Menjelang peringatan hari lahir NU, 31 Januari 2021 kemarin terdapat beberapa kejadian yang menyorot perhatian.
1. Seorang komedian bernama Panji membandingkan NU dan Muhammadiyah yang dinilainya elitis, jauh dari masyarakat, dan membandingkannya dengan sebuah organisasi Islam yang belakngan lahir dan baru saja dibubarkan. Banyak yang marah dan menilai sang komedian sedang melawak namun tidak lucu. Bagaimana bisa, sebuah organisasi yang sangat besar dengan puluhan ribu pesantren dan lembaga pendidikan, ribuan majlis taklim dan majlis dzikir, puluhan cabang thariqah dengan jamaahnya, para kyainya yang selalu ramai rumahnya dengan tamu bermacam keperluan, dari sekedar minta doa hingga segala keluh-kesah mereka. Organisasi yang menaungi ribuan kyai, ribuan sarjana, ratusan doktor dan puluhan profesor, dibandingkan secara serampangan dengan “yunior”nya itu. Jika ukurannya adalah pembelaan terhadap masyarakat kecil, banyak lembaga pendidikan dan pesantren NU lebih dahulu menggratiskan biaya pendidikan kepada siswa/santrinya, sebuah bentuk pembelaan yang senyap dan jauh dari retorika.
2. Seorang buzzer politik bernama Abu Janda yang sering menbuat konten yang menyerang kelompok tertentu, tiba-tiba bicara yang melecehkan agama Islam. Entah apa maksudnya, namun ucapannya telah menyinggung semua yang beragama Islam dari semua kelompoknya. Dia yang kerap berlindung di balik atribut Ansor, pun tidak mendapat pembelaan dari organisasi tersebut. Dia pun tersudut, mungkin ini momen kejatuhannya. Sudah lama NU menjadi tempat bersembunyi berbagai pihak dengan agenda dan kepentingannya. Sudah lama juga, khususnya setelah refornasi, kelompok yang berseberangan sering menarik-narik NU yang moderat untuk memperkuat salah satu kubu tersebut. Di kelompok Islam memang ada kelompok yang ekstrem yang sering menarik NU ke berada di pihak mereka. Kutub pemikiran liberal versus tekstualis juga melakukan hal yang sama kepada NU. Kaum nasionalis sekuler versus Islam formalistik tidak ketinggalan mempengaruhi NU. Abu Janda hanya satu fenomena saja
3. Serangan kepada tokoh NU tidak pernah berhenti, sepertinya sudah jadi makanan wajib. Belum lama Ketum PBNU, kini Menteri Agama yang merupakan kader muda NU, mengalami bullying yang masif. Pidato dan ucapannya dipotong, narasinya diputar balik, apa saja yang penting demoralisasi terhadap tokoh NU harus terjadi. Tokohnya bisa berganti seperti menu sarapan pagi.
NU tetap tegak berdiri, karena ia bukan sekedar organisasi, namun juga komunitas multi segmen, ekspresi budaya, aliran keagamaan lokal, bahkan miniatur peradaban Islam Indonesia.
Jayalah NU. Jayalah Indonesia.
Dirgahayu ke 95
Penulis
~ Andi Naja FP Paraga ~
Ketua PP FMIG (K)SBSI