SBSINews – Isu ketenagakerjaan menjadi polemik dalam RUU Omnibus Law Cipta Lapangan kerja. Salah satunya penghapusan pesangon yang pembahasannya mencuat di kalangan buruh.
Besaran pesangon telah diatur di UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Presiden KSPI Said Iqbal menganggap Omnibus Law telah mengubah skema pesangon tersebut.
Isu ini ternyata berkaitan dengan pernyataan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto pada akhir Desember 2019. yang menjadi tambahan manfaat bagi peserta program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (BP Jamsostek).
Bentuk manfaatnya, berupa uang tunai (cash benefit) selama 6 bulan pasca PHK diberlakukan. Airlangga menjamin, tambahan benefit ini tak akan menaikkan iuran premi.
“Unemployment benefit diberikan kepada mereka yang sudah ikut program Jamsostek. Jadi semua yang sudah ikut kepesertaan aktif, sekarang ada 34 juta, selain jaminan hari tua, jaminan meninggal, nanti ditambahkan jaminan kehilangan pekerjaan,” ujarnya.
Pernyataan inilah yang jadi awal persoalan penghapusan pesangon. Namun, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah membantah dugaan tersebut.
“Enggak, sebenarnya kita dalam proses terus di Kemenko. Itu nggak benar, nanti Kemenko akan menyampaikan,” kata Ida di Jakarta, Selasa (14/1/2020).
Polemik pesangon belum terungkap. Said Iqbal mencoba merujuk argumennya dari UU No 13 Tahun 2003 yang mengatur pemberian pesangon bagi buruh yang ter-PHK. Besarnya pesangon adalah maksimal 9 bulan, dan bisa dikalikan 2 untuk jenis PHK tertentu, sehingga bisa mendapatkan 18 bulan upah.
Selain itu, ada penghargaan masa kerja maksimal 10 bulan upah, dan penggantian hak minimal 15% dari total pesangon dan/atau penghargaan masa kerja.
Namun Airlangga menegaskan pesangon tetap ada. Ia mengaku tak ada rencana penghapusan ketentuan soal pesangon seperti yang jadi kegelisahan para buruh di pembahasan Omnibus Law.
“Pesangon tetap tapi ada tambahannya. Ini asuransi jadi kalau orang kehilangan kerja dapat asuransi. Asuransi dari BPJS Ketenagakerjaan (BP Jamsostek), kalau perusahaan tetap bertanggung jawab bayar pesangon,” katanya.
Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono menjelaskan, pemerintah memastikan akan melindungi para pekerja dari risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) atau berakhirnya kontrak dalam ketentuan draf RUU omnibus law cipta lapangan kerja. Pemerintah menggunakan istilah ‘kompensasi’ bukan istilah pesangon seperti yang menjadi ketentuan dalam UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
“Prinsipnya, PHK tetap dikasi perlindungan ke pekerja ter-PHK. Tetap dapat kompensasi, ada JKP atau jaminan kehilangan pekerjaan. Ini untk lindungi pekerja yang kena PHK,” kata Susiwijono, di Jakarta, Jumat (17/1).
Ia mengatakan JKP tidak akan hapus jaminan lainnya. JKP adalah tambahan manfaat pada Jamsostek untuk pekerja tetap dan pekerja kontrak.
Berikut prinsip omnibus low cipta lapangan kerja setidaknya ada hal pokok soal PHK.
Tetap memberikan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK
Pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan kompensasi PHK
Penjelasan antara lain:
Pemerintah menambahkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK.
JKP memberikan manfaat berupa: 1) Cash Benefit, 2) Vocational Training, 3). Job Placement Access.
Penambahan manfaat JKP, tidak menambah beban iuran bagi pekerja dan perusahaan.
Pekerja yang mendapatkan JKP, tetap akan mendapatkan jaminan sosial lainnya yang berupa:
1) Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK);
2) Jaminan Hari Tua (JHT);
3) Jaminan Pensiun (JP);
4) Jaminan Kematian (JKm).
Untuk memberikan perlindungan bagi Pekerja Kontrak, diberikan perlakuan dalam bentuk kompensasi pengakhiran hubungan kerja.
Namun, dari apa yang disampaikan oleh Susiwijono maupun materi paparan soal omnibus law, hanya disebut soal kompensasi, padahal di UU No 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menggunakan istilah pesangon. Pesangon diatur jumlah nilainya bisa sampai berkali-kali gaji.
Pada Pasal 156 (1) “dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Misalnya masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah, sedangkan masa kerja 8 tahun besaran pesangon 9 kali upah. (CNBCIndonesia/SM)