MEMASUKI tahun kelima, program JKN terus memberikan manfaat kepada masyarakat. Sebagian besar rakyat terus mendapatkan penjaminan biaya kesehatan ketika mengalami sakit. Namun demikian proses penjaminan peserta JKN tsb terus dibayangi defisit pembiayaan JKN.
Sejak beroperasi 1 Januari 2014 hingga akhir tahun 2017 lalu, Program JKN terus mengalami defisit pembiayaan. Empat tahun JKN “dikutuk” mengalami defisit. Apakah Program JKN ditahun 2018 ini bisa keluar dari “kutukan” defisit?
Membaca Laporan Keuangan BPJS Kesehatan Februari 2018, Direksi BPJS Kesehatan menganggarkan penerimaan dan pembiayaan di RKAT 2018 ini dalam kondisi defisit.
Penerimaan dianggarkan Rp. 79.77 triliun dan pembiayaan sebesar Rp. 87.80 triliun, sehingga defisit yang direncanakan sebesar Rp.8.03 triliun, dan kondisi defisit ini tentunya sudah disetujui Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan. Jadi pada tahap awal saja yaitu tahap perencanaan, pembiayaan JKN sudah diposisikan defisit.
Dalam dua bulan (Januari – Februari 2018), penerimaan iuran yang berhasil dibukukan oleh BPJS Kesehatan sebesar Rp. 12.92 triliun dan pembiayaan sebesar Rp.14.74 triliun. Jadi dalam dua bulan itu sudah terjadi defisit Rp. 1.82 triliun (atau rata rata defisit per bulan sebesar Rp. 910 miliar).
Kalau rata-rata defisit per bulan tersebut terus terjadi di 10 bulan berikutnya maka kemungkinan defisit yang terjadi diakhir 2018 sebesar Rp. 10.92 triliun (= 12 bulan x Rp. 910 miliar), defisit ini lebih besar Rp. 2.89 triliun dari defisit yg sdh direncanakan yaitu Rp. 8.03 triliun.
Penerimaan iuran sebesar Rp. 12.92 triliun selama 2 bulan tersebut, antara lain diperoleh dari iuran PBI sebesar Rp. 4.24 triliun, PPU Badan Usaha (BU) Rp. 4.03 triliun, PPU Penyelenggara Negara Rp. 836 miliar, PBPU Rp. 1.34 triliun dan Jamkesda Rp. 1.04 triliun.