Oleh: Prof.Muchtar Pakpahan
Sabtu 3 November 2018 yang lalu Saya diundang sebagai pembicara dalam sebuah diskusi oleh sebuah Tim PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) di UI dalam rangka mengevaluasi SDGs Indonesia bertempat di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dihadiri sekitar 200 orang peserta dari berbagai kampus. Dan Saya membuat judul Tanpa Serikat Buruh Kuat, Buruh Tetap Menderita.
Bila kita melihat target pertumbuhan yang berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi merupakan target pertumbuhan berkelanjutan nomor delapan (Mendukung perkembangan ekonomi yang berkelanjutan, lapangan kerja yang produktif serta pekerjaan yang layak untuk semua orang/ Decent work and economic growth) dari 17 poin SDGs.
Saya tidak membicarakan mengenai data statistic, tentunya lebih dikuasai oleh pemerintah. Namun pokok bahasan Saya adalah Kebebasan Berserikat menuju welfarestate. Welfarestate adalah sebuah sistem, negara menjamin memberi kesejahteraan pada rakyatnya. Semua negara yang makmur rakyatnya dan menjadi negara maju pasti negara yang memberlakukan sistem welfarestate. Negara yang sistemnya welfarestate pasti kuat Serikat Buruhnya, kecuali negara kerajaan. Tanpa sistem welfarestate, rakyat/buruh tidak akan pernah menikmati hidup sejahtera. Serikat Buruh kuat adalah syarat mencapai welfarestate. Jaminan Kebebasan berserikat adalah syarat dasar menuju welfarestate.
Welfarestate adalah cita-cita Sukarno memerdekakan Indonesia (Lihat Muchtar Pakpahan, WELFARESTATE SOLUSI PENDERITAAN BURUH, Ukipress, 2017). Kemudian dicantumkan pada Pembukaan UUD 1945 alinea ke – 4, dan kemudian masuk ke dalam Pasal-pasal UUD, Pasal 1(3), Pasal 27 (2), Pasal 28, Pasal 29, Pasal 31, Pasal 33, Pasal 34.
Mungkin hadirin yang ada di tempat ini merasa jenuh dengan topik kebebasan berserikat, tetapi mudah-mudahan tidak jenuh dengan welfarestate. Kebebasan berserikat merupakan hak individu untuk memilih mengikatkan diri atau tidak mengikatkan diri pada suatu kelompok, yang dirasanya cocok atau sesuai dengan dirinya sendiri berdasarkan persamaan nasib, tujuan, latar belakang, sejarah dan yang lainnya.
Kebebasan berserikat merupakan hak mendasar seorang buruh yang memberikan kemampuan untuk memperjuangkan haknya yang lain. Tanpa kebebasan berserikat, buruh tidak akan pernah merasakan pekerjaan yang layak, upah yang layak dan kehidupan yang layak. Karena pekerjaan yang layak adalah hasil kebebasan berserikat yang memampukan buruh untuk ikut menentukan kondisi kerjanya, termasuk upah. Pekerjaan yang layak akan menghasilkan upah yang layak sehingga buruh akan memiliki kehidupan yang layak.
Kebebasan berserikat masih relevan untuk dibahas sampai dengan hari ini, bahkan semakin relevan. Tingginya tingkat kesenjangan sosial (inequality) menurut hasil penelitian OXFAM 2017 yang menyatakan empat orang terkaya di Indonesia memiliki jumlah total kekayaan gabungan melebihi total gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin di Indonesia. Ini membuktikan bahwa buruh belum merasakan hasil dari tingginya produktivitas, dan ini disebabkan oleh terancamnya kebebasan berserikat di Indonesia.
Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia berulang kali menyatakan menurunnya jumlah serikat dan keanggotaan serikat di Indonesia yang pada akhirnya mempertanyakan efektifitas serikat buruh dalam merekrut anggota. Sekarang Saya mengembalikan pertanyaannya, bila pemerintah merasa turunnya jumlah serikat dan keanggotaan serikat, apa yang telah dilakukan pemerintah tentang hal itu? Apa kebijakan pemerintah terhadap kebebasan berserikat dan perlindungannya? Karena sampai dengan hari ini pelanggaran kebebasan berserikat masih terjadi, termasuk kepada pegawai negeri yang belum bebas berserikat. Dan pertanyaan selanjutnya kepada Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, berapa orang PNS Kementerian Tenaga Kerja yang menjadi anggota serikat berdasarkan kebebasan berserikat, yang artinya menjadi anggota serikat atas pilihannya sendiri ?
Pelanggaran kebebasan berserikat masih terjadi sampai hari ini. SBSI sendiri sampai dengan hari ini telah melaporkan sekitar 250 pelanggaran kebebasan berserikat kepada pengawas ketenagakerjaan dan kepolisian yang tidak terselesaikan. Menurut Menteri Ketenagakerjaan Hanief Dhakiri, tahun 2014 ada 4,7 juta buruh berserikat dan 14.000 serikat buruh di tingkat perusahaan, per Januari 2018 tinggal 2,7 juta buruh berserikat dan tinggal 7000 SBTP, dan tahun 2000 ketika Gus Dur presiden, ada 11,5 juta buruh berserikat dan 25.000 SBTP. Maka keadaan saat ini dapat dipastikan mayoritas perusahaan tanpa kehadiran SBTP, dan tanpa SBTP pemilik atau manajemen memperlakukan kesewenangan, penindasan, pelanggaran hukum, ujungnya penderitaan adalah kesenjangan.
Rendahnya keanggotaan dan jumlah serikat dalam perusahaan berbanding lurus dengan meningkatnya kesenjangan sosial. Apakah ini suatu kebetulan? TIDAK. Kebebasan berserikat memampukan serikat buruh untuk merundingkan nilai upah yang saat ini juga dirampas pemerintah melalui PP 78/2015. Akibatnya hak buruh untuk merundingkan nilai upah dengan pengusaha sebagaimana yang diamanatkan oleh UU digantikan dengan rumus yang ditetapkan oleh pemerintah.
Perundingan upah selalu menjadi permasalahan setiap tahun karena buruh selalu merasa upahnya kurang, dan pengusaha selalu merasa telah memberikan lebih dari yang dia mampu. Lalu bagaimana dengan pemerintah ? Upah dinaikkan karena terjadi peningkatan harga barang. Akibatnya upah buruh selalu kurang. Yang dirugikan ? Buruh dan pengusaha yang selalu bertengkar untuk menentukan nilai upah yang sesuai kebutuan buruh dan kemampuan pengusaha, lalu ditetapkan oleh pemerintah.
Saya beritahukan, bahwa dengan pola seperti ini upah tidak akan pernah cukup. Karena upah buruh selalu ketinggalan dari harga barang, sehingga berapapun kenaikan yang ditetapkan tidak akan pernah cukup. Kemudian untuk meningkatkan pendapatan agar dapat membayar upah buruh, maka pengusaha pada akhirnya dipaksa untuk menaikkan harga barang sehingga membebani konsumen yaitu buruh. Pola yang berputar seperti ini seperti lingkaran setan yang tidak ada habisnya, karena pemerintah yang seharusnya mengontrol harga tidak mau dan tidak mampu menerapkan fungsi kontrolnya dan menyerahkan penentuan harga pada pasar, supply and demand.
Kesimpulannya, kebebasan berserikat sangat penting bahkan terpenting membangun Serikjat Buruh yang kuat. Serikat Buruh kuat sangat penting bahkan terpenting untuk mewujudkan sistem welfarestate. Serta sistem welfarestate sangat penting bahkan terpenting yang dapat menjamin dalam memberi kesejahteraan kepada rakyat termasuk buruh.
Prof.Muchtar Pakpaha: Ketua Umum DPP SBSI