SBSINews – Rabu (30/10/2019) lalu, Kapolri Idham Azis meminta sang istri, Fitri Handari, agar tak turut campur dalam pekerjaannya. Pernyataan itu ia keluarkan selepas bertemu Komisi III DPR RI di rumahnya di Jakarta Selatan. “Saya selalu bilang sama istri, kamu urusannya di dapur, sumur, sama kasur saja. Kalau tidak pakai prinsip itu lama-lama istri bisa jadi ‘bintang empat setengah’,” kata Idham, Rabu (30/10/2019).

Idham menegaskan prinsip itu ia tanamkan kuat-kuat agar sang istri tidak jadi ‘pintu’ bagi orang-orang yang hendak mendekatinya untuk tujuan tidak baik-seperti minta jabatan dan sejenisnya. Meski tujuannya tampak baik, pernyataan ini tetap kena kritik.

Komisioner Komnas Perempuan Adriana Venny Aryani menegaskan ucapan Idham sama saja mendiskriminasi perempuan, dan itu tidak selaras dengan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984. “Instrumen HAM perempuan ini harusnya dipahami oleh seorang polisi. Apalagi dia sebagai seorang aparat penegak hukum, garda paling depan [yang] dilapori oleh perempuan korban kekerasan,” ujar Adriana, Kamis (31/10/2019).

Seandainya Idham bermaksud untuk menunjukkan profesionalitasnya, kata Adriana, ia cukup memaparkan pesan dan harapan, tanpa menambah embel-embel yang bertentangan dengan semangat anti diskriminasi. “Jangan sampai kata-kata yang dikeluarkan berpengaruh terhadap kebijakan yang responsif gender,” kata Adriana. “Suatu hal yang mengagetkan ketika seorang pejabat penting negara justru mengatakan yang discourage perempuan untuk berpartisipasi di ruang publik.” tambahnya.

Atas dasar itu menurutnya Idham sulit dijadikan panutan oleh polisi lain. “Kemunduran. Itu mungkin akan terjadi di wilayah Polri.” Pernyataan bahwa dapur, sumur, dan kasus adalah tempat perempuan semestinya berada sebenarnya juga membuat karier mereka mentok. Hal ini pernah dijelaskan Dewi Candraningrum dalam Superwoman Syndrome & Devaluasi Usia: perempuan dalam Karier dan Rumah Tangga yang diterbitkan Jurnal Perempuan (2013:7). “Karena ketika dia memiliki rumah tangga, bersuami, dan beranak, dia kehilangan dirinya. Karena definisi jati dirinya bukan dari dirinya sendiri, karyanya sendiri, atau kariernya sendiri, tetapi dari seberapa besar pengabdiannya pada suami, pada anak,” tulis Dewi.

Kritik serupa disampaikan aktivis perempuan Kalis Mardiasih. Dia menegaskan kalau pernyataan Idham itu menjangkiti banyak orang-termasuk perempuan. Padahal, diskriminasi gender seperti itu sesungguhnya punya efek besar: membuat pembangunan stagnan.

“Kesetaraan gender itu jadi prioritas utama SDGs (Sustainable Development Goals) karena kita tidak bisa menjalankan pembangunan berkelanjutan kalau perempuan tertinggal di belakang,” ujar Kalis, Jumat (1/11/2019).

Kritik Kalis tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, ungkapan Idham itu bertolak belakang dengan usaha Polri yang selama ini berusaha mengubah citra maskulin dengan menghadirkan Polisi Wanita (Polwan) di ruang publik. Akibat dari pernyataan Idham tersebut, kata Kalis, bisa saja nantinya perempuan akan terpengaruh dalam hierarki struktural akibat perspektif yang keliru. Karena itu dia berharap para perempuan tidak terpengaruh pernyataan Idham. Dan, katanya, “semoga para pejabat negara memperbaiki perspektifnya soal perempuan dan mau serius belajar soal ini.” (tirto.id/SM)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here