Oleh Prof DR KH Nadirsyah Husein.MA
Sekarang sedang ramai soal mata uang dinar dan dirham. Media masih memberitakannya. Memang ada sebagian kalangan yang berusaha untuk “menghidupkan” kembali dinar dan dirham. Kalangan ini percaya bahwa itulah mata uang Islam, dimana yang menjadi patokan adalah emas, bukan dollar.
Sependek yang saya tahu, kata GNH, “sistem ekonomi Islam” memang bertumpu pada “emas” sebagai standardnya. Inilah sistem ekonomi di dunia yang berlaku saat al-Qur’an turun, dan sistem inilah yang kemudian menjadi dasar dalam aturan fiqh mu’amalah –seperti akan GNH singgung lagi di bawah.
Pada titik ini, sebenarnya Islam tidak membuat sistem ekonomi yang sama sekali baru. Praktek mata uang “emas” itu sudah diterapkan pra-kedatangan Nabi Muhammad dan terus berlangsung sampai beberapa abad pasca wafatnya beliau. Jadi, apapun dasar teologi dan/atau mazhab ekonomi yang dianut pada masa itu, semuanya melihat kepada sistem “emas” tersebut.
Sampai di sini pertanyaannya adalah: apa sih islaminya dinar dan dirham itu? Kalau yang dimaksud “islami” adalah bagaimana sistem “dinar dan dirham” itu mempengaruhi ayat dan hadis yang mengatur soal interaksi sosial dan diturunkan dalam aturan fiqh mu’amalah yang dibahas oleh para ulama, maka nilai “islaminya” tentu ada. Tetapi nanti dulu. Ini baru setengah cerita.
Dunia ternyata sudah berubah. Sistem dinar/dirham/uang emas tidak lagi dipakai. Dengan pertimbangan tertentu, kita sekarang menggunakan uang kertas dan suka-tidak suka kita menjadikan dollar sebagai patokan dalam masalah moneter.
Asumsi “ekonomi islam” itu adalah sistem “mata uang emas” dimana saat itu tidak terjadi inflasi, fluktuasi mata uang, mekanisme pasar dan seterusnya. Contoh: di Madinah 15 abad yang lampau, kalau kita meminjam uang kepada A sebesar 100 dinar, maka kira-kira 100 dinar itu sama dengan sebilah pedang emas. Lima tahun kemudian kita mengembalikan 100 dinar, yang nilainya masih sama dengan sebilah pedang emas itu.
Namun kalau sekarang di abad modern ini kita meminjam uang 100 juta rupiah kepada A pada tahun 1995, itu nilainya kira-kira sama dengan dua mobil kijang. Pada tahun 2000 (lima tahun kemudian), kita kembalikan 100 juta itu, padahal tahun 2000 uang 100 juta rupiah itu hanya bisa buat beli 1 kijang. Angkanya tetap 100 juta, namun nilainya telah berubah.
Pada contoh pertama, karena angka dan nilai 100 dinar tidak berubah, maka adalah sebuah kezaliman kalau si A meminta “tambahan” pengembalian hutang tersebut. Inilah esensi larangan riba.
Namun pada contoh kedua, terjadi kezaliman kalau kita mengembalikan uang “hanya” 100 juta rupiah setelah berjalan 5 tahun. Soalnya, telah terjadi pergeseran nilai 100 juta itu. Si A lalu “menghitung” inflasi yang terjadi dalam 5 tahun terakhir, opportunity cost yang hilang karena uangnya dipinjam, dan hitungan lainnya, maka dia meminta tambahan sebesar 20 juta rupiah. Apakah tambahan ini termasuk riba?
Untuk mereka yang kembali pada ayat-hadis dan fiqh mu’amalah secara literal, maka tambahan ini termasuk riba, dan si A (yang dalam kacamata modern sudah menjadi korban “kezaliman” kita) akan terkena dosa dan laknat Allah karena sudah meminta riba. Jadi, si A akan dua kali celaka: fid dunya wal akhirah!
Masalah emas ini pula yang menjadi dasar dalam zakat mal. Hitungannya adalah sekian gram emas, baru harta kita wajib zakat. Ternyata aturan zakat itu bisa dipertanyakan sekarang karena telah terjadi pergeseran lagi. Uang yang kita simpan selama setahun (dan karenanya menurut aturan main harus terkena zakat) itu nilainya fluktuatif. Uang yang kita miliki juga bukan uang emas (yang karenanya zakat harta dan zakat mas sama-sama 2,5%) tetapi uang kertas. Masihkah wajib dizakati? Kalau iya, bagaimana kita menghitungnya?
Disadari atau tidak sebagian kalangan Islam kemudian merespon masalah ini dengan melakukan islamisasi ekonomi. Yang mereka lakukan, paling tidak, ada dua: pertama, menggunting dan menempel ayat-hadis untuk kemudian disesuaikan dengan teori-teori ekonomi. Ayat-Hadis menjadi alat justifikasi. Ekonomi Islam adalah teori ekonomi yang sudah ditaruh ayat dan hadis tersebut.
Kedua, mereka ingin memutar jarum jam sejarah. Alih-alih merevisi “ekonomi islam” berdasarkan asumsi ekonomi yang telah berubah, mereka ingin “merevisi” dunia. Inilah yang membuat mereka mengusulkan “dihidupkannya” kembali “mata uang emas”.
Kembali pada pertanyaan di atas: apa sih islaminya mata uang emas itu? GNH berpendapat bahwa tidak ada islaminya. Alasannya ada tiga:
Pertama, tidak ada perintah dalam Nash yang mewajibkan kita menggunakan dinar dan dirham itu. Bahkan kalau kita mengambil teori klasik tentang qat’i sekalipun, tidak ada nash qat’i soal ini.
Kedua, asumsi ekonomi yang digunakan al-Qur’an dalam mu’amalah memang menggunakan sistem “emas” ini, namun itu hanyalah respon al-Qur’an atas ketidakadilan dan kezaliman praktek ekonomi yang berlaku saat itu. Teori zakat juga didasarkan al-Qur’an pada praktek yang berlaku saat itu. Al-Qur’an tidak membuat sistem ekonomi yang benar-benar baru. Dan ini hal biasa saja; al-Qur’an tidak menjadi hina karenanya.
Banyak aturan main dalam al-Qur’an yang diambil berdasarkan praktek saat itu untuk kemudian diberi muatan qur’ani (konsep aqillah dalam fiqh jinayah, konsep zhihar dan mahar dalam fiqh munakahat, serta konsep ashabah dalam fiqh mawaris)
Ketiga, prinsip dasar dalam mu’amalah adalah: asal segala sesuatu adalah boleh. Jadi, sistem “emas” saat itu hukumnya bukan wajib, tetapi hanya “mubah”. Alias, mau diterapkan boleh, tidak diterapkan juga tidak apa-apa.
Sekarang, kata GNH, saya beralih pada kritik saya akan sistem “emas”. In my humble opinion, Sistem “emas” juga tidak menghilangkan perbedaan nilai/harga.
Misalnya, harga emas di Australia ternyata jauh lebih mahal ketimbang harga emas di tanah air. Ini dipengaruhi oleh faktor produksi dan labour. Buruh yang murah di Indonesia membuat harga emas 24 karat terhitung “murah” jika dibandingkan harga emas 18 karat di Australia. Selama masalah core labour standard (dan biaya produksi lainnya) ini belum diselesaikan maka nilai emas tetap akan berbeda antara satu tempat dengan tempat lain.
Jadi, kalau kita meminjam emas Australia 5 gram 24 karat dan mengembalikannya dengan emas Indonesia 5 gram 24 karat, maka akan terjadi “kezaliman” karena harganya berbeda.
Kedua, kalau kita mau menerapkan dinar emas di negera muslim, namun pada saat yang sama sistem ekonomi modern masih berlaku, maka tetap akan terjadi fluktuasi nilai emas. Saat ini harga emas tahun 1995 dan tahun 2000 juga berbeda.
Saya kira, kata GNH, sudah saatnya, fiqh mu’amalah ditulis ulang dengan memperbarui asumsi-asumsi ekonomi yang digunakan. Ijtihad yang seyogyanya kita lakukan adalah merevisi fiqh mu’amalah ini, bukan berijtihad untuk “memutar jarum sejarah dunia”.
Khazanah GNH
Komunitas Santri Gus Nadirsyah Hosen