Tanggal 25 Maret 2021 lalu Presiden menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) no. 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Ada 26 pihak yang diinstruksikan dalam Inpres No. 2 Tahun 2021 ini, yang terdiri dari Kementerian/Lembaga dan Pemda-pemda. Sebagai amanat Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945 jaminan sosial ketenagakerjaan menjadi instrument negara untuk mendukung kesejahteraan rakyat Indonesia.
Semangat baik yang dibangun dalam jaminan sosial tentunya harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan. Namun dalam pelaksanaannya, sejak beroperasinya BPJS Ketenagakerjaan 1 Januari 2014 lalu, pelaksanaan program sosial masih mengalami kendala. Masih ada permasalahan dari sisi kepesertaan, pelayanan dan investasi dana pekerja yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
Hadirnya Inpres no. 2 Tahun 2021 ini untuk meningkatkan kepesertaan dan mengatasi permasalahan pada pelaksanaan empat program jaminan sosial ketenagakerjaan yaitu Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP). Permasalahan muncul dari sisi regulasi, implementasi dan pengawasan dan penegakkan hukum.
Sejak ditandatangani, Inpres no. 2 tahun 2021 sudah berjalan tiga bulan, namun belum ada pembicaraan publik sebagai respon Kementerian/Lembaga dan Pemda-pemda untuk menjalankan segala instruksi yang diberikan Presiden. Sepertinya Inpres ini belum menjadi fokus perhatian.
Dari sisi regulasi, yang diberi tugas mengkaji dan merevisi regulasi adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Dalam Negeri, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Gubernur/Walkota/Bupati.
Dari sisi implementasi, hampir semua kementerian/Lembaga dan Pemda diberi tugas untuk meningkatkan pelayanan, penyiapan data, melakukan sosialisasi-edukasi jaminan sosial ketenagakerjaan, termasuk mengalokasikan anggaran oleh pemda.
Untuk pengawasan dan penegakkan hukum, khusus ditugaskan kepada Jaksa Agung dan Menteri Ketenagakerjaan, dengan dukungan Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Walaupun sudah diwajibkan namun masih banyak perusahaan mendaftarkan pekerjanya secara parsial, yang biasa disebut dengan Perusahaan Daftar Sebagian (PDS) pekerja, program, dan upah. Ini terjadi karena pengawasan dan penegakkan hukum yang lemah.
Menteri Ketenagakerjaan, yang mendapatkan tugas relatif lebih banyak dalam Inpres ini, menurut saya belum memulai melakukan evaluasi, pengkajian, penyempurnaan regulasi, memperbaiki pengawasan dan penegakkan hukum, serta meningkatkan diseminasi dan pelayanan pendaftaran dan pembayaran iuran bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Beberapa regulasi yang harus diperbaiki seperti PP no. 60 Tahun 2015 junto Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 19 Tahun 2015 tentang pencairan dana JHT, yang menurut saya kedua regulasi tersebut bertentangan dengan Pasal 35 dan Pasal 37 UU SJSN, demikian juga Permenaker no. 18 tahun 2018 tentang jaminan sosial PMI yang mengatur manfaat lebih rendah dibandingkan manfaat ketika jaminan sosial PMI ditangani konsorsium asuransi swasta.
Terkait dengan pelayanan, yang salah satunya tentang pencairan dana JHT yang mensyaratkan adanya surat keterangan kerja dari perusahaan, saya nilai ini pun harus dievaluasi sehingga peserta yang akan mengklaim dana JHT tidak mengalami kesulitan. Selama ini banyak pekerja yang ter PHK tersandera untuk mencairkan dana JHT-nya karena tidak diberikan surat keterangan kerja oleh perusahaan. Ada perusahaan yang memang sengaja tidak memberikan surat keterangan kerja sehingga mempersulit pekerja mencairkan dana JHT-nya. Ini salah satu yang harus direvisi dari Permenaker No. 19 Tahun 2015.
Dari beberapa pemberitaan, saya membaca Lembaga Ombudsman yang diwakili Sdr. Hery Susanto kerap kali mengangkat sulitnya proses pencairan dana JHT pekerja yang terPHK. Seharusnya Ombudsman mengkritisi regulasinya bukan pada pelaksananya karena BPJS Ketenagakerjaan harus patuh pada regulasi yang ada. Namun demikian, dari beberapa kasus terkait surat keterangan kerja ini yang diadvokasi BPJS Watch, sering BPJS Ketenagakerjaan proaktif menanyakan ke perusahaan alasan tidak diberikannya surat keterangan kerja kepada pekerja yang memang sudah di-PHK. Dari kerja proaktif ini, proses klaim dana JHT pekerja bisa dilakukan.
Pengawasan dan penegakkan hukum yang dilakukan Pengawas Ketenagakerjaan, hingga kini masih belum meningkatkan kepesertaan jaminan sosial ketenagakerjaan secara signifikan. Masih banyak pengusaha yang tidak mendaftarkan pekerjanya atau mendaftarkan sebagaian (PDS) upah, pekerja dan program ke BPJS Ketenagakerjaan tetapi dibiarkan saja oleh pengawas ketenagakerjaan. Persoalan pengawasan dan penegakkan hukum juga dikontribusi oleh lemahnya koordinasi antara pengawas Ketenagakerjaan, Pengawas-Pemeriksa (Wasrik) BPJS Ketenagakerjaan, dan pihak Kejaksaan.
Sebaiknya Ibu Menaker bisa mengupdate ke publik tentang tindak lanjut pelaksanaan Inpres no. 2 ini dan tentunya dapat melibatkan pemangku kepentingan dan masyarakat umum terkait revisi regulasi, dan pelaksanaan pengawasan dan penegakkan hukum.
Keberhasilan Inpres no. 2 ini ditentukan oleh semua pihak yang diinstruksikan, tidak hanya ditentukan oleh Ibu Menteri Ketenagakerjaan atau Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Oleh karenanya Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan sebagai penanggungjawab koordinasi pelaksanaan Inpres ini dapat berkomunikasi dengan publik terkait perkembangan pelaksanaan Inpres dalam 3 bulan ini. Jangan sampai pelaksanaan Inpres no. 2 ini mengalami nasib yang sama dengan Inpres no. 8 tahun 2017 tentang optimalisasi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang gagal mengatasi defisit di 2018 dan 2019.
Tentunya Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) juga berperan dalam keberhasilan Inpres no. 2 ini, dan oleh karenanya berikan masukan sehingga seluruh kementerian/Lembaga dan Pemda melaksanakan Inpres ini dengan baik.
Pinang Ranti, 27 Juni 2021
Tabik
Timboel Siregar