SBSINews – Akhirnya Abdul Somad dipolisikan karena ceramahnya yang viral soal simbol salib dan jin kafir. Banyak pesan yang masuk ke saya bertanya soal kasus ini. Saya sendiri sudah menulis dan merespon tidak langsung sebelum kasus Somad ini dibawa ke polisi “Larangan Menghina Tuhan dan Agama yang Lain”.1
Setelah kasus ini dipolisikan, saya perlu menulis secara langsung kasus ini, karena hal ini bukan hanya terkait personal Somad tapi juga relasi kebangsaan dan kebhinnekaan kita sebagai bangsa Indonesia yang di dalamnya ada toleransi, saling menghormati dan menghargai antarpemeluk agama yang wujudnya kita tidak boleh menghina dan merendahkan keyakinan dan agama yang lain.
Dalam ranah ini, ceramah Somad membahayakan hidup kebangsaan dan kebhinnekaan kita. Ceramah Somad mungkin cocok di Saudi, tapi tidak di Indonesia, tidak juga di Mesir, di mana saya dan Somad pernah menimba ilmu di Universitas Al-Azhar. Karena Mesir punya warga Kristen Koptik. Pada kasus terakhir ada seorang penceramah muslim yang diadili karena dituduh menghina agama Yahudi dan Kristen
Kasus Ahok dan Somad
Kalau ceramah Somad ini dikaitkan dengan kasus penodaan agama di Indonesia seperti kasus Ahok, maka banyak pihak termasuk yang melaporkan Somad dengan alasan demi tegaknya keadilan, Somad juga harus berurusan dengan hukum atas kasus penodaan agama, seperti halnya yang dialami Ahok. Baik Somad dan Ahok adalah sama-sama warga negara Indonesia yang wajib tunduk dan patuh pada hukum dan perundang-undangan di negeri ini. Selama masih ada pasal 156a di KUHP soal penodaan agama, maka baik Ahok dan Somad harus diadili. Tidak boleh hukum hanya tajam ke Ahok, tapi tumpul pada Somad.
Demikian pula pada pihak yang selama ini setuju dengan pasal penodaan agama 156a. Mereka yang garang menyerang Ahok dan Meliana dengan pasal ini, maka mereka tidak bisa berkelit kalau Somad atau siapapun dari pihak mereka yang bisa terjerat dengan pasal ini.
Selama ini pula, pasal penodaan agama 156a hanya dipakai oleh kelompok-kelompok radikal untuk menyerang dan membungkam kelompok lain dengan tuduhan penistaan agama. Tapi kalau dari tokoh kelompok radikal itu terjerat kasus penodaan agama, mereka akan memaksakan berkelit dan meloloskan diri dari jeratan itu, kalau perlu memakai tekanan massa dan demo berjilid-jilid.
Intinya Pasal 156a lebih banyak dipakai oleh kelompok radikal sebagai amunisi daripada isu penegakan hukum. Karena ada ketimpangan dalam penegakan hukum. Pasal 156a hanya tajam diayunkan pada kelompok minoritas tapi kalau pada kelompok yang mengatasnamakan mayoritas dan radikal, penegakan Pasal 156a ini, tiba-tiba “letoy”.
Sikap Saya: Sebaiknya Somad Minta Maaf
Saya menolak pasal penodaan agama 156a. Sebelum Gus Dur wafat juga menandatangani dan menyetujui pencabutan pasal ini ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi setelah berkali-kali diajukan tetap ditolak. Rekomendasi MK jelas, DPR harus memperbaiki pasal ini, tapi sampai sekarang pasal ini seperti bola api yang tidak berani seorang pun membahas apalagi mendekati.
Untuk kasus Ahok saya juga menolak penggunaan pasal penodaan agama dituduhkan kepadanya. Saya sudah melihat sejak awal penggunaan pasal 156a untuk kasus Ahok ini tidak lebih sebagai agenda kelompok radikal dan tujuan politis, Pilkada DKI, di mana Anies Baswedan yang sekarang jadi gubernur DKI berkoalisi dengan kelompok-kelompok radikal ini saat menghajar Ahok.
Untuk kasus Somad saya mengusulkan agar dia minta maaf, seperti halnya Ahok yang juga minta maaf. Demikian pula Sukmawati. Karena Somad dituduh menghina agama lain, maka sebaiknya ia minta maaf pada tokoh-tokoh agama yang menjadi sasaran ceramah dia.
Kalau Somad minta maaf, saya berharap kasus ini tidak berlanjut. Kalau Somad tidak mau minta maaf, saya lepas tangan dan hanya bisa menyarankan saja.
Soal ceramah jin kafir itu, saya kira Somad lebih terpengaruh buku Isa Daud, penulis wartawan Mesir dengan judul “Hiwar Shahafi Ma’a al-Jinn al-Muslim” terjemah harfiyahnya Dialog Wartawan dengan Jin Muslim”. Buku ini heboh setelah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul ‘Dialog dengan Jin Muslim’ pada tahun 90-an dan penulisnya dianggap seorang ulama (karena orang Arab Mesir) padahal seorang wartawan! Karir Isa Dawud dimulai sebagai wartawan di harian “Akhbar Yawm” di Mesir yang kemudian dia bekerja pada Lembaga Media dan Propaganda Saudi Arabia.
Buku ini heboh di Indonesia tapi tidak laku di Mesir. Karena hebohnya buku ini sampai Prof Quraish Shihab menulis sebuah buku tentang ‘dunia mahkluk halus’ yang di dalamnya soal jin dengan judul bukunya ‘Yang Tersembunyi’.
Karena hebohnya buku ‘Jin Muslim’ sampai-sampai senior kami di Mesir pada tahun 90an mengundang Isa Dawud dalam dialog dengan mahasiswa Indonesia. Isa Dawuh datang dengan membawa ‘bukti’ rekaman ‘suara jin muslim Musthafa Kanjur’ saat diputar yang terdengar hanya suara lengkingan dan serak-serak tidak jelas. Hadirin saat itu juga bingung, tapi ajaibnya hanya Isa Dawud yang bisa memahami rekaman ‘suara jin’. Senior saya berseloroh saat itu: “itu suara keledai lagi puber” karena saking jelek suara itu!
Dalam tradisi umum dalam Islam saat membahas tempat-tempat jin dan setan seperti toilet, lubang-lubang gelap, kandang unta, hingga seperti pasar! Atau juga jin ada di rumah-rumah kita. Ini hadits-hadits Nabi yang umum dipelajari dari tingkat dasar dan kita masih kecil, misalnya doa masuk WC yang isi doanya mohon perlindungan dari gangguan jin dan setan.
Saya heran kenapa Somad harus menyinggung patung, hingga salib dan simbol + di ambulans yang dikaitkan dengan jin kafir. Kalau hanya patung, gambar dan foto dikaitkan dengan tempat jin, maka di era dengan melimpahnya visual seperti zaman ini maka kita hanya akan melihat jin-jin semua. Juga tidak boleh memasang foto dan gambar Somad karena ditakutkan akan menjadi tempat jin kafir. Atau kalau kita melihat simbol penambahan + akan berujar ‘wah simbol jin kafir nih’.
Akhirul kalam, sebaiknya Somad minta maaf, setelah minta maaf, kasus ini ditutup dengan menjadikan kasus ini sebagai pelajaran. Kasus ini bisa kita maafkan tapi tidak untuk dilupakan.
Wallahu A’lam
Mohamad Guntur Romli