Oleh: Prof. DR. Muchtar B. Pakpahan, SH., MA.
JAKARTA SBSINews – Saat Saya bersama isteri (Rosintan Marpaung) mendengar pengumuman Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) di sebuah Televisi, isteri Saya spontan bereaksi berkata “Saya yakin, ini tidak ada bedanya dengan Taperum (Tabungan Perumahan) dimana Saya adalah peserta”.
Isteri Saya adalah PNS Guru SMA Negeri 45 Jakarta, ikut menjadi peserta Taperum sejak awal.
Waktu mulai ikut Taperum, di benaknya akan mendapatkan rumah. Tidak berapa lama sejak dimulainya Taperum, kepada isteri ditunjukkan mendapatkan rumah di Cikampek Karawang. Isteri saya spontan menolak, karena jaraknya sangat jauh, dan pasti merusak pekerjaannya sebagai guru.
Selanjutnya hingga pensiun tahun 2013, Taperum tidak ada manfaatnya bagi kami, hanya uang iuran/tabungan yang dikembalikan dengan birokrasi yang agak sulit.
Kemudian muncul PP No. 25 tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tanpa pernah didiskusikan dengan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, yang mewakili pekerja/buruh yang diwakilinya yang diwajibkan membayar iuran sebagai peserta Tapera. Kehadirannya mirip dengan kehadiran Taperum, bedanya kehadiran Taperum di masa dan suasana tenang, sedangkan Tapera di masa dan suasana pandemik corona.
Dany Eko Wiyono, Ketua Korwil (K)SBSI Daerah Istimewa Yogyakarta adalah pengurus yang pertama kali memberi reaksi di SBSINews (06/06/2020) dengan judul: “DISAHKAN SAAT PANDEMI, TAPERA NIAT BAIK ATAU ADA KEPENTINGAN LAIN ?
Kemudian ada teman yang mendorong DPP (K)SBSI melakukan uji materi. Jawaban saya kepada dorongan tersebut tahap awal meminta pendapat dari kawan-kawan.
Di lingkaran DPP (K)SBSI semua menyatakan menolak Tapera dan setuju melakukan uji materi, kecuali ER mengatakan “tidak usah digugat, tetapi dilobby saja supaya kita yang pakai”.
Terus ada yang berkomentar, hampir dapat dipastikan yang akan memakai dana tersebut adalah lingkaran pemerintah pusat. Sejauh yang dapat Saya rekam korwil-korwil yang menyatakan menolak Tapera PP No. 25 tahun 2020 dan setuju melakukan uji materi adalah: Sulut, Jambi, Kalbar, Kalteng, Banten dan Sumsel serta ditambah Yogyakarta.
Ditambah catatan dari beberapa wilayah: korwil Kalteng Djasa Tarigan “di tengah pandemi sekarang yang belum tahu kapan berahir, Tapera bukanlah kebutuhan prioritas, dan belum lagi rawan penyelewengan”. Korwil Sulut Lucky Sanger “ pemerintah harus fokus menghadapi dan menangani covid-19, bukan menerbitkan Tapera yang belum tentu untuk kepentingan rakyat”. Korwil lainnya belum memberi jawaban.
Dengan mendapatkan sikap sebagaimana dikemukakan di atas, DPP (K)SBSI menyatakan menolak Tapera karena: 1) Pembuatannya tidak melibatkan buruh sebagai stakeholder yang dibebani. 2) Waktunya tidak tepat. 3) Menambah beban bagi pekerja/buruh.
Selanjutnya akan memajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung.
Prof. DR. Muchtar B. Pakpahan, SH., MA., Ketua Umum DPP (K)SBSI