Sbsinews– Saya tertarik dengan ulasan Ferdinand Hutahean atas respon Para Pengeritik yang hanya kritis tapi tidak Solutif bahkan cendrung provokatif dan destruktif. Buat saya ini Sebuah Fenomena Aktivis Kebencian dan Kaum Oposan Plastik.
Ferdinand Hutahaean
Aktivis Sosial Politik Sangat tajam mengeritik kelompok ini, apalagi belakangan ini muncul kalimat ;” Presiden Joko Widodo minta rakyat kritis, tapi ketika rakyat kritis justru ditangkap”.
Begini, Isu terus berkembang, silih berganti mengisi ruang public menjadi perdebatan. Dan berbagai isu itulah yang membuat hidup ruang perdebatan public sehingga terjadi bantah lisan maupun bantah tulisan. Beragam isu muncul dengan sendirinya dan juga ada yang muncul karena sengaja diciptakan untuk membuat panggung bagi exitensi politik seseorang atau kelompok tertentu.
Hal demikian telah menjadi makanan sehari-hari publik negeri ini dengan segala macam perilaku para Aktivis dan Politisinya serta masyarakat umum yang gemar dengan perilaku tak lazim mencintai kebohongan sebagai pelampiasan kebencian.
Belakangan ini ada beberapa sosok, baik aktivis, budayawan, politisi, ekonom dan berbagai latar yang berbeda menaikkan isu yg sama setelah isu² murahan seperti kudeta lenyap sendiri tak layak dapat panggung.
Adalah ekonom Kwik Kian Gie, politisi pengusaha Susi Pudjiastuti, budayawan Sudjiwo Tedjo dan beberapa aktivis lain yang tak perlu saya tuliskan namanya meminta hal sama meski berbeda narasi.
Kwik mengaku takut mengkritik sekarang bahkan lebih takut dari jaman Orba, Sudjiwo Tedjo meminta Presiden Jokowi menghentikan buzzer, Susi Pudjiastuti meminta Jokowi menghentikan hate speech atau ujaran kebencian dan aktivis² lainnya meminta Jokowi hal yg sama.
Entah apa hubungannya semua itu dengan Jokowi sebagai pribadi maupun sebagai Presiden.
Apakah Kwik, Susi, Tedjo hendak menyatakan bahwa Jokowi dibalik buzzer dan ujaran kebencian itu? Siapa yg mereka mau sebut buzzer, pelaku hate speech itu? Apakah pendukung Jokowi?
Saya pikir ini adalah sesuatu yang menyesatkan dan cenderung bermuatan fitnah jika arah tudingan mereka kesana.
Kalaupun para pendukung Jokowi melakukan contra opini, contra argument, bantah lisan, itu bukan perintah Presiden Jokowi dan itu dilakukan karena mereka tak ingin presiden yang didukungnya diserang tanpa perlawanan, karena istana tak akan meladeni serangan buruk kepada Jokowi dan pemerintahannya. Istana dan pemerintah sibuk dan kurang waktu mengurus rakyat seperti itu sehingga tak ada waktu meladeni cemooh, hinaan dan cacian.
Kembali kepada realita keseharian kehidupan demokrasi di negeri kita, Semua bisa menyaksikan dengan leluasa tanpa batasan bagaimana hoax, fitnah, ujaran kebencian, penyebaran berita bohong, serangan terhadap pribadi Presiden dan keluarganya serta kritik, baik yang keras maupun biasa berseliweran diruang publik melalui media sosial.
Hal seperti itu menjadi kebiasan yang terjadi dan melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik serta KUHP. Ada yang masuk delik umum ada juga yang masuk delik aduan. Dan pasti Polri sebagai penegak hukum akan menindak dan memproses hukum pelanggaran yang sifatnya delik umum tanpa harus ada aduan.
Ini fakta, jadi menuduh pemerintah otoriter dan anti kritik serta membangun opini seolah jaman sekarang mengkritik akan dipenjara adalah hal menyesatkan dan tidak masuk akal.
Apa iya, takut mengkritik tapi berani mencaci maki dan menghina? Jujurlah kalian para aktivis kebencian dan oposan plastic yang selalu ingin menang sendiri. Kalian hanya ingin kalian saja yyang boleh bicara tapi yang lain tidak. Kalian ternyata anti demokrasi sesungguhnya meski mulut dan lidah kalian memperalat demokrasi untuk terus menghina, mencaci dan memfitnah.
Salam NKRI
Andi Naja FP Paraga
Ketua PP FMIG-(K)SBSI