalam,” ungkap Arsula.
Pengurus buruh yang juga penggagas long march buruh Pelindo ke Jakarta ini membeberkan, dari hasil analisanya, kenaikan upah buruh mencapai 15 hingga 20 persen, dianggapnya tidak memberatkan pengusaha. Karena, dari kos 100 persen modal usaha, diperuntuhkan 35 persen untuk biaya beban opersional, produksi, beban pajak dan biaya upah buruh. Artinya, pengusah masih bisa menikmati 65 persen cadangan Modal dan keuntungan dalam usaha.
Hanya saja, kos produksi ( labor Cost) 35 persen yang menjadi operasional produksi dan hak buruh, dicederai dengan adanya kos siluman yang menjadi beban pengusaha. Misalnya, adanya kegiatan biaya diluar dugaan dalam bentuk pungli, biaya diluar peraturan dan praktik preman berdasi. Dengan adanya kos siluman, maka dari 35 persen kos produksi ( labor cost) telah dialihkan sebagian untuk kos siluman.
“Saya sudah cek, banyak keluhan para pengusaha, karena adanya biaya diluar ketetapan beban mereka. Untuk mengatasi itu, penguasah harus menekan dari kos biaya upah buruh. Makanya, buruh yang jadi korban mendapatkan upah tidak layak. Secara umum, pengusaha mendukung PP 78 Tahun 2018, agar bisa mengatasi beban biaya siluman. Padahal, kalau tidak ada bentuk praktik kos siluman, pengusaha pasti mampu membayar upah buruh berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” beber Arsula.
Arsula juga menyatakan jika pengusaha yang tidak mampu membayar UMP dan UMK sebagaimana yang telah ditetapkan, maka dapat mengajukan penangguhan kepada Gubernur melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi yg di atur dalam permenakertas nomor : Per-01/MEN/I/2006 tentang pelaksanaan pasal 3 keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi nomor kep-231/Men/2003 tentang tata cara penangguhan pelaksanaaan upah minimim. (SM)