Jauh dari kehidupan anaknya yang tekun belajar dan penuh keceriaan di Bandung, Ny. Tuti Marini tidak merasa tenang di Ujung Pandang. Karena itu ia memutuskan untuk sekeluarga segera menyusul ke Bandung. Rumah yang di Ujung Pandang terpaksa dijual, termasuk kendaraan. Sebagai gantinya Ny. Tuti Marini membeli dua rumah di Bandung dan sebuah mobil. Satu rumah dijadikan tempat tinggal sementara satunya lagi dijadikan tempat kost anak laki-laki. Banyak mahasiswa yang indekost di rumah itu, termasuk senior Habibie.

Selama menjadi mahasiswa di ITB, Habibie memang banyak tertarik pada bidang pesawat terbang. Salah satu hobinya yang tidak dapat berkembang adalah kegemaran dan perhatiannya pada Aeromodeling. Ia mempunyai model pesawat terbang yang dibuat sendiri, dan selalu diperagakan, tetapi model tersebut tak pernah sempat disempurnakan. Ia pernah memasuki Aeromodeling Club, tapi kelihatannya ia tak pernah punya waktu banyak untuk itu. Habibie praktis hanya 6 bulan menjadi mahasiswa ITB.


Pada tahun lima puluhan, belajar di luar negeri masih merupakan hal yang langka, baik dengan beasiswa pemerintah maupun dengan biaya pribadi.

Habibie mendengar sendiri di malam ketika ayahnya meninggal, ibunya yang waktu itu mengandung 8 bulan berteriak dan bersumpah di depan jasad suaminya, bahwa cita-cita suaminya terhadap pendidikan anak-anaknya akan diteruskannya. Itulah sebabnya Habibie tak heran ketika ibunya mengajaknya berunding pada suatu kesempatan makan malam. “Kamu sudah saya dapatkan beasiswa untuk ke luar negeri. Sudah ada ijin dari P dan K”, kata ibunya saat itu.

Pada mulanya Habibie tidak menanggapinya. Ia tidak pernah membayangkan untuk ke luar negeri. “Karena ya umur 17-18 tahun, saya sudah punya pacar. Normal. Saya baru 6 bulan di ITB, ngapain keluar? Tapi ibu,,, Ibu sudah janji meneruskan sekolah saya di luar”, kata Habibie.

Pada waktu itu memang ada dua kemungkinan mendapat beasiswa pemerintah sebesar 375 Deutsche Mark sebulan untuk belajar di luar negeri dengan ikatan dinas pemerintah. Yang kedua, dengan mendapatkan ijin membeli devisa pemerintah. Mengambil devisa pada waktu itu tidak bebas seperti sekarang, ijin membelinya saja sudah dianggap beasiswa. Alasan Ny. Tuti Marini karena ia sudah menjanjikan kepada almarhum suaminya untuk menyekolahkan anaknya di luar negeri. Peninggalan almarhum suaminya akan digunakan untuk membiayai sekolah Habibie. Jadi bagaimanapun Habibie harus menerima dan patuh karena sudah jadi amanah ayah dan ibunya. Kebetulan pula pada waktu itu, para dosen dan guru besar berkebangsaan Belanda mulai berbondong-bondong meninggalkan Indonesia dan banyak mahasiswa berusaha untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri.

Sumber: BJ. Habibie. Kisah Hidup dan Kariernya. A. Makmur Makka.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here