Pemerintah mengambil alih hak penguasaan 49 bidang tanah seluas 5,2 juta meter persegi milik obligor maupun debitur penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Hal ini disampaikan Menteri Keungan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers, Jumat, 27 Agustus 2021.
“Tadi ada 49 bidang tanah yang terletak di empat titik lokasi, luasnya 5.291.200 meter persegi yang berlokasi di Medan, Pekanbaru, Bogor, dan Tangerang,” ujar Sri Mulyani.
Salah satu aset yang disita pemerintah adalah aset properti di Lippo Karawaci, Tangerang, dengan luas sekitar 25 hektare.
Adapun tanah di sana, kata Sri Mulyani, memiliki harga sekitar Rp 2 juta per meter persegi. “Jadi kalau 25 hektare, ini triliunan,” ujarnya.
Kasus BLBI bermula dari krisis keuangan pada periode 1997-1999. Krisis tersebut, ujar Sri Mulyani, membuat perbankan mengalami kesulitan. Akhirnya, pemerintah dipaksa melakukan blanket guarantee kepada seluruh perbankan.
Dalam situasi krisisi tersebut, Sri Mulyani mengatakan banyak bank mengalami penutupan, merger, atau akuisisi. Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, BI pun memberikan bantuan likuiditas kepada bank yang mengalami kesusahan.
BLBI tersebut dibiayai dalam bentuk Surat Utang Negara. Saat ini, SUN tersebut masih dipegang BI. “Akibatnya, selama 22 tahun ini pemerintah terus membayar pokok dan bunga utangnya.
“Jelas pemerintah selama 22 tahun menanggung yang disebut langkah langkah untuk menangani persoalan perbankan dan keuangan yang bebannya hingga saat ini,” kata Sri Mulyani.
Selanjutnya, kata dia, untuk mengompensasi langkah penyelamatan tersebut, pemilik bank atau debiturnya harus mengembalikan dana tersebut. Itu lah yang kemudian disebut tagihan program BLBI. Karenanya, menurut Sri Mulyani persoalan BLBI adalah persoalan yang sudah sangat lama.
Sri Mulyani mengatakan total kewajiban BLBI yang masih dikelola adalah Rp 110,45 triliun. Karena itu Satuan Tugas BLBI akan bertugas semaksimal mungkin untuk mendapatkan kembali kompensasi dari nilai tersebut.
[SBSINEWS]