Penerimaan iuran ini tentunya masih belum maksimal mengingat peningkatan kepesertaan dari sektor PPU BU belum juga signifikan. Jumlah peserta PPU BU per 1 Maret 2018 baru sebanyak 12.006.649 pekerja, sementara kepesertaan PPU BU di Program JHT sudah mencapai 14 juta lebih.
Padahal kepesertaan PPU BU merupakan sektor yang berpotensi tinggi menyumbang pendapatan iuran BPJS Kesehatan. Potensi besar ini sebenarnya sudah disadari oleh Direksi BPJS Kesehatan, karena di 2017 lalu penerimaan iuran dari PPU BU dianggarkan sebesar Rp. 28 triliun.
Karena gagal mencapai target itu maka di 2018 ini iuran PPU BU dianggarkan turun menjadi sekitar Rp. 23,62 triliun. Harusnya Direksi tetap mematok angka Rp. 28 triliun dalam RKAT 2018 dari PPU BU dengan meningkatkan kinerjanya.
Bukankah sudah ada Inpres no. 8 tahun 2017 yang memang berfokus pada pengawasan dan penegakkan hukum terkait peningkatan kepesertaan di PPU BU. Apakah memang Direksi kurang yakin dengan Inpres no. 8 tahun 2017 sehingga peningkatan kepesertaan PPU BU tidak signifikan?
Selain itu, belum maksimalnya penerimaan iuran ini juga dibuktilan dengan masih tingginya piutang iuran bruto yang nilainya mencapai Rp. 3.51 triliun (per 1 maret 2018), yang antara lain berasal dari piutang iuran PBPU Rp. 1.08 triliun, piutang PPU BU Rp. 686.81 miliar (nilainya terus meningkat dibandingkan piutang iuran di 1 Desember 2017 sebesar Rp. 578.45 miliar), piutang jamkesda Rp. 567.46 miliar (naik dari piutang per 1 Desember 2017 sebesar Rp. 415.75 miliar).
Dari sisi Pembiayaan yang nilanya mencapai Rp. 14,74 triliun, pembiayaan terbesar berasal dari pos Rawat Inap Tingkat Lanjut sebesar Rp. 8.09 triliun dan Rawat Jalan Tingkat Lanjut Rp. 4.17 triliun.
Tentunya memang Kemenkes dan Direksi BPJS Kesehatan sudah menyadari tentang besarnya pembiayaan di RS, dan oleh karenanya semangat yang muncul saat ini adalah bagaimana menurunkan klaim INA CBGs.