“Siapa Orang ini? Sudah Ukuran Badannya Tidak Tinggi, Logat Sumatera-Utaranya Sangat Kental Lagi. Apalah Yang Bisa Diperbuatnya?”
Pernyataan-pernyataan sepele awalnya terlontar bagi Sosok ini. Pernyataan-pernyataan yang cenderung merendahkan, underestimate.
“Siapa orang ini? Sudah ukuran badannya pendek (tidak tinggi), logatnya dalam bicara pun sangat Batak. Apalah yang bisa diperbuat orang ini?” demikian kira-kira deretan underestimated yang diperoleh Bang Muchtar Pakpahan, saat dirinya bercerita ke saya beberapa tahun silam. Ketika menceritakan dirinya hendak pidato di Badan Organisasi Buruh International-ILO PBB, di Jenewa, Swiss.
Saya sudah mendengar nama Muchtar Pakpahan, sebagai sosok yang berani, dan lantang menentang otoritarianisme Orde Baru, ketika saya masih usia SD beranjak SMP.
Bapak saya juga pernah menyebut nama Tokoh ini, karena sangat viral, untuk istilah sekarang sangat viral, di masa itu. Seorang yang diburu oleh kekuasaan rezim Orde Baru, untuk dihabisi, karena berani menentang kekuasaan, di era itu. Bahkan, ditangkap dan dipenjarakan oleh rezim Soeharto.
Saya merantau dan melanjutkan studi di Jakarta. Dan memasuki dunia pergerakan mahasiswa. Di sinilah saya berjumpa dengan Muchtar Pakpahan. Ternyata, dari sisi organisasi, Muchtar Pakpahan yang sangat terkenal pemberani itu adalah Seniorku di GMKI.
Selanjutnya, saya malah terlibat dalam sejumlah aktivitas perburuhan, dengan Muchtar Pakpahan dan kawan-kawan di Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Pernah bersama-sama mengorganisir buruh.
Saya mengagumi sosok Bang Muchtar Pakpahan. Kami memanggilnya dengan Abang, sebagai senior.
Betul, sosoknya tidak berbadan tinggi. Logatnya pun, hampir sama seperti logatku, kentara kali ‘huruf-huruf’ penekanannya. Ciri khas orang berasal dari Sumatera Utara.
Dalam sebuah pertemuan, Bang Muchtar Pakpahan sengaja memanggil saya untuk bicara. Bersama Bung Victor Raquel Ambarita. Teman sesama jurnalis.
Dia memiliki kerinduan untuk menggoreskan kisah perjalanan hidupnya, yang tadinya akan dibukukan dalam Biografi, yang tadinya direncanakan akan di-launching pada saat Bang Muchtar Pakpahan merayakan usianya yang ke-60 tahun.
Namun, sayang goretan perjalanan hidupnya itu nampaknya tertahan. Dengan banyak kondisi. Tulisannya sih sudah rampung. Tinggal mencetakkan saja. Terakhir, Bang Muchtar Pakpahan bilang ke saya, sembari bernada tanya, “Menurutmu Jon, pantas enggak menuliskan riwayat hidup seperti itu, di saat saya masih hidup? Apakah nanti enggak diomongin orang? Sama seperti orang-orang di kampung kita sana, orangnya masih hidup, tapi kuburannya sudah dipersiapkan? Bagaimana menurutmu?” tanyanya ke saya.
Saya tak mengiyakan, dan tak membantah. Saya hanya sampaikan, saya ikut abang saja. “Ya, udah nanti tunggu saja waktunya kalau sudah ku pertimbangkan, siap ya,” lanjutnya.
Dari proses itulah, Bang Muchtar Pakpahan menuturkan sejarah dirinya dan keluarganya, yang hendak ku tulis. Bang Muchtar Pakpahan, tidak sempat mengenal persis Ayahnya. Menurut informasi yang diperolehnya, sewaktu dia lahir, Ayahnya ditangkap oleh kekuatan rezim Orde Baru awal-awal. Pada saat Bang Muchtar Pakpahan lahir, persis hari itu Ayahnya dikeluarkan dari tahanan. Maka Ayahnya memberikan nama ‘Bebas’.
Jadi nama lengkap Muchtar Pakpahan adalah Muchtar Bebas Pakpahan. Semasa kecil dia dipanggil dengan nama panggilan ‘Si Bebas’. Namun, belum sampai mengerti kehidupan, Ayah mereka kembali dibawa orang-orang yang tak seorang pun mengenal siapa saja orang-orang itu pada malam hari, dan tak pernah pulang lagi sampai kini. Diduga, Ayah mereka sudah dihabisi oleh kekuatan rezim waktu itu. Sebab, Sang Ayah memang salah seorang Pengurus Barisan Tani Indonesia (BTI) untuk tingkat desa atau kecamatan, di Bah Jambi, Tanah Jawa, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, waktu itu.
“Kabarnya karena BTI waktu itu di sana, meminta land reform, atau reforma agraria. Tanah bagi petani, jangan dikuasai oleh perusahaan PTPN dan para tuan tanah,” ujar Bang Muchtar Pakpahan.
Muchtar Bebas Pakpahan kecil, hidup susah. Hanya bersama Ibu mereka, dengan 10 bersaudara, kalau tak salah. Sering kali, Muchtar Pakpahan kecil pergi ke ladang, ngangon kerbau. Kala lapar menghujam, dia memakan batang padi yang sudah mulai berisi. Dan, minum Susu Kerbau, langsung dari kerbau yang dijagainya. “Betul, saya langsung menyusu ke kerbau kami itu,” ujarnya.
Muchtar Pakpahan kecil bolak-balik keluar masuk sekolah. Karena tak ada biaya untuk sekolah waktu itu. Namun, dia rajin sekolah dan Ibunya membawa hasil panen yang dipersembahkan ke Sekolah, asalkan Muchtar Pakpahan kecil bisa bersekolah.
Cita-citanya, tadinya ingin menjadi seorang Dokter. Mengurusi orang yang sakit. “Enggak tahunya, malah jadi Doktor. Di pikiran saya dokter dan doktor itu dulu sama. Rupanya beda ya,” ujar Bang Muchtar Pakpahan berkelakar.
Keinginannya untuk sekolah memang sangat kuat. Sebab, dari kecil dia sudah memperoleh kesadaran, untuk terhempas dari kemiskinan hidup dan melawan penindasan, ya harus sekolah.
Dia pun melanjutkan sekolah dan kuliah di Kota Medan. Bang Muchtar Pakpahan berkuliah di dua tempat. Saat test pertama, dia tak diterima di Fakultas Kedokteran USU. Dia diterima di Fakultas Hukum USU. Namun, karena niatnya ingin jadi dokter, dia juga kuliah mengambil jurusan Kedokteran di Universitas Swasta.
Selain kesulitan ekonomi, ternyata dia harus memilih, dia fokus ke Fakultas Hukum. Sedangkan kuliah kedokterannya tercecer dan tidak selesai.
Sembari kuliah, dia masuk organisasi GMKI di Medan. Bahkan, untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, Bang Muchtar Pakpahan ‘narik becak’. Sering kali dia menutupi wajahnya dengan topi yang lebar, saat melintasi orang yang dikenalnya di kampus atau tetangga kosnya.
Ada satu lagu Rohani, dari Buku Ende, yang selalu dinyanyikannya, kala narik becak, dan sedang tak punya uang. “Ingkon Jesus do do hubahen donganku, sahalakhu lilu do. Sembari ku kayuh becakku ini,” tuturnya tergelak tawa.
Bang Muchtar Pakpahan aktiv di dunia jalanan, aktivis jalanan. Tadinya tidak terlalu suka dengan hanya doa-doa seperti di GMKI itu. Nah, di GMKI Medan waktu itu, menurutnya, ada dua faksi. Satu, faksi yang doyan demonstrasi, satu lagi faksi yang doyan berdoa dan kegiatan-kegiatan kerohanian seperti Bible Camp dan lain-lain.
Bang Muchtar Pakpahan bertemu dengan Isterinya, Kakak Rosintan Marpaung di GMKI Medan. “Saya kan takut pacaran. Tak pernah saya berpacaran. Diskusi, orasi, demonstrasi bahkan berantam pun aku sering. Tapi, berkenalan dengan perempuan, saya malu. Takut, terus gemetaran ku rasa. Ku lihat, kakakmu Rosintan Marpaung, aku naksir. Tapi dia tak mau sama aku. Karena aku kan aktivis jalanan. Dia waktu itu calon Guru,” ungkap Bang Muchtar Pakpahan.
Karena sudah jatuh hati, Bang Muchtar Pakpahan pun berdoa kepada TUHAN. “TUHAN, ijinkan aku, jika dia jodohku, aku akan berbakti kepadaMU,” ujar Bang Muchtar Pakpahan.
Akhirnya, Bang Muchtar Pakpahan pun mengikuti kegiatan-kegiatan kerohanian, bersama grupnya Kakak Rosintan Marpaung. Sekaligus pendekatan, dan berpacaran.
“Saya dulu berguru ilmu kebal. Semua jenis ilmu kebal ku pelajari. Rosintan tak suka itu. Dia mau menikah denganku, asalkan semua itu juga harus dibuang dan dibakar dan bersumpah untuk tidak memakai ilmu-ilmu kebal begitu lagi,” ungkap Bang Muchtar Pakpahan.
Akhirnya, Bang Muchtar Pakpahan berdoa dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada TUHAN. Melepas semua ilmu-ilmu gelap itu, membakarnya dan tidak pernah menyentuhnya. “Saya juga bernazar kepada TUHAN, jika anakku lahir, anak pertama, dia akan kuserahkan kepada TUHAN. Menjadi Pendeta. Jadi abdi dan pelayan TUHAN,” terangnya.
Sejak kuliah, Bang Muchtar Pakpahan sudah mengagumi sosok Bung Karno. Maka, sering kali pula dia berlatih pidato, seperti Bung Karno. “Bahkan, saya memakai peci, seperti Bung Karno. Saya kagum sama Beliau,” Muchtar Pakpahan mengakui.
Dia juga mengagumi Tokoh Pdt Dr SAE Nababan. Tokoh Batak, HKBP, yang berani melawan rezim Orde Baru. “Hampir sama kami, Pak SAE Nababan juga selalu pakai Peci,” ujar Bang Muchtar Pakpahan.
Aksi advokasi yang pertama kali yang spektakuler dilakukannya di Medan, yakni saat mengorganisir para supir taksi. Satunya adalah Amosi Talaumbanua. Yang kemudian menjadi sahabatnya mendirikan Organisasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Amosi Telaumbanua dan kawan-kawan dipukuli dan ditangkapi. Muchtar Pakpahan datang mengadvokasi, membela mereka.
Selanjutnya, selama di Sumut, Muchtar Pakpahan banyak mengorganisir petani, nelayan dan buruh di wilayah Sumatera Timur.
Berpindah ke Jakarta, karena hendak melanjutkan studi S2, lewat Universitas HKBP Nomensen. Sebab, Bang Muchtar Pakpahan waktu itu, mengajar sebagai dosen di Universitas HKBP Nomensen, bersama Senior Yasonna Hamonangan Laoly. Yasonna Hamonangan Laoly adalah seniornya dan sekaligus kawannya, teman satu kos juga.
Ada kemandegan, saat melanjutkan kuliah di Jakarta, serta beberapa problem keuangan, Bang Muchtar Pakpahan mendirikan kantor hukum di sekitar Senen, Jakarta Pusat. Dan mulai mengorganisir para supir PPD, supir-supir angkot, supir-supir taksi, waktu itu. Dari kantor kecil itulah, dia mulai terus semakin aktif mengorganisir buruh. Dan melawan rezim.
“Tak ada uangnya kalau mengorganisir itu. Saya merasa terpanggil dan harus menjawab nazarku, bahwa saya harus menyerahkan hidupku kepada TUHAN, lewat mengadvokasi dan mengorganisir buruh,” ujar Bang Muchtar Pakpahan.
Dalam sebuah pertemuan Buruh Internasional di ILO PBB, sebagai Anggota Governing Body ILO, Muchtar Pakpahan berangkat. Di Jenewa, Swiss, waktu itu, tadinya orang-orang bule itu anggap sepele dengan Muchtar Pakpahan.
Ternyata, dia tampil pidato, dan menjelaskan persoalan-persoalan buruh dengan fasih dalam bahasa Inggris. Bahkan, membentuk solidaritas buruh seluruh dunia, untuk bersama-sama menjadi Unionis. Yakni gerakan buruh yang tidak tersekat oleh aliran politik, tidak tersekat oleh agama, tidak tersekat oleh strata sosial, dan tidak tersekat isu-isu SARA. Unionis. Dengan tujuan untuk mencapai Welfare State. Negara yang berkemakmuran dan berkeadilan, Negara yang Adil Sejahtera.
Penjelasannya itu, para peserta sampai standing applause. Dan ada utusan dari Jerman dan Eropa bertanya, “Muchtar Pakpahan orang mana? Mengapa kecil-kecil begitu pintar dan berani? Makan apa sejak kecil? Pendidikan apa?
“Saya baru tahu, saat saya pulang, naik pesawat, di pesawat itu ada majalah-majalah. Ada soal kesehatan juga. Di situ saya baca, ada lagtan dan beberapa jenis protein yang bisa meningkatkan daya serap otak dan kecerdasan. Salah satunya ya lagtan tadi,” tutur Bang Muchtar Pakpahan.
Nah, dia merenungkan pertanyaan-pertanyaan orang-orang bule itu mengenai dirinya. Kondisi gizinya sejak kecil. Sementara hidup miskin katanya dari kecil.
“Setelah saya pikir-pikir, pantes saja orang-orang bule itu nanya saya, makan apa sejak dari kecil? Saya ternyata minum susu, langsung menyusu ke kerbau pula. Susu itu mengandung lagtan. Trus asupan protein langsung dari batang dan bulir padi. Kalau di Eropa itu semacam gandum. TUHAN luar biasa, saya yang mengalami kemiskinan di masa kecil, ternyata disediakanNYA susu kerbau dan batang berisi padi yang mau jadi, untuk kumakani sewaktu kecil dulu,” terang Bang Muchtar Pakpahan.
Perjalanan perjuangan selanjutnya, tertulis di bab-bab catatan yang sudah kuserahkan ke Bang Muchtar Pakpahan Muchtar Pakpahan Baru itu.
Engkau luar Biasa Senior. Engkau seorang pejuang, petarung, pergerakan, seorang Tokoh, sejak lahir. Bukan tokoh yang ditukang-tukangi, bukan juga membuat diri dan menokoh-nokohkan diri sendiri.
Selamat Jalan Abang Senior Terkasih. Tenanglah di pangkuan TUHAN MAHA PENYAYANG. Rest In Peace. (Jhon Roy P Siregar)