Cerita tentang Nabi Nuh yang membangun kapal diatas gunung sangat popular, walau kisahnya sudah ribuan tahun.
Nuh dianggap gila oleh orang orang disekitarnya.
Setelah hujan turun tiada henti, menenggelamkan segala yang ada, barulah anak dan menantu Nuh mengerti mengapa Nuh lebih mendengar Tuhan ketimbang cibiran banyak orang.
Saya masih sulit membayangkan bagaimana Nuh dengan alat alat sangat tradisional membangun kapalnya yang demikian besar.
Mungkin butuh puluhan tahun.
Kami yang mencoba membuat ‘kapal kapalan’ dari kayu, dengan panjang 40 meter,lebar 12 meter, dengan bantuan aneka mesin aja, sudah menghabiskan waktu sekitar dua tahun,dan kapal yang kita namakan The BOAT Balige Sanctuary ini, belum juga beroperasi.
Masalahnya bukan di persiapan bangunan fisik, tapi lebih pada belum cukupnya personil kami yang cocok (punya hati yang tangguh untuk melayani).
Saya kira apa yang kami alami ini, jadi gambaran umum susahnya kita di kawasan Toba menemukan orang orang yang punya hati pelayan.
Yang pintar membicarakan atau mengkotbahkannya sangat banyak,tapi yang ‘mau’ ambil bagian’, belum banyak.
Dalam dua Minggu ini, sangat terasa membludaknya tamu ke Toba.
Beberapa teman di Samosir meng-upload antrian panjang, berjam-jam utk masuk kapal Fery.
Jalan lintas Trans Sumatra dari dan ke Parapat. macet merayap.
Beberapa tamu kami di Pizza Andaliman, bahkan memilih ke Medan lewat Dolok Sanggul, Tele Berastagi, yang krnunginan akan makan waktu 7 jam atau lebih hingga tiba di Medan.
Kami yang biasanya tutup jam 21.00 bahkan lebih, tadi malam sudah menyerah dan harus belajar ‘tega’ menolak tamu yang masih terus berdatangan hendak mencicipi Pizza Andaliman jam 7 malam.
Semua tim mengaku lelah, kecapean.
Saya yakin membludaknya tamu bukan hanya di Pizza Andaliman.
SPBU, Hotel, Homestay, Kapal Penyebrangan,toko oleh oleh oleh dan semua tempat, terutama tempat wisata,apalagi yang punya keunikan penuh diserbu pengunjung.
Mengapa membludak?
Karena hampir semua orang punya pemikiran yang sama dan memilih cara cara yang hampir sama untuk banyak hal.
Berlibur di saat orang berlibur dan bekerja di saat orang bekerja.
Kami mencoba memilih jalan yang berbeda.
Kami harus rela tidak ikut ibadah atau tidak ikut seremoni keluarga lainna saat Natal dan Tahun Baru dan lebih memilih melayani tamu tamu yang bisa lebih dari sepuluh kali lipat jumlahnya di banding hari biasa.
Kalian sudah banyak uanglah ya,kata seorang Ibu yang rela menunggu sejam lebih antrian untuk mendapatkan Pizza Andaliman, untuk mereka nikmati di perjalanan naik mobil untuk kembali ke Jakarta.
Saya hanya tersenyum bilang uang itu hanya bonus Inang,bukan tujuan utama kami.
Kami terbeban karena merasa orang yang begini banyak pasti butuh makan dan tempat istirahat yang nyaman, walau hanya sejenak.
Dengan segala keterbatasan yang ada,kami coba ambil bagian, semampu kami.
Kami yang lahir dan besar di Tanah Batak,tapi ingin mencoba menunjukkan bahwa kami juga bisa melayani, tidak kasar seperti dugaan banyak orang.
Dan kepada orang yang punya waktu untuk ngobrol, saya senang menanyakan pertanyaan yang sama.
Kenapa masih rela bertahan di Jakarta atau di Kota?
Belum bosankah dengan segala kemacetannya?
Tidak tertarikkah untuk menikmati AC gratis, udara yang segar di kampung kita ini 24 jam sehari?
Banyak yang mengaku ‘tertarik’, tapi belum banyak yang ‘rela’ berbeda.
Sahabat sahabat FB terkasih, terutama yang masih tinggal di Kota, maukah teman teman membantu menulis mengapa masih lebih tertarik melakukan hal hal yang sama atau mirip sehingga kita jadi sering harus berebutan untuk banyak hal yang sama? ( uang, makanan, pendidikan, pekerjaan, jabatan dll)?
Mengapa kita belum banyak yang ‘rela’ memilih jalan yang berbeda seperti Noah?
Atau seperti Abraham yang merelakan kemenakannya Lot untuk memilih terlebih dahulu ladang penggembalaan mana yang dia suka.
Abraham begitu yakin, yang tidak dipilih orang itu, seburuk apapun itu,akan bisa digunakan Tuhan menjadi berkat baginya.
Antrian panjang di Toba, walau masih musiman terjadi di Bulan Desember, mungkin bisa jadi gambaran jika Toba dikunjungi lautan manusia dari penjuru dunia.
Apa yang akan kita lakukan?
Dengan canda saya bilang,yang penting kita sudah buat kapal Nuh, sehingga kapan pun badai itu datang, kita punya tempat berteduh.
Bagi rekan rekan yang sudah menikmati indah sekaligus macetnya Danau Toba, selamat beraktifitas kembali.
Mohon maaf yang setulus-tulusnya karena di tengah kedatangan tamu yang luar biasa banyak, pasti ada tamu yang kecewa,karena tidak terlayani dengan baik.
Kamis 7 Jan 2021, ketika Toba kembali sepi, ketika rekan rekan kembali bekerja dan menjalani aktifitas semula, di saat itulah kami baru beristirahat, menikmati keheningan Toba disertai dengan kicauan burung di pagi hari.
Kami segenap warga Balige dan Kawasan Toba sekali lagi memohon maaf yang setulusnya untuk semua kekurangan yang ada.
Semoga dengan melihat semua kekurangan ini, muncul ide ide baru, yang saya yakin, ketika kita mau memilih ‘menjadi bagian dari solusi’, maka kita akan menikmati sukacita dan damai sejahtera yang sesungguhnya.
Selamat ‘menjadi’, bukan hanya ‘mencari’
Balige Senin 4 Jan 2021
– Sebastian Hutabarat-