Perhatian pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam beberapa tahun terakhir untuk pengembangan Kawasan Danau Toba (KDT) terbilang lebih besar dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Berbagai program digulirkan untuk itu. Termasuk dengan menggulirkan sejumlah program mendirikan lembaga dan dukungan anggaran yang sangat besar. Salah satu program di KDT yang saat ini sedang hangat diperbincangkan adalah food estate. Food estate yang disebut-sebut untuk mendukung ketahanan pangan nasional ini, dikritik sejumlah NGO karena dinilai tidak pro kepada masyarakat.
Seperti diketahui Sumatra Utara khususnya Kabupaten Humbahas adalah provinsi yang ikut menyediakan areal food estate ini. Namun belum apa-apa, food estate ini dinilai justru telah menimbulkan masalah baru dan menambah kasus silang sengketa lahan, yang angkanya memang cukup tinggi di Sumut. Hal itu terungkap dalam diskusi sejumlah NGO bersama pers di Kaldera Coffee, Jalan Sisingamangaraja, Medan, Jumat (5/2/2021)
“Akhir Desember tahun lalu, Kementeriaan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis data yang mengejutkan. KLHK menetapkan hutan adat masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta hanya seluas 2.383 hektar. Secara sepihak pemerintah mencaplok 2.051 hektar wilayah adat mereka menjadi areal food estate. Padahal di areal 2051 hektar itu, terdapat sejutaan pohon kemenyan yang selama ini diolah masyarakat,” kata Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Delima Silalahi.
Kata Delima, ada 23.225 hektar di Humbahas yang dialokasikan untuk areal food estate. Negara mengklaim bahwa status areal tersebut merupakan kawasan hutan dengan fungsi hutan produksi (20.354 ha) dan hutan produksi terbatas (2.871 ha). Sekitar 16.000 hektar areal ini merupakan pengurangan luas konsesi PT TPL. Sementara di sisi lain, masyarakat adat juga mengakui itu merupakan wilayah adatnya.
“Ada dua komunitas masyarakat adat saat ini berjuang mempertahankan wilayah adat mereka di areal tersebut, yakni masyarakat Pandumaan Sipituhuta dan masyarakat adat Pargamanan Bintang Maria-Parlilitan. Selain berpotensi meningkatkan konflik agraria, food estate ini juga berpotensi menimbulkan deforestasi,” kata Delima.
Kekecewaan yang sama disampaikan Ketua Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Tano Batak Roganda Simanjuntak. Dikatakannya, jika niat pemerintah ingin menjamin ketahanan pangan, harusnya masyarakat sekitar yang diberdayakan dengan dukungan modal dan sebagainya, bukan memberikan lahan masyarakat dikuasai investor dengan dalih food estate.
“Ini justru menambah konflik di KDT. Padahal konflik masyarakat adat dengan perusahaan TPL misalnya, sejak beberapa puluh tahun lalu tak kunjung selesai. Makanya kami ragukan niat Presiden Joko Widodo yang katanya ingin memajukan KDT. Atau presiden hanya untuk mendapat simpati masyarakat saja sehingga masyarakat tak sadar tanah adatnya sudah dirampas investor melalui perpanjangan tangan pemerintah,” katanya.
Pandangan lain disampaikan aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut. Hasil analisis lembaga ini menyebutkan, deforestasi terbesar di Sumtera Utara dalam 10 tahun terakhir berkat legalisasasi pemerintah kepada PT TPL. Dari total 167.912 hektare izin konsesi PT TPL, seluas 46.885 hektare berada di kawasan bentang alam Tele yang merupakan kawasan penyanggah Danau Toba.
“Dampaknya, kerusakan hutan alam, merusak tangkapan air dan mengganggu sumber kehidupan masyarakat adat, seperti hutan kemenyan,” kata Manager Kajian dan Advokasi Walhi Sumut, Putra Septian
Para aktivis NGO ini mendesak agar food estate dihentikan setidaknya sampai ada kejelasan dan jaminan bahwa konsep itu bukan dalih pemerintah untuk menjual tanah ulayat kepada investor asing.(SBSINEWS090221)