Oleh: Natalius Pigai
Nurani kemanusiaan terpanggil mendengar jeritan, rintian, ratapan dan tangisan kematian 119 orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Suatu ironi, bagaimana mungkin sebuah hajatan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia harus menelan korban manusia, orang-orang yang tidak berdosa harus berkorban. Tidak mungkin mereka menjadi korban jika tanpa pemilu, dan pemilu justru meninggalkan jeritan kemanusiaan, bukan ajang untuk memuliakan manusia.
Kematian 119 orang adalah suatu persoalan tetapi sangat disayangkan Presiden, DPR dan Lembaga-lembaga negara tidak mempersoalkan dan lakukan upaya-upaya penyelidikan. Justru pemerintah menganggap remeh, masa bodoh, bahkan beralibi bahwa mereka meninggal karena kelelahan “ suatu pernyataan prematur tanpa bukti rekam medis dan penyelidikan”. Ketua DPR juga berkomentar bahwa orang-orang meninggal dianggap sebagai patriot padahal mereka tidak bekerja di suatu pekerjaan yang memiliki tingkat resiko tinggi (high risk), bukan pula pegawai pemerintah. Mereka adalah warga negara biasa pemilik hak (right holder) yang diminta ikut membantu pelaksanaan pemilihan umum 2019, bukan pegawai pemerintah yang memiliki kewajiban (obligation).
Harus disadari bahwa meskipun pemilihan umum merupakan sebuah hajatan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat , namun demikian pemerintah tetap menjadi pemegang tanggungjawab. Pemerintah dalam hal ini Komisioner KPU Pusat memiliki otoritas berdasarkan undang-undang untuk mengatur dan menyelenggarakan pelaksanaan pemilihan.
Pertanyaannya adalah siapa yang mesti bertanggungjawab atas kematian 144 orang. Sesuai dengan hukum, kita mengenal apa yang disebut delik yang dalam bahasa latin disebut delictum yang menurut Prof Andy Hamza adalah pelaku kejahatan. Singkatnya hukuman pidana yang dikenakan kepada pelaku yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang.
Bila dilihat dari peritiswa kematian 144 orang petugas KPPS tersebut tidak bisa dilepaskan dari tanggungjawab pidana. Di dalam hukum pidana kita mengenal apa yang dinamakan Delik Dolus dan Delik Culpa. Delik Dolus adalah delik yang dikenalan karena adanya unsur kesengajaan atau dalam bahasa pidana disebut “dengan sengaja” menyebabkan kematian. Sedangkan Delik Culpa adalah delik yang dikenakan karena kesalahannya itu “akibat kealpaan”.
Delik Culpa dapat diartikan kealpaan yaitu seseorang dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealpaan. Misalnya, menurut pasal 359 KUHP yaitu dapat dipidana seseorang yang menyebabkan matinya orang lain karena kealpaan. Seseorang dapat diberi hukum pidana karena kurang hati-hati, kealpaan sehingga tidak disengaja orang menjadi korban sebagaimana pendapat Wiryono Prodjodikoro. Pada intinya culpa mencakup kurang cermat berfikir, kurang pengetahuan, dan bertindak kurang terarah. Kematian 119 orang ini adalah karena kurang hati-hatian yang besar, bukan bukan kelalaian ringan (culpa legis), melainkan kesalahan yang kentara dan nyata (culpa lata). Culpa legis ini mesti diambil dalam ukuran bagaimana kebanyakan orang bertindak dalam keadaan in concreto terjadi. Berbuat serampangan tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya. Itulah yang terjadi pada komisioner KPU Pusat.
Seharusnya KPU Pusat mesti memperkirakan timbulnya akibat, mengetahui adanya kemungkinan, dan bahkan dapat mengetahui akan adanya kemungkinan sehingga KPU memiliki kewajiban untuk menghindarkan perbuatannya. Kealpaan KPU tidak bisa diukur secara pisik atau psikis tetapi normatif.
Mengapa KPU mesti diberi hukuman pidana? Karena sejak awal KPU sudah memahami bahwa kematian petugas pelaksana pemilu bukan hal baru, seringkali terjadi dan berulang-ulang pada pemilu-pemilu sebelumnya. Namun demikian KPU tidak bisa melakukan usaha-usaha untuk mengantisipasi agar penyelenggara pemilu tidak menjadi korban. Langkah-langkah antisipatif KPU adalah membuat regulasi (PKPU) yang isinya menghadirkan pelayanan kesehatan ditiap TPS, Pemeriksaan Kesehatan petugas penyelenggara, jaminan asuransi, termasuk non intervensi pihak lain agar tidak menyerang secara psikologis. Kelelahan sebagai penyebab kematian dapat diantisipasi jika sedari awal KPU secara cermat antisipasi.
Dalam konteks Hak Asasi Manusia dapat dilihat bahwa negara dalam hal ini penyenggara pemilu tidak aware terhadap para KPPS sehingga menjadi korban. Ada prinsip universal bahwa pemerintah sebagai pemegang kewajiban mesti mestikan ada respek, perlindungan yang pasti dan terpenuhinya kebutuhan hak warga negara. Jadi jika penyenggara negara tidak mampu respek soal hak, tidak bisa melindungi warga dan tidak bisa memenuhi kebutuhan hak asasi warga, maka negara dalam hal ini KPU sudah dapat dikategorikan melakukan pelanggaran terhadap hak asasi warga negara. Apalagi kerugian yang diderita berupa kematian petugas penyelengara pemilu yang seharusnya bisa diantisipasi oleh pimpinan KPU.
Kematian 144 orang tersebut jika dilihat dari perspektif Hak Asasi Manusia sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”.
Sedangkan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, peristiwa kematian 144 orang KPPS telah memancing dugaan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dijamin di dalam berbagai peraturan hukum hak asasi manusia yaitu Hak untuk Hidup. Hak untuk hidup secara tegas dijamin dalam Konstitusi Indonesia yang tercantum dalam Pasal 28 A yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Dengan demikian, hak untuk hidup merupakan hak konstitusional. Jaminan atas hak untuk hidup juga dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi: ”Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.” Begitu pun dalam Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 yang berbunyi, “Hak hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun.” Mengacu pada Kovenan Hak Sipol, hak untuk hidup (rights to life) adalah salah satu hak yang termasuk dalam kategori hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh Negara-Negara pihak (non-derogable right) walaupun dalam keadaan darurat.
Berdasarkan fakta yang kematian 144 orang KPPS tersebut jelas mengindikasikan terjadinya pelanggaran hak untuk hidup yang dijamin dalam semua peraturan perundangan HAM mulai dari Konstitusi RI (UUD 1945 Amandemen ke-2), UU HAM, dan Kovenan Hak Sipol. Hak untuk hidup menjadi hak tertinggi (supreme of human rights) yang pemenuhannya tidak dapat dikurangi sedikitpun kendati keadaan negara dalam kondisi darurat. Oleh karenanya, Negara dalam hal ini KPU Indonesia memiliki kewajiban tertinggi untuk mencegah adanya peristiwa yang menyebabkan hilangnya nyawa orang .
Dalam peristiwa kematian 144 orang KPPS, menjadi bukti permulaan yang cukup bahwa Komisioner KPU Pusat telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa 144 orang. Berdasarkan hal tersebut,
maka patut ditelusuri adanya dugaan terjadi pelanggaran terhadap hak untuk hidup yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non derogable rights), sebagaimana dijamin di dalam Pasal 28 A jo Pasal 28 I UUD 1945, Pasal 4 jo Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Tanggungjawab Pidana Individual
Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia dapat diadili. Tujuan dari pengadilan adalah untuk meminta pertanggungjawaban pidana individual (individual criminal responsibility) terhadap para pelaku.
Walaupun keputusan KPU merupakan bersifat kelembagaan tetapi ahli hukum pidana sudah mesti paham sejauh mana individu harus mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan secara kolektif, sistematik dan birokratik sebagaimana dilakukan oleh KPU. Pertanggungjawaban secara individual ini telah menjadi doktrin hukum yang diterima secara internasional dengan disahkannya Code of Offences Against The Peace and Security of Mankind pada 1954 oleh PBB.
Adapun prinsip-prinsip pertanggungjawaban individu dalam pidana hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Prinsip Nuremberg adalah: Setiap orang yang melakukan perbuatan yang merupakan kejahatan bertanggung jawab atas perbuatannya dan harus dihukum. Jika hukum nasional tidak memberikan ancaman pidana atas perbuatan yang merupakan suatu kejahatan internasional, tidak berarti bahwa orang yang melakukan perbuatan itu terbebas dari tanggung jawab menurut hukum internasional.
Apapun alasannya, KPU Pusat tidak boleh menghindari tanggung jawab pidana individu. Hukuman ini penting untuk mendorong terciptnaya standar kualitas penyenggaraan pemilu termasuk keselamatan, keamanan dan kenyamanan warga negara yang ikut berpartisipasi dalam menyuskesekan kegiatan demokrasi di masa yang akan datang.
Natalius Pigai, Aktivis Kemanusiaan/ Komisioner Komnas HAM 2012-2017