Saya sudah sejak lama bertanya kehadiran IDI, sejak saya wajib menjadi anggota supaya izin praktik bisa keluar, lalu membayar iuran, lalu STR (surat tanda registrasi) ulangan dengan kewajiban mengeluarkan sejumlah rupiah yang tidak kecil.

Hitungan saya dari hampir 100 ribu anggota IDI, berapa uang terkumpul, tapi saya dan sejawat lain tidak merasakan uang itu kembali bagi keperluan dan kepentingan anggota.

Tidak jelas juga ke mana, dan baru tahu kemarin, tidak pernah dilakukan audit.
Baru tahu juga kemarin kalau sejatinya sebagaimana perkumpulan dokter di negara lain, sebut saja American Medical Association, atau di Inggris atau di mana-mana negara, tidak wajib menjadi anggota untuk bisa mendapat izin praktik.
Sifatnya sukarela.

Juga baru tahu kemarin, kalau begitu melebar dan meluas kewenangan IDI yang bukan saja administratif, melainkan merambah ke domain akademis, yang ikut juga dalam badan Konsil Kedokteran selain badan Kolegium, yang ikut menentukan kelancaran untuk sekolah spesialis.
*Dua badan yang sejatinya langsung di bawah Presiden*.
Baru tahu juga kemarin betapa tidak mudah menjadi spesialias, ternyata di sini kendalanya.
Baru tahu konon ada apa-apanya di sini.
Juga dokter diaspora lulusan dari mana-mana menghadapi hambatan, bahkan bisa batal praktik di negerinya sendiri.
Dr Lie Darmawan, dokter kapal terapung yang dermawan itu, yang dirindukan rakyat di pelosok untuk kasus bedah, mengalami hal miris yang sama ketika minta izin praktik di negerinya sendiri.

Banyak cerita serupa dialami kolega, tapi semua tidak melawan.
Bu Irma Chaniago anggota DPR yang kemarin ikut bicara memberikan kesan dengan gemas sekali bilang kalau para dokter Indonesia itu takut sama IDI.
Takut tidak dikasih izin, atau diberi izin lanjutan.
Begitu superpowernya IDI, yang selama ini saya hanya menaruh curiga, kini terkuak juga.
Kesimpulan kemarin, oleh karena banyak yang tidak wajar, yang janggal, yang melebarkan kewenangannya, termasuk IDI merestui iklan-iklan perusahaan, yang dalam Sumpah Dokter kami tidak boleh beriklan, IDI malah melakukannya.

Bersyukur ada sejawat-sejawat yang berpikir lurus, menegakkan kebenaran bagaimana seharusnya organisasi IDI selayaknya.
*Sejawat yang risau dan gelisah ini lalu mendirikan PDSI Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia*.
Memilih perkumpulan karena ketentuan hukumnya tidak boleh Ikatan, maka kalau IDI masih ingin tetap hadir, perlu berubah menjadi PIDI.

Hal lain yang bikin lapang semua sejawat dokter, bahwa ketentuan harus memperoleh rekomendasi IDI agar bisa mendapat izin praktik, dinyatakan oleh pelurus penengak kebenaran PDSI, *aturan itu tidak diperlukan lagi.*
Mengapa?
Oleh karena yang berhak memberikan izin praktik itu pihak pemerintah yang diwakili oleh Dinas Kesehatan, bukan IDI.
*Ada atau tidak rekomendasi IDI, izin praktik boleh tetap berlaku*.
Catatan Dr Judil Herry, dokter senior, yang juga cemas terhadap IDI yang semakin garang, memberi komentar tidak ada perkumpulan dokter di dunia yang menarik iuran.

Saya pribadi sudah sejak pensiun tidak memperpanjang keanggotaan IDI karena masih bertanya untuk apa dan ke mana uang iuran saya, rasanya janggal.
Masyarakat Indonesia perlu menaruh apresiasi dan bersyukur ke depan nanti para sejawat dokter tidak perlu cemas, takut, dan dibuat tidak tenang berpraktik hanya lantaran soal ribetnya izin praktik.
Demikian pula halnya diaspora dokter lulusan luar bisa lebih lancar tidak dipersulit diterima berpraktik di negerinya sendiri, selain untuk spesialiasi tidak menjadi rumit lagi.

Kita rindu profesi dokter kita praktik lebih tenang, lebih sejahtera, lebih dipermudah, karena masyarakat kita, rakyat Indonesia, masih perlu dibela untuk hidup lebih sehatnya.

Dr HANDRAWAN NADESUL

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here