Catatan Pagi

SBSINews – Sidak terkait pelaksanaan JKN yang dilakukan oleh Pak Jokowi di Lampung kemarin adalah sesuatu yang sangat baik untuk mengetahui kondisi riil tentang pelaksanaan JKN khususnya di RS. Pak Presiden menemukan fakta bahwa lebih banyak PBPU (yang jumlahnya sekitar 34 juta) yang menggunakan JKN dibandingkan Peserta PBI APBN maupun PBI APBD (yang jumlahnya sekitar 133 juta).

Terkait tentang lebih banyaknya PBPU yang menggunakan JKN dibandingkan dengan PBI yang dikomentari Pak Presdien, menurut saya memang itu faktanya. Sejak 2014 hingga saat ini utilitas (rawat jalan dan rawat inap) PBI APBN selalu diurutan paling bawah dan utilitas PBPU paling atas dibandingkan segmen peserta lainnya. Data 2018 menyatakan Utilitas PBPU untuk rawat jalan 86,15% sementara PBI APBN sebesar 11,69%, Utilitas PBPU untuk inap 9,73% sementara PBI APBN sebesar 2,68%. Namun bila diukur dari total iuran, sejak 2014 hingga saat ini iuran PBI APBN menduduki peringkat pertama sementara iuran PBPU menduduki peringkat terbawah.

Mengapa PBI APBN terendah utilitasnya? Karena :

1. Peserta PBI APBN belum tentu dapat kartu KIS secara langsung ketika dinyatakan sebagai peserta PBI oleh Kemensos. Ada tenggang waktu 2 – 3 bulan untuk peserta PBI mendapatkan kartu KIS dari BPJS Kesehatan. Kalau peserta PBPU setelah membayar iuran pertama langsung medapat kartu sehingga bisa dipakai hari itu. Saya kira BPJS kesehatan harus bisa memperpendek waktu pemberian kartu KIS kepada peserta PBI APBN yang baru sehingga mereka bisa sesegera mengetahui kalau mereka adalah peserta PBI.

2. Peserta PBI tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang JKN sehingga mereka tidak tahu penggunaan kartu KIS tersebut, sementara PBPU yang biasanya terdidik mudah mengetahui manfaat penggunaan kartu KIS tersebut di faskes.

3. Ketika peserta PBI yang dirujuk ke RS yang jaraknya jauh dari FKTP maka peserta PBI akan mengalami masalah dengan biaya transportasi ke RS dan biaya makan bagi keluarga yang mendampinginya sehingga mereka lebih cenderung memilih tidak pergi ke RS, sementara PBPU yang relatif mampu akan dengan mudah menuju RS ketika mendapat surat rujukan.

Dengan fakta ini seharusnya Pemerintah memberikan perhatian khusus kepada peserta PBI yang memang miskin, sehingga mereka memiliki akses pengetahuan dan akses yang mudah untuk ke RS beserta keluarganya.

Keinginan Pak Jokowi agar BPJS Kesehatan meningkatkan tata kelola adalah hal yang baik dan ini yang memang harus dilakukan oleh Direksi BPJS Kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Kunci utama agar Program JKN berjalan baik adalah peningkatan pelayanan kepada masyarakat, yang memang juga diamanatkan oleh Pasal 24 ayat (3) UU SJSN.

Dengan pelayanan yang semakin membaik maka masyarakat akan menjalankan kewajibannya yaitu membayar iuran dengan disiplin. Pelayanan tersebut juga termasuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat peserta JKN, yg diamanatkan juga oleh Pasal 15 dan 16 UU SJSN.

Tata Kelola BPJS Kesehatan yang utama adalah memang pelayanan kepada peserta, namun tidak hanya itu, tata kelola juga terkait dengan regulasi yang dikeluarkan oleh BPJS dan relasi dgn lembaga lain terkait dengan implementasi regulasi yang memang dalam implementasi membutuhkan lembaga pelayanan publik seperti implementasi PP No. 86/2013 tentang sanksi tidak dapat layanan publik bagi perusahaan dan masyarakat yg belum mendaftar atau menungak iuran JKN. Masalah kesulitan memungut tunggakan iuran memang dikontribusi oleh ketidakmauan Lembaga pelayanan public mendukung JKN. BPJS Kesehatan tidak memiliki kewenangan mengeksekusi sanksi tetapi hal tersebut ada di lembaga pelayanan public seperti pemda, polisi, imigrasi dan sebagainya. Oleh karenanya untuk masalah tunggakan iuran ini seharusnya Presiden pun menyoroti ketidakmauan lembaga-lembaga pelayanan publik ini mendukung BPJS Kesehatan.

Tentang defisit, masalah defisit tidak hanya dikontribusi oleh BPJS Kesehatan tetapi juga oleh seluruh stakeholder JKN lainnya seperti pemda, RS, kementerian/lembaga yang melakukan pelayanan publik, kemensos yang melakukan penentuan PBI APBN, Kemenkes yang melakukan pengawasan kepada RS – RS, dan sebagainnya. Oleh karenanya keberhasilan mengatasi defisit menjadi tanggungjawab banyak pihak.

Saya berharap Pak Presiden bisa memberikan evaluasi kepada seluruh para pembantunya yang terkait pelaksanaan JKN. Khusus untuk direksi BPJS kesehatan harus dilakukan evaluasi khusus sehingga direksi BPJS Kesehatan memiliki target – target yang harus dicapai, misalnya tentang UHC Kepesertaan yang di akhir Oktober 2019 kepesertaan hanya 222 jutaan sementara target pemerintah untuk UHC di 31 Desember 2019 sebanyak 254 juta atau 95% dari jumlah rakyat Indonesia.

Teruslah melakukan sidak JKN Pak Presiden disela-sela kunjungan Bapak ke daerah daerah untuk mengetahui fakta lapangan secara riil sehingga bisa memperbaiki program JKN dan masyarakat lebih terlayani oleh JKN.

Pinang Ranti, 17 Nopember 2019

Tabik

Timboel Siregar
Wakil Sekjen Bidang Jamsos KRPI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here