TAK HARUS MENGUCAPKAN SELAMAT NATAL
Tonggak sejarah bagi seorang Menteri Agama yang baru dilantik Presiden Jokowi, 23 Desember 2020 bernama Yaqut Cholil Quomas atau Gus Yaqut. Pernyataannya yang dilansir media Metro TV dengan tegas mengatakan, “yang pertama ingin saya lakukan adalah bagaimana menjadikan agama sebagai inspirasi bukan aspirasi. Gus Yaqut menegaskan, tanggungjab besar di pundaknya adalah bagaimana meningkatkan ukhuwah islamiah sebagai bangsa dengan mayoritas penduduk beragama islam dengan tujuan negara damai melalui ukhuah watania atau persaudaraan sesama warga bangsa. Indonesia merdeka lepas dari kolonial bukan hanya perjuangan warga Negara yang beragama Islam tetapi juga agama Kristen katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu turut serta berjuang memerdekakan diri dari kaum penjajah, itu sebabnya, tak boleh satu kelompok pun atau satu agama apa pun mengklaim memeiliki negara ini dan agama tidak boleh dijadikan sarana aspirasi politik.”
Natal Sebuah Pemaknaan Dialektis
Introduksi Gus Yaqut Menteri Agama yang baru dilantik tentu didasari fenomena hidup beragama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Natal selalu menjadi momok kaum radikalis mempertahankan diri dari konsep-konsep ritual keagamaan orang lain dengan “Mengkafirkan” para pengikutnya mengucapkan “Selamat Natal” bagi mereka yang beragama nasrani. Pohon cemara, pohon palem bahkan dilarang ditaman di depan rumah kaum pengikutnya karena oleh agama dilarang alias ‘haram’ bahkan dilarang keras dengan alasan tidak direferensikan Alquran dan Haditz.
Natal sebagai sebuah thesis selalu diantithesakan dengan konsep-konsep ‘melanggar’ akidah yang katanya tidak akan membawa pahala bagi para pengikut agama islam. Islam sebagai agama yang menyempurnakan seluruh agama di dunia, harus dipaksakan agama lain mengikuti seluruh akidah yang diwajibkan. Agama di luar islam seakan akan menjadi agama yang tidak paripurna selain Islam.
Referensi (Q.S. al-Mai’dah [5]:111), “Dan (ingatlah), ketika Aku ilhamkan kepada pengikut Isa yang setia : Berimanlah kamu kepada-Ku dan Kepada rasul-Ku.” Mereka menjawab, “Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang orang yang patuh (kepada seruanmu).”
Dasar bibilis di atas membuat kaum radikalis menjadikannya dasar pijak bagi aksi-aksi mereka yang fenomenal. Organisasi Front Pembela Islam (FPI) dengan tokoh kharismatiknya Habib Riziek Shihab, uztat uztat radikal seperti Abdul Somad, Yahya Waloni, Haikal, Tengku Zulkarnaen selalu menjadi sosok manusia beragama yang disukai para pengikutnya tetapi juga tidak disukai kalangan beragama moderat. Kekerasan verbal dan non verval menjadi kekhasan mereka dalam berdakwah bahkan sampai mengucapkan “Selamat Natal” bagi kaum nasrani pun dilarang. Konsep beragama seperti ini bagi saya adalah sebuah kekeliruan terbesar memaknai agama apa pun yang dianut setiap orang. Mengajarkan akidah yang benar tidak harus menjelekkan agama orang lain bahkan mendiskreditkan konsep-konsep theologisnya seakan akan kebenaran mutlak hanya ada pada agama kaum pemikir radikal. Dan jika sebuah thesis selalu dicarikan antithesanya pada tataran pembenaran diri dalam kekerasan verbal dan non verbal bukanlah sebuah ajaran agama yang dianut melainkan justeru indoktrinasi ideologi pribadi yang justeru bertentangan dengan ajaran agama.
Pluralitas Beragama, Wajib Dihormati
Alquran menyikapi pluralitas hidup beragama dengan memberikan jawaban kepada kaumnya dengan mengatakan, “agar mereka saling berlomba di dalam kebajikan,” Q.S. al-Ma’idah (5):48 berbunyi : “dan kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain. Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang padamu. Untuk tiap-tiap umat di antaramu kami berikan aturan dan jalan yang terang…”
Mengucapkan “Selamat Natal” bukan berarti telah menjadi Kristen bahkan tidak dipaksakan untuk mengucapkan “Selamat Natal” alias tidak diharuskan. Keiklasan dalam kehidupan pluralitas adalah sebuah wujud kebajikan berlomba lomba melakukan kebaikan sebagai implementasi ajaran agama yang dianut. Artinya, mengucapkan atau tidak mengucapkan selamat natal kepada saudara kristiani adalah persoalan sebuah keputusan pribadi, bukan sebuah paksaan. Toh… Bagi kami orang kristen, terdapat kesadaran, bahwa “Tidak Mengucapkan Selamat Natal” bagi saudara kami beragama muslim adalah sebuah akidah yang wajib dihargai, tanpa harus dipolemikkan.
Belajar dari Keluargaku di Maluku
Beragama yang baik adalah mengamalkan ajaran agama dengan benar. Beriman kepada Allah adalah perwujudan dalam hidup di dunia yang plural. Saya pinjam konteks theology Islam, “Hablum min Allah, Hablum minanas.” Keluarga kami setengah beragama Kristen, setengah beragama Islam. Kami saling hidup damai, menghargai agama satu dengan yang lain. Jika Natal, saudara kami yang beragama Islam memasak di rumah, saling berkunjung, saling mengucapkan “Selamat Natal” tanpa beban dan rasa bersalah telah melanggar akidah agamanya, demikian sebaliknya ketika bulan puasa dan Idul Fitri, kami saling buka puasa bersama, memasak di rumah mereka menantikan Takbir Idul Fitri, menyapa “Selamat Idul Fitri” dan indahnya kehidupan beragama kami tanpa saling mengintervensi atau memaksakan kehendak satu sama lain.
Di Maluku, Saudara saudara kami beragama Islam menyanyikan “Selamat Kejadian” di depan masjid Al-Fatah kepada kami saudara-saudaranya yang beragama nasrani. Natal tiba, saudara-saudara beragama islam mengunjungi kami yang beragama kristen, mengucapkan “Selamat Natal” sambil ceria bersama, makan dan minum tanpa ada sekat yang membuat kehidupan kami chaos. Demikian sebaliknya, jika Idul Fitri tiba, kami akan mengunjungi saudara-saudara kami yang beragama islam, mengucapkan “Selamat Idul Fitri” sambil ceria bersama, makan dan minum memaknai hari kemenangan tanpa ada rasa perbedaan yang membuat kehidupan kami luntur dalam hidup beragama baik islam maupun kristen. Iman tidak harus idealis-metafisis. Iman harus historis-empiris dalam wujud hablum minanas. Kedua agama Abrahamic ini tidak harus yang satu mengklaim diri sebagai pemilik surga dan yang lain tidak. Yang benar adalah siapa yang berlomba melakukan kebaikan sesuai agama yang dianut di hadapan Allah dan sesama dengan benar, surgalah miliknya. Dan itu yang kini nampak di Maluku. Suatu ketika, sudara-saudaraku yang beragama islam mengumandangkan ayat-ayat suci Alquran di dalam gereja mereka menyayikan lagu Qasida dalam wujud hormat bagi Sang Khaliq di dalam gereja. Luar biasa indahnya persaudaraan kami dalam kehidupan beragama di Maluku.
Konsep Islam Dalam Kekristenan
Saya pernah belajar “Islamologi” yang diajarkan oleh seorang pastor bernama Prof. Dr. Johanis Ohoitimur, MA ketika saya baru masuk semester tiga waktu kuliah tiga puluh dua tahun lalu. Menurut Prof Yong, sapaan akrap sang guru besar, secara semantik islam berarti istislam (berserah diri) dan al-inqiyaz (tunduk). Artinya islam mengajarkan nilai-nilai kepasrahan dan ketundukan pada hukum Allah SWT. Seorang muslim adalah orang yang mau tunduk dan taat berserah diri pada aturan-aturan Tuhan sebagai bentuk kepasrahan kepada-Nya. Islam juga berarti (al-salamah), orang yang mencari keselamatan, tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang menjauhkan diri dari keselamatan baik dunia maupun akhirat. Islam juga berarti al-silmu dan al-suh (Perdamaian) yang berarti seorang muslim tidak suka membuat keonaran dan kerusakan di lingkungannya.
Prof Johanis Ohoitimur menganalogikan konsep islam dengan sebuah hadiz Nabi Muhammad SAW yang menggambarkan seorang mukmin seperti “Lebah” sebuah metaforis yang sangat indah. Katanya, lebah adalah binatang yang sangat berguna, menghasilkan madu yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Kalau ia hinggap di dahan, ia tidak pernah membuat dahan tesebut patah. Ia tidak akan menyerang terlebih dahulu, kecuali ia merasa diganggu atau diserang. Seorang muslim sejalan dengan gambaran watak lebah, menciptakan perdamaian di lingkungan masyarakatnya, tidak boleh membuat keonaran apalagi kekacauan, demikian Sang pastor menekankan makna Islam dan penganutnya bagi kami yang beragana Kristen. Demikian, mimpi seorang Menteri Agama, Gus Yaqut, agama sebagai sebuah inspirasi bukan aspirasi bermakna politik.
Penutup
Charles Kimbal dalam bukunya “When Religion Becomes Evil” (2003:32) menulis, Is religion the problem? No and Yes. Kondisi negara kita di tengah pandemi Covid-19 dan para pemuka agama berkedok aspirasi bernuansa politik menciptakan chaos adalah jawaban “Yes’ atas pertanyaan Charles Kimbal. Dan bagi mereka yang hidup beragama bermakna “inspirasi” ala Menteri Agama Gus Yaqut adalah sebuah mimpi yang wajib diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak perlu mengucapkan “Selamat Natal dan Tahun Baru” bagi kaum nasrani, jika itu sebuah akidah yang mewajibkan, namun sebuah keikhlasan keluar dari lubuk hati terdalam, kata “terima kasih” patutut kami haturkan buat saudaraku yang beragama islam. Damai Natal Menyertai Kita Semua, Mari Kita Hidup Rukun dalam Pluralitas Beragama Yang Damai.

Paulus Laratmase
Jurnalis SBSINews

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here