Assalamualaikum Wr Wb, salam sejahtera untuk kita semua. Tetaplah berpelukan dalam perbedaan, jangan lelah mencintai Indonesia. Jangan jadikan perbedaan sebagai bibit perpecahan tapi jadikan keberagaman sebagai modal kekuatan untuk kita, bahwa dengan Bhineka kita Tunggal Ika. Merdeka.
Ketika honorer bercerita kepada aktivis buruh bernama Ferdiono anak muda Fakultas Hukum (FH) di salah satu Universitas terkemuka di kota ini yang dikenal lewat Prof. Mochtar Pakpahan. Selain mahasiswa anak muda ini murid Sang profesor dalam dunia perburuhan.
Malam minggu bersama anak muda ini cukup mengasyikkan. Cerita kami seputar permasalan buruh dan honorer. Jika buruh di persoalan UMR, UMP dan UMK, serta keenganan buruh dalam berserikat, kalau honorer kami spesifik membahas status Honorer ini dalam ketatanegaraan Republik ini.
Mengapa masalah status?
Sebab honorer ini tak jelas makhluk jenis apa untuk saat ini. Dikatakan ASN mereka bukan PNS ataupun PPPK sebab jika PPPK sebagaimana amanat UU ASN itu yang jadi pertanyaan apakah gaji honorer sudah dapat dikatakan layak?
Kami terdiam sembari tertawa. “Mau dibawa kemana honorer ini jika segelintir dari mereka sudah mengklaim bahwa surga adalah milik mereka. Republik ini kadang senang berdiri di ranah abu-abu. Jika Tan Malaka mengatakan dan menginginkan “Merdeka 100%” itu jauh panggang dari api jika kita sandingkan dengan permasalahan Honorer.
Mengapa demikian?
Sebab diantara honorer di republik ini ada yang cuma berpenghasilan 150 ribu perbulan, celakanya lagi ada pula honorer itu dengan sistem semacam kerja rodi begitu, namun istilahnya diperhalus dengan sebutan TKS (Tenaga Kerja Sukarela) alias tak digaji dan tak ada perlindungan apapun.
Malang benar ternyata, semangat cita-cita kemerdekaan 100% yang jauh hari digaungkan Tan Malaka jauh sebelum Soekarno Hatta memproklamasikan Indonesia itu harus ternoda. Kembali ke perbincangan, satu kesimpulan yang bisa ditarik meski tarikannya tak lurus yakni bahwa buruh sejahtera sebagaimana cita-cita Prof. Mochtar memang belum terwujud jika dikembalikan kepada honorer.
Jika buruh tiap tahun aksi meminta kenaikan UMR dan seterusnya dengan lampiran segala kebutuhan hidup, hal ini berbanding terbalik pada honorer, jangankan untuk hidup untuk makanpun jauh dari kata cukup.
Saya dan Anak muda lawan diskusi malam tadi berharap semoga senayan dan pemerintah benar akan melakukan revisi UU ASN agar honorer mempunyai pijakan yang jelas dalam konstitusi kita, kalaulah pemerintah tak bisa memerdekakan honorer 100% sebagaimana cita-cita Tan Malaka baiknya bunuh mati honorer 100% dari sistem birokrasi di republik ini, dari pada tenaga mereka sia-sia kadang hanya jadi ban serep para PNS.
Sakit memang sakit, terhadap opsi kedua soal mati 100% tapi itu lebih manusiawi menurut saya. “Karena mati oleh kenyataan lebih baik dari pada dibuai harapan”
Sebagai penutup izinkan saya menyampaikan salam buruh sejahtera, honorer kapan?
Ditulis Oleh: Yolis Syalala