SBSI News-Jogjakarta, Pemerintah Indonesia belum lama ini memberlakukan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa Bali. Terkhusus di Yogyakarta yang merekondisi sesuai dengan kearifan lokal setempat, memberlakukan pengetatan secara terbatas kegiatan masyarakat (PTKM).
Peraturan ini tentu menimbulkan sejumlah permasalahan yang cukup besar, terutama bagi masyarakat secara langsung. Aturan ini membuat kegiatan masyarakat mulai dari keagamaan, sosial hingga ekonomi kembali terkurung.
Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K) SBSI Korwil DIY, Dani Eko Wiyono mengkritisi langkah kebijakan pemerintah mengambil keputusan tersebut tanpa memandang dengan jelas kondisi masyarakat saat ini terutama kalangan buruh.
Penerapan aturan 50% Work Form Office (WFO) dan 50% Work From Home (WFH) tidak dibarengi dengan kebijakan solusi untuk kesejahteraan buruh. Dengan skema tersebut, tentu akan berpengaruh pada pendapatan yang diperoleh.
“UMR yang tidak seimbang dengan kebutuhan hidup layak seorang pekerja yang tinggal di Jogja, skema ini tentu semakin merugikan. Dampak pandemi sudah sangat menyakiti pekerja sejak tahun 2019,apakah tidak bisa menggunakan Danais menjadi salah satu skema mengatasi wabah ini bukan malah untuk membeli hotel yang tak mampu beroperasi kan aneh inilah penguasa yang belum pro rakyat. Dan hingga kini belum menerapkan aturan yang pro terhadap pekerja, tentu ini hal yang menyedihkan,” jelasnya,saat Konferensi Pres Rabu,20-1-2021 di Bascam (K)SBSI Jl.Damai Gang Ampel 3 no.3 Jaban Ngaglik Sleman Jogjakarta
Akibat dari menurunnya pendapatan buruh, ditegaskan Dani akan membuat daya beli masyarakat menurun. Apalagi harga kebutuhan primer dan sekunder sama sekali tidak mengalami penurunan.
Upaya pemerintah dalam memberikan bantuan langsung kepada buruh, dianggap Dani juga belum dirasakan manfaatnya. Pasalnya, persyaratan penerima bantuan berbanding terbalik dengan kondisi nyata dimana banyak masyarakat bekerja di sektor informal.
Sistem pengupahan berdasarkan satuan hasil dan satuan waktu membuat pengurangan upah semakin mungkin terjadi di sektor pekerjaan informal. Hal ini yang selama ini belum ditangkap pemerintah sebagai “alarm” yang perlu diperhatikan.
Ditambah berbagai aturan pengetatan yang mana masyarakat hanya menjadi objek, semakin membuat masyarakat semakin tertekan. Penanganan pandemi yang cenderung coba-coba tanpa dibarengi upaya nyata dalam pemulihan, hal ini akan semakin menyengsarakan masyarakat.
Dani juga menyoroti penerapan jam operasional sektor usaha dan perdagangan yang tidak rasional namun sengaja dipaksakan sebagai formalitas. Sektor usaha dan perdagangan non kebutuhan pokok hanya dibatasi melayani pelanggan mulai dari pukul 10.00 Wib hingga 19.00 Wib.
“Sepertinya yang buat aturan ini belum pernah merasakan langsung menjadi pedagang kaki lima. Apa perlu dibikin program ‘tukar nasib’ agar mereka tahu bagaimana susahnya berjuang demi sesuap nasi untuk esok hari,” terangnya.
Aturan pengetatan pelaku usaha pun dianggap tidak serius dan tebang pilih. Selama lebih sepekan aturan ini dilakukan, Dani masih menemukan pelaku usaha maupun pedagang yang masih enjoy melayani pembeli meskipun sudah melebihi jam operasional.
Tentu hal ini memprihatinkan melihat antusiasne masyarakat untuk bangkit namun dipatahkan oleh aturan formalitas yang harus dilakukan. Dani mengingatkan, jika pemerintah ingin dihargai, harus mulai mendisiplinkan diri mereka sendiri.
“Pemerintah itukan digaji dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Kalau memang kerja melayani rakyat, ya harus serius. Jangan semuanya formalitas dan pencintraan media saja. Rakyat enggak butuh itu,” pungkasnya.
Penulis : Ahmad Dalban