Materi disampaikan pada FGD Kajian Akademik Penataan Tugas dan Wewenang MPR, oleh CEPP-Fisip UI di Auditorium Joewono Sudarsono – Fisip UI, Selasa, 19 November 2019.
====================
Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Institut
Pengantar
Robin Douglass dalam “Hobbes vs Rousseau: Are We Inherently Evil or Good?” (iai.tv, 2019) mengatakan bahwa dunia kita sampai saat ini mewarisi perbedaan perspektif yang di berikan Hobbes vs. Rousseau dalam menjelaskan bagaimana kita menilai suatu masyarakat – “we live are greatly shaped by underlying visions of human nature and the political possibilities that these visions entail”. Menurut Douglass, Hobbes bukan bermaksud menjelaskan tentang dosa turunan pada manusia, melainkan bahwa memang sifat-sifat manusia cenderung memikirkan dirinya sendiri dan berkompetisi. Sifat ini akan mengantarkan pada konflik dalam suatu masyarakat yang tidak di atur. Untuk mendapatkan kehidupan damai dan menghindari konflik, maka setiap manusia harus menyerahkan kebebasannya pada suatu badan yang punya otoritas yang mampu menciptakan hukum dan menyelesaikan konflik. Badan itu disebut “sovereign”.
Sebaliknya, Rousseau mengatakan bahwa pada dasarnya sifat manusia adalah baik dan menjadi rusak sejak manusia masuk ke masa modern, di mana kehidupan diorganisasikan dalam skala besar, yang akhirnya mengantarkan kita pada skala pemilikan “private property” yang besar, ketergantungan dalam ekonomi dan ketimpangan. Ketimpangan mengantarkan pada perpecahan social. Jadi, berkebalikan dengan Hobbes, Rousseau menyimpulkan “sovereign” itu sumber masalah manusia. Singkatnya, Douglass melihat “Hobbes saw societies divided by war and offered a road to peace. Rousseau saw a societies divided by inequality and prophesised their downfall”.
Pembicaraan kita tentang peran dan tantangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara filosofis harus kita kaitkan dengan pikiran Hobbes dan Rousseau di atas. Dikaitkan maksudnya bukan untuk merujuk pada teori yang mereka gunakan, namun untuk melihat pembicaraan ini bukan sekedar aspek pragmatis semata, yang seringkali banyak ditulis para ahli, sebagai peristiwa konstestasi lembaga-lembaga negara an sich dalam upaya mendominasi politik di Indonesia. Dikaitkan artinya pula bagaimana kita mempersepsikan sebuah istilah “kontrak sosial” dalam konteks masyarakat kita. Dengan demikian, akhirnya kita akan melihat masa depan bangsa kita terhubung dengan perdebatan filosofis “founding fathers” ketika mereka membuat sebuah lembaga negara tertinggi, sebagai wakil bangsa utama dan pertama, untuk menjamin kelangsungan hidup sebuah bangsa, khas Indonesia.
*MPR dan filosofinya*
Majelis permusyawaratan atau sebelumnya badan permusyawaratan, merupakan gagasan para pendiri bangsa kita untuk menunjuk kepada sebuah otoritas yang menjadi penjelmaan seluruh bangsa (sovereign). Masyarakat Indonesia yang ditenggarai sebagai masyarakat komunal, melihat kecenderungan integralistik masyarakat lebih tinggi daripada keterpisahan (division). Oposisi bagi masyarakat seperti ini hanyalah “deviant”, bukan “separation of power”, sebagaimana “separation of power” ini dikenal dalam masyarakat barat.
Disamping karakter integralistik, masyarakat Indonesia ditenggarai sebagai masyarakat harmoni. Dalam konsep harmoni, memutuskan urusan bersama lebih dipilih cara-cara konsultasi atau musyawarah ketimbang prinsip menang-kalah, maupun melalui banyak-banyakan suara pemilih, atau sistem “one man-one vote”. Integralistik ini menunjukkan sosialistik kita, yakni menggeser istilah individu menjadi rakyat. Sedangkan harmoni merujuk pada pentingnya “sama-sama menang” atau “menang tanpa ngasorake” dalam falsafah Jawa ataupun “hikmat, bijaksana dan syura’ dalam ajaran Islam. Karakter ini sesuai dengan sila ke -4 ideologi Negara Pancasila, yakni Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Dan Perwakilan.
Sebagai penjelmaan rakyat Indonesia, MPR tadinya merupakan “superior body” yang menjadi mandataris rakyat. Sebagai mandataris rakyat, presiden dan wakilnya dipilih oleh MPR. Olehkarenanya kita mengenal dulu istilah presiden adalah mandataris MPR. MPR juga menjadi pedoman atau “guidance “ dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai pedoman, MPR membuat dan merubah UUD (undang-undang dasar) dan memberikan arah tentang ideologi bangsa serta membuat garis-garis besar haluan Negara (GBHN). MPR juga mempunyai kekuasaan memberhentikan presiden dan wakil presiden, jika dianggap membahayakan Negara maupun ideologi negara. Tafsir atas hal ini dilakukan sendiri oleh MPR tanpa perlu mendelegasikan kepada, misalnya saat ini, Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam sisi hirarki ketatanegaraan, MPR menjadi lembaga tertinggi Negara, di atas lembaga-lembaga tinggi lainnya, yang disebut UUD, seperti presiden, DPR dan MA.
Berbeda dengan Hobbes dan Rousseau, istilah kontrak sosial dan penyerahan hak-hak individual rakyat dalam hak-hak bersama, kurang dikenal dalam masyarakat sosialistik timur di era pra kemerdekaan. Supomo, dalam Daniel Hutagalung, 2005, menjelaskan dalam masyarakat Indonesia, individu itu melebur dalam keluarga dan masyarakat yang lebih besar. Supomo meyakini masyarakat Jerman di masa Hitler dan masyarakat Jepang pada tahun 40 an mempunyai kesesuaian dengan masyarakt Indonesia, yakni bersatunya pemimpin dengan rakyatnya. Selain memang Supomo memahami keadaan masyarakat kita, karena keahliannya di bidang hukum adat, pandangan Supomo yang integralistik, menurut Hutagalung, diwarnai juga dengan kedekatannya pada rezim Jepang, yang berkuasa di Indonesia saat itu. Pada masa pendudukan Jepang ini, memang dukungan Jepang sangat tampak kepada Supomo dan Sukarno yang mengusung faham integralistik, dan kurang mengakomodasi pandangan Hatta dan Yamin yang cenderung mendorong diakomodasinya faham liberalism dan indiidualistik secara terbatas.
Library of Congress, USA, dalam “A Country Study: Indonesia”, edited by: Frederick W.H. dan Robert L. Worden, menjelaskan bahwa paska kejatuhan Suharto, demokrasi liberal terkonsolidasi dengan baik di Indonesia. Menurutnya ada 4 periode sejarah politik kontemporer kita, yakni pertama tahun 1950an: di mana integritas politik negara dipertanyakan dengan adanya pertentangan antara agama vs. nasionalis, gejolak daerah dan pemberontakan etnik; kedua (1959-1965) masa demokrasi terpimpin yang ditandai kecenderungan Indonesia dekat dengan Komunisme; ketiga (1965-1998) masa pemerintah Suharto (“the developmentalist and authoritarianism”) dan keempat (setelah 1998) masa demokrasi liberal terkonsolidasi. Dari keempat periode itu, masa terakhir sampai saat ini ajaran liberalisme merubah konsepsi pendiri bangsa tentang kedaulatan dan karakter bangsa seperti kita ceritakan di alenia sebelumnya.
Seiring dengan modernisasi dan industrialisasi di Indonesia selama 20 tahun terakhir Orde Baru, perubahan masyarakat kita yang awalnya sosialistik dan komunalistik, bergeser, sebagiannya, ke arah masyarakat yang berbasis individual.
Penerimaan Kapitalisme sebagai sistem perekonomian negara dan meluasnya ajaran-ajaran liberalisme di dalam kurikulum pendidikan kita, serta banyaknya cendikiawan yang sekolah berkiblat ke barat, telah menggeser karakter masyarakat, khususnya terkait perlunya kompetisi dan efisiensi dalam kehidupan bersama. Dengan demikian, kehidupan berbangsa yang paternalistik dan komunal mendapat tantangan baru dari masyarakat yang menghendaki kebebasan dan demokrasi liberal.
Pada masa awal paska kejatuhan Suharto, tuntutan liberalisme dan kapitalisme ini mendorong dilakukannya amandemen atas konstitusi kita (1999-2002) oleh MPR dan sekaligus merubah bentuk pengewajantahan semua rakyat , yang semula, dalam sebuah lembaga integralistik dan harmoni, mejadi bersandar pada konstitusi saja dan pembagian kekuasaan berubah mengikuti konsep pembagian kekuasaan yang dikenal di negara-negara demokrasi liberal. Jika dalam konstitusi asli (UUD45 Asli) dalam pasal 1 ayat (2) disebutkan “Kedulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”, maka dalam konstitusi amandemen “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Dengan demikian, maka saat ini, secara filosofi, MPR yang dimaksudkan oleh pendiri bangsa sudah kehilangan eksistensi dan esensinya. MPR saat ini tidak lebih daripada “joint session” dua lembaga legisatif, yakni DPR dan DPD.
Pergeseran filosofis atau bagaimana kita memaknai konsep bermasyarakat dan berbangsa yang awalnya bercorak integralistk dan sosilistik ke arah liberal ini akhirnya berdampak merubah jumlah lembaga-lembaga negara. HAS Natabaya, dalam Ernawati Munir, 2005, menjelaskan lembaga Negara yang diberikan kewenangannya oleh UUD, paska amandemen meliputi: MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, Komisi Yudisial, KPU, BI, Pemda. Dalam pengklasifikasian Trias Politika John Locke dan Montesquieu tentang lembaga utama versus lembaga bantu, MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, dan MK adalah lembaga negara utama. Sesuai prinsip Trias politika pula , menurut Jimly, dalam Ernawati dkk, MPR, DPR dan DPD diletakkan sebagai kelompok legislatif, MA dan MK kelompok yudikatif; dan Presiden dan wakil presiden sebagai eksekutif. Situasi saat ini, dalam “Indonesia : A Country Study” oleh “Library of Congress” disinggung sebagai keunikan Indonesia yakni sistem presidensial parallel dengan sistem multipartai – kedudukan presiden dan parlemen sama kuatnya.
Tantangan Besar Bangsa Saat Ini
Partai pemenang pemilu, PDIP, dalam Kongres V, menggelar pidato ketua umum Megawati yang berisikan antara lain, 1). pemilu 2019 lalu dan kondisi sosial yang menyertainya menggambarkan adanya potensi perpecahan bangsa kita saat ini. 2) Indonesia perlu merujuk ajaran bung Karno agar tidak berprinsip asal menang dalam merebut kekuasaan. Toleransi dan demokrasi harus beriringan. Jika asal menang dan strategi menang dengan propaganda busuk dikembangkan, maka bangsa ini menuju kehancuran. 3) Megawati mengajak rival kandidat Jokowi, yakni Prabowo masuk dalam siatem kekuasaan. Bukan “the winner take all”.
Di luar pidato Megawati tersebut, PDIP mewacanakan adanya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan mendorong status MPR sebagai lembaga pembentuk GBHN, yang dimuat dalam UUD45. Sekjen PDIP mengatakan bahwa GBHN berbeda dengan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), karena RPJM sangat “executive centris” dan tidak mampu mengintegrasikan kepentingan nasional dalam sistem yang terdesentralisasi dan banyaknya kekuasaan negara yang terpisah-pisah. Sebaliknya, melalui GBHN, kekuatan legislatif dan anggaran dapat menyatukan semunya. Pikiran Megawati dan PDIP ini didukung oleh Prabowo dan partai Gerindra. Sehingga wacana adanya GBHN dan sekaligus adanya penambahan wewenang MPR menjadi agenda/isu besar yang mencuat di publik saat ini.
Melihat kesadaran politik maupun pengakuan Megawati, Prabowo dan partainya tentang keterbelahan bangsa kita, perlu disadari bahwa situasi politik kita sudah dalam ancaman yang besar. Sebuah keterbelahan bangsa bukanlah ancaman yang gampang diatasi. Hal ini sejak awal kemerdekaan sudah menjadi perhatian utama pejuang-pejuang kita. Ancaman laten, misalnya, pertarungan ideologi Islamisme dan Pancasila, yang mencuat dalam BPUPKI dan PPKI, serta dalam Badan Konstituante, disikapi secara bijaksana oleh pendiri bangsa sebagai sebuah pertentangan yang harus dimoderasi.
Mencuatnya ketegangan dan “divided society” selama 5 tahun belakangan ini, tidak terlepas dari menggejalanya politik “populisme” di berbagai penjuru dunia. Populisme politik bukanlah terkait ideologi tertentu, namun terkait dengan pemimpin yang mencari dukungan rakyat secara total untuk di arahkan pada elit-elit musuh politiknya. Populisme dapat berupa ideologi kiri (leftwing), maupun kanan (rightwing), yang penting menurut John Judis, dalam “The Populist Explosion”, 2016, “it assumes a basic antagonism between the people and an elite at the hearth of its politics”. Menangnya Trump di Amerika pada 2016 dan Jokowi di Indonesia, 2014, lebih cenderung pada politik populisme daripada mendorong agenda ideologi dan program partai pendukungnya. Hasil kemenangan Trump di Amerika menghasilkan perpecahan masyarakat Amerika cukup dalam. Di Indonesia juga terjadi hal yang sama, dalam skala yang sulit untuk dibandingkan.
Keterbelahan rakyat kita saat ini juga dipercepat oleh kemudahan akses pada teknologi informasi, khususnya media social. Media social, selain dapat mempercepat literasi dan komunikasi dalam masyarakat, namun dalam politik dapat dimanfaatkan untuk kepentingan propaganda politik secara massif.
Shosahana Zuboff, dalam The Age Of Surveillance Capitalism, 2019, menjelaskan bahwa era kapitalisme saat ini bukan lagi membicarakan “labor”, “land” dan “money” sebagai bagian “market dynamic” dan “exchange”, namun masuk pada “commodification of human behavior”. Menurutnya, semua data manusia yang terhubung dengan internet (Google, Facebook, Instagram, Whatsapp, dll) akan ditranformasi menjadi “behavioral data”. Dalam kerangka bisnis, data ini dihubungkan dengan iklan dll., namun, bahayanya dalam konteks politik, seperti kasus skandal “ Facebook-Cambridge Analytica” dan intervensi Rusia pada pilpres Amerika 2016, data-data tersebut digunakan untuk penetrasi asing memecahbelah masyarakat di suatu negara, demi memenangkan capres yang sesuai kepentingan asing. Satu hal lagi yang penting disinggung Zuboff pada era ini adalah “unprecedented” (bukan disruption) atas kejadian-kejadian yang akan terjadi. (Macron beberapa hari lalu menggunakan istilah “unprecedented crisis” pada ekonomi dunia).
Dengan demikian, kesadaran Megawati dan Prabowo tentang keterbelahan juga mungkin beriringan dengan penglihatan mereka atas bahaya penetrasi asing melalui media social dan teknologi informasi. Khususnya, setelah riset Oxford University tentang “The Global Disinformation Order”,di Indonesia, khususnya oleh partai politik dan konsultan politik, telah menunjukkan adanya penggunaan cara-cara disinformasi dalam pemilu. Cara-cara ini menurut Megawati dalam pidatonya di Kongres PDIP, adalah cara-cara biadab.
Penguatan Peran MPR Ke Depan
Konsolidasi demokrasi liberal yang tengah berlangsung di Indonesia, kelihatannya berhenti atau berbalik arah. Professor Aspinal dan beberapa Indonesianis di Australia mengamati perkembangan ini dengan fase awal adanya konsolidasi demokrasi, lalu bergeser kearah “illiberal demokrasi” dan sekarang mereka menyebutnya “Authoritarian-turn Jokowi”. Dengan demikian, maka setelah 17 tahun usia UUD 1945 Amandemen dan hilangnya kewenangan MPR sebelumnya, kembali membutuhkan renungan kita atas nasib bangsa ke depan. Selain masalah pudarnya demokrasi ini, negara kita juga dihadapi isu ketimpangan social yang tinggi dan agenda “shared prosperity” yang tidak jelas.
Penolakan atas kewenangan MPR dan simbolisasi Bangsa Indonesia yang sosialistik integralistik yang terhubung pada MPR, paska reformasi, harus dikaji ulang. Faktanya liberalisme yang mengendalikan kehidupan bangsa kita selama ini tidak menjawab kepentingan bangsa kita untuk menjadi bangsa besar. Disamping itu, pembangunan Bangsa Indonesia berkarakterirstik Indonesia, harus terus digali sepanjang masa.
Kita tidak boleh menyalahkan model kedaulatan bangsa kita demi meniru apa yang ditawarkan barat ataupun asing lainnya.
Mengingat adanya dorongan kuat dari dua partai besar (PDIP dan Gerindra) untuk mengembalikan sistem politik kita bercorak sosialistik atau Pancasilais, melalui pengadaan GBHN sebagai pedoman pembangunan, dan memberikan otoritas pada MPR untuk mempunyai kewenangan membuat GBHN yang dicantumkan dalam UUD45, maka kita perlu mendorong wacana ini menjadi kenyataan. GBHN sendiri, menurut Agus Riwanto, 2018, tidak harus merujuk pada sistem presidensial maupun parlementer, namun pentingnya GBHN untuk menjadi pedoman negara dalam rencana jangka panjang, sebagai manifestasi mandate perencanaan kebijakan ekonomi sesuai Negara Kesejahteraan. Menambah kewenangan MPR sendiri dalam UUD 45, untuk membuat GBHN, lebih bersifat mutlak, ketimbang sekedar upaya bagi-bagi kekuasaan antara lembaga Negara.
(WhatsApp pribadi/Jacob Ereste)
Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Institut.