SBSINews – Anda tidak pernah melihat sorgum? Pernah mencicipinya? Sorgum adalah jenis makanan lokal yang sudah jarang dikunjungi masyarakat di Indonesia pada umumnya. Di kalangan generasi muda, sorgum sudah dianggap sebagai makanan langka.
Pada hari Rabu, 20 April 2016, para petani di Lembor, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), yang tergabung dalam Aliansi Petani Lembor (APEL) melakukan acara panen perdana sorgum di Sambir Lalong, Desa Wae Mose.
APEL terdiri dari 8 kelompok tani yang tersebar di desa di Kecamatan Lembor dan Lembor Selatan. Jumlah keseluruhan anggotanya sekitar 167 kepala keluarga.
Saat acara berlangsung, yang hadir hanya petani belasan, di antara pengurus lain APEL, keluarga petani di Sambir Lalong, dan Kades Wae Mose, Fabianus Abu.
Dari kesaksian para petani yang menghadiri acara tersebut, sorgum adalah makanan harian mereka semasa kecil. Namun, seiring dengan semakin populernya konsumsi beras, sorgum semakin langka.
Fabianus Abumisalnya menggambarkan bahwa sorgum pernah menjadi makanan sehari-hari mereka dalam keluarga. Di rumah, ada belasan bersaudara.
“Ini makan harian kami dulu semasa kecil. Kami semua sehat-sehat, ”katanya.
Kalau diperhatikan, pohon dan daun sorgum mirip dengan jagung. Bedanya, daun sorgum berbentuk lurus memanjang.Tingginya sekitar 2,5 meter- 4 meter, terutama sorgum merah.
Sementara itu, biji sorgum berbentuk bulat dengan ujung mengerucut. Berukuran diameter sekitar 2 mm. Satu pohon sorgum memiliki satu tangkai buah yang memiliki beberapa cabang buah.
Ketika mengambil mengambil bulir sorgum, para petani melengkungkan pohon sorgum, lalu memotong tangkai yang memiliki beberapa cabang. Pohonnya tidak diperuntukkan untuk memanen jagung, dibiarkan tumbuh dan menghasilkan buah lagi.
“Sorgum bisa berbuah dua hingga tiga kali, tergantung kondisi udara,” kata Aven Turu dari APEL.
Untuk di kampung Wae Mose, ada sekitar tiga hektar yang digunakan untuk penanaman sorgum dari 8 kepala keluarga. Target APEL adalah 20 hektar untuk periode 2015-2016. Jenisnya antara lain sorgu merah, hitam, dan dua jenis sorgum putih.
Pertarungan
Sejak terbentuk tahun 2008, APEL yang teridir dari 8 kelompok tani itu sudah bervisi mencapai kedaulatan untuk para petani, di mana dengan cara membudidayakan makanan lokal.
Karena itu, pada periode 2015-2016 ini, APEL mengalokasikan sekitar 50 hektar untuk pertanian pangan lokal, antara lain sorgum, jagung, kacang hijau, jelai, ubi-ubian, jewawut, jahe dan wijen.
“Sorgum yang paling banyak dibudidayakan karena sorgum yang paling mengerti petani. Tidak butuh banyak air dan perawatan, sementara hasilnya melimpah, ”kata Benediktus Pambur, ketua APEL.
Selain itu, mempertimbangkan budidaya makanan lokal tidak terlepas dari kondisi persawahan Lembor. Daerah yang disebut lumbung pangan di NTT itu adalah akhir-akhir ini menampakan ironi daerah pertanian.
Pasalnya, penerima beras miskin (raskin) di Lembor masih tinggi. Untuk kecamatan Lembor, per bulan mencapai 41,715 ton untuk 2,781 rumah tangga miskin yang tersebar di 15 desa.
Ironisnya, mengingat luas areal persawahan Lembor mencapai 3. 528 ha.
Dalam acara panen raya bersama menteri Pertanian Amran Sulaiman pada November tahun lalu, mengumumkan hasil panen per hektar sekitar 10,4 ton per musim tanam.
Menurut Benediktus Pambur, jika demikian hasilnya, tidak mungkin para petani Lembor menerima beras raskin. Tim advokasi APEL, Daniel Min menjelaskan, hasil yang diambil karena sampel yang diambil hanya dari hasil sawah yang bagus.
“Panen raya itu adalah program upsus (usaha khusus) pemerintah pusat. Selama program itu berlangsung, konsentrasi udara berpusat di daerah itu, ”jelasnya. Ada sekitar 2000 ha yang ikut serta dalam program itu.
Sementara kenyataan yang sebenarnya terjadi di lapangan, banyak petani yang gagal panen. Penyebab utama, ganti debit udara yang semakin berkurang dan serangan hama.
Untuk masalah debit udara, petani daerah hilir paling merasakan kesulitannya. Sawah di daerah hilir yang luas lahannya mencapai setengah dari total areal persawahan Lembor, hanya bisa dikerjakan satu kali musim tanam per tahun. Sementara itu, dua kali musim tanam per tahun praktisnya hanya dilakukan para petani di daerah hulu.
Oleh karena itu, bagi petani APEL, pengelolahan tanaman padi semakin sulit diperoleh. Selain itu, biaya pengelolahannya semakin mahal dan semakin tinggi untuk pemerintah.
“Benih saja dibeli di toko. Kita yang bekerja, pemilik toko yang kaya, ”kata Aven Turu mengkritisi kondisi itu.
Di tengah krisis demikian, alternatif yang paling tepat adalah pengembangbiakan tanaman yang tidak membutuhkan banyak udara, ramah lingkungan, tahan hama, dan relatif murah yang dibutuhkan untuk pengelolahannya. Tanaman lokal adalah pilihannya. Untuk mendukung itu, petani APEL juga mengembangkan pertanian yang menggunakan pupuk organik. Biayanya relatif murah.
“Kita promosikan ini agar petani bisa mengatasi kekurangan pangan saat mengatasi petani,” jelas Benediktus Pambur.
Karena itu, dari total makanan lokal yang dikembangkan, sekitar 60 persen digunakan untuk konsumsi rumah tangga petani dan sisanya untuk dijual. Untuk anggota APEL, sorgum, misalnya, disajikan dengan nasi.
Sejauh ini, guna mengembangkan pangan lokal, petani APEL juga berusaha memanfaatkah lahan tidur. Di luar area sawah basah, lahan kering luasnya sekitar 18.654, 50 ha. Dari total lahan kering itu, ada sekitar 3,299, 25 ha lahan tidur. Lahan tidur demikian sangat cocok untuk makanan lokal.
Tantangan
APEL hanya minoritas di kalangan petani di persawahan Lembor. Jumlah keseluruhan petani mencapai lebih dari 15 ribu orang, sementara yang mengusahakan pangan lokal baru sekitar 147 keluarga petani. Hanya sekitar 50 ha lahan dari sekitar lebih dari 6.000 ha lahan.
Di tengah perjuangan membudidayakan makanan lokal itu, petani APEL berhadapan dengan program pemerintah dalam memilih sawah baru. Direncanakan, seluas 50 hektar sawah baru akan dicetak dalam tahun ini di Lembor.
Program Demi ini, baru-baru ini di Raminara, Desa Siru, ada sekitar 3 hektar tanah petani digusur demi skor sawah baru. Yang digusur antara lain sorgum dan kacang panjang.
“Saya benar-benar kecewa,” kata Aven Turu, salah satu pemilik lahan.
Menurutnya, lahan sudah lama menjadi lahan tidur. Sebelumnya, lahan itu tidak pernah menjadi areal persawahan, namun ditelantarkan karena kekurangan udara. Beberapa petani lantas memanfaatkannya untuk budidaya benih lokal. Kini semuanya digusur di bawah pengawasan tentara.
Ada beragam jenis sorgum. Dua yang disukai adalah sorgum hitam dan merah.
Ada beragam jenis sorgum. Dua yang disukai adalah sorgum hitam dan merah.
“Program saya pesimis cetak sawah baru itu akan berhasil. Debit air tidak mencukupi ”kata Aven. Sekarang dari 20 ha total sorgum, hanya 17 hektar yang bisa dipanen.
Sementara itu, tantangan lain yang dipersiapkan petani APEL adalah proses pengelolahan pangan lokal. Sorgum masih sulit digiling.
Selain itu, petani APEL berharap lebih banyak petani yang terlibat dalam budidaya benih lokal.
“Berfikir tentang para petani itu sulit bukan utama. Kita harus menunjukkan bukti dulu ”kata Valentinus Dago, pemilik lahan sorgum dalam acara panen sorgum tersebut.
(Sumber: Floresa.co)