Kemajuan sebagian masyarakat global termasuk Indonesia yang mencapai era teknologi dan industri ternyata tidak bisa menjadi gerbong penarik untuk menarik sesamanya agar mencapai kesetaraan.
Para pengusaha teknologi dan industri tetap membutuhkan kaum miskin yang pendidikannya terbatas untuk dipekerjakan sebagai buruh. Dan dengan itu, karena alasan kurang pendidikan, mereka dibayar di bawah standar atau sangat rendah, serta umumnya, tanpa tunjangan kesehatan, transportasi, uang makan, dan lain sebagianya.
Para buruh tersebut harus menerima keadaan itu karena membutuhkan nasi dan pakaian untuk bertahan hidup. Akibatnya, menjadikan mereka tidak mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Secara langsung, mereka telah menjadi korban ketidakadilan para pengusaha [konglomerat] hitam yang sekaligus sebagai penindas sesama manusia dan pencipta langgengnya kemiskinan.
Para buruh laki-laki dan perempuan harus menderita karena bekerja selama 12 jam per hari bahkan lebih, walau upahnya tak memadai. Kondisi buruk yang dialami oleh para buruh tersebut juga membuat dirinya semakin terpuruk di tengah lingkungan sosial kemajuan di sekitarnya terutama para buruh migran pada wilayah metropolitan.
Sistem kerja yang hanya mengutamakan keuntungan majikan, telah memaksa para buruh untuk bekerja demikian keras. Sehingga kehidupan yang standar, wajar dan normal, yang seharusnya dialami oleh para buruh, tidak lagi dinikmati oleh mereka.
Fisik dan mental para buruh yang giat bekerja tetapi tetap miskin telah dipaksa menjadi bagian dari instrumen mekanis.
Mereka dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan irama, kecepatan dan ritme mesin-mesin pabrik dan ritme bising mesin otomotif; mesin-mesin itu, memberikan perubahan dan keuntungan pada pemiliknya, namun sang buruh tetap berada pada kondisi kemiskinan.
Dengan tuntutan itu, mereka tak memiliki kebebasan, kecuali hanya untuk melakukan aktivitas pokok makhluk hidup makan, minum, tidur, di sekitar mesin-mesin yang menjadi tanggungjawabnya.
Sikon hidup dan kehidupan komunitas masyarakat mereka yang tersisih dan tertinggal miskin diperparah lagi dengan tanpa kesempatan memperoleh pendidikan, tingkat kesehatan rendah, serta berbagai keterbatasan dan ketidakmampuan lainnya.
Di sini, jelas bahwa adanya kaum miskin bukan semata-mata karena sebagai paradoks pembangunan, tetapi juga karena pembiaran-pembiaran pengusaha dan penguasa terhadap keberadaan mereka agar sewaktu-waktu dapat dipakai atau difungsikan sebagai salah satu alat untuk mencapai kedudukan, ketenaran dan kekuasaan.
Namun Penguasa dan Pengusaha juga dapat membalik keadaan ini sehingga tercipta Atmosfir kerja yang memanusiakan. Keduanya memiliki tanggung jawab untuk membalik keadaan ini.
Penulis
Andi Naja FP. Paraga
Ketua PP FMIG (K)SBSI