Sejarah ini berdasarkan kisah persahabatan dari ketiga murid dari HOS Tjokroaminoto yang kemudian memilih jalan berbeda demi mewujudkan ambisi dan cita-cita mereka,
Sejarah ini dimulai dari sebuah rumah yang terletak di Gang Paneleh VII, di tepi Sungai Kalimas, Surabaya menjadi saksi persahabatan tiga sekawan. Di rumah itu bernomor 29-31 itulah tiga orang pemuda rantau, Semaun, Soekarno dan Sekarmaji Maridjan kartosuwiryo indekos. Selain tinggal di rumah itu, mereka juga sekaligus berguru pada sang pemilik kos, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto.
Dari sebelas anak kos sekaligus murid Tjokro, tiga sekawan ini terhitung bersahabat kental. Ketiganya juga menonjol dan menjadi murid kesayangan Tjokro. Soekarno, Semaun dan Sekarmadji bertetangga kamar. Saat Soekarno berlatih orasi hingga larut malam, Semaun lah yang menjadi penilainya. Semaun sering kali meniru-nirukan dan mentertawakan Soekarno. Sekarmadji bergabung kemudian usai menderes Al-Quran.
Soekarno yang mulai mondok di rumah Tjokro saat berusia 15 tahun memang sudah terlihat bakatnya sejak muda. Dia pandai berorganisasi dan juga orator ulung. Semaun adalam pemuda luar biasa. Ia sudah mengenal politik sejak usia masih belia, 14 tahun. Semaun yang beraliran sosialis dan tergila-gila Karl Marx pernah bergabung dengan Sarikat Islam yang dipimpin Tjokro dan menjadi ketua cabang Semarang di usia belum genap 20 tahun, Semaun kemudian keluar karena berbeda pandangan dan menjadi salah satu pendiri Partai Komunis Indonesia. Sementara, Sekarmadji yang alim dan cenderung pendiam bercita-cita mendirikan Negara Indonesia atas dasar islam.
Tiga sekawan itu kemudian pun menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan negeri ini. Mereka menjadi pimpinan partai atau organisasi yang diikutinya. Soekarno menjadi tokoh nasionalis, Semaun menjadi pentolan komunis dan Sekarmadji teguh dengan islamis. Jalan hidup dan ideologi yang berbeda menjadikan mereka seteru pasca kemerdekaan. Tiga sekawan pun berada di persimpangan jalan.
Saat usia republik masih sangat belia, tahun 1948 di Madiun, Semaun mendeklarasikan Republik Sosialis Indonesia. Semaun menantang Soekarno yang diproklamirkan menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Soekarno pun tak tinggal diam. Batalyon Siliwangi yang terkenal dengan kemampuan ‘nggegirisi’ saat perang kemerdekaan dikerahkan ke Madiun untuk memadamkan “pemberontakan” PKI. Perang saudara pertama pasca kemerdekaan ini akhirnya dimenangkan Soekarno. Ia pun harus menyaksikan kematian tetangga kamarnya saat indekos di Surabaya itu.
Baru setahun peristiwa Madiun berlalu, Sekarmadji mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di Malangbong, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo diangkat menjadi Imam Negara dan ogah mengakui republik yang dipimpin sahabatnya. Soekarno pun kembali harus bertindak tegas terhadap sahabatnya. Tentara dikerahkanya untuk memberangus Sekarmadji dan pengikutnya. Setelah berperang lebih dari 13 tahun, Sekarmadji akhirnya terdesak. Taktik pagar betis Pasukan Siliwangi mengurungnya dan Ia akhirnya berhasil ditangkap. Sekarmadji akhirnya dieksekusi di Pulau Seribu pada september 1962. Sekali lagi, Soekarno harus menyaksikan teman mondoknya di Surabaya itu dieksekusi.
Usai kematian dua sahabatnya itu, Sang Proklamator banyak merenung. Ia berusaha menyatukan pemikirannya dengan pemikiran Semaun dan Sekarmadji. Soekarno kemudian mencetuskan Nasional, Agama dan Komunis atau yang dikenal Nasakom untuk menjadi landasan hidup bernegara. Namun, nasib Soekarno sendiri kemudian juga harus berakhir mengenaskan terkena gelombang intrik licik pasca peristiwa G 30 S PKI.
Meski berbeda pandangan, ketiga tokoh itu bisa menjadi bisa menonjol dan menjadi pemimpin besar tak lepas dari peran ‘Sang Guru’, Tjokroaminoto. Pesan yang selalu diingat oleh murid-muridnya termasuk ‘triple S’, Soekarno, Semaun dan Sekadmadji adalah kata-kata ini “Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator”. Tiga sekawan itu menjalankan benar-benar pesan itu. Mereka sama-sama piawai menulis dan menjadi ‘singa’ diatas podium. Kata-kata mutiara dari sang ‘Guru Bangsa’ yang sohor lainnya adalah : “setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat”
Soekarno yang sangat mengidolakan Tjokroaminoto sering menggantikan gurunya mengisi kolom di Surat Kabar Oetusan Hindia. Nasionalisme yang tinggi, ilmu politik dan cara pengorganisasian massa diserap dengan baik dari Tjokro. Gaya orasi Soekarno juga banyak dipengaruhi Tjokro. Soekarno juga murid yang paling disukai Tjokro sehingga Ia dinikahkan dengan anaknya Siti Oetari, istri pertama Soekarno.
Sekarmadji juga begitu mengagumi dan terpesona dengan Tjokro. Untuk membayar biaya mondok, Ia juga bekerja di surat kabar Fadjar Asia milik Tjokro. Sekadmadji bahkan kemudian dipercaya menjadi sekretaris pribadinya. Sering bertukar pikiran dengan Tjokro mempengaruhi ideologi dan pemikiran Sekarmadji hingga dia teguh negara harus berlandaskan ajaran Islam. Tjokro pernah berkata : “Negara dan bangsa kita tidak akan mencapai kehidupan yang adil dan makmur, pergaulan hidup yang aman dan tenteram selama ajaran-ajaran Islam belum dapat berlaku atau dilakukan menjadi hukum dalam negara kita, sekalipun sudah merdeka”. Kata-kata itulah yang menjadi salah satu pemicu untuk mendirikan negara islam.
Semaoen yang muda dan berapi-api juga ‘fans berat’ bapak kosnya itu. Ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) wilayah Surabaya yang dipimpin Tjokro bahkan sampai dipercaya menjadi pimpinan cabang Semarang diusia yang masih sangat belia. Meski berbeda pandangan dan dipecat dari Sarikat Islam karena menyusupkan ideologi komunis, Semaun selalu menaruh hormat kepada gurunya itu.
Begitulah kisah tiga sekawan tokoh pergerakan Indonesia : Soekarno, Semaun dan Sekarmadji. Satu guru, satu ilmu, saling berseteru. Dan, Tjokro memang patut ditahbiskan sebagai Guru Bangsa. Dialah titik awal bangsa ini.
Redaksi SBSINEWS