DALAM sejarah bangsa Indonesia perdagangan orang pernah melalui perbudakan atau penghambaan. Masa kerajaan-kerajaan di Jawa, perdagangan orang yaitu perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodalisme. Pada masa itu konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia.
Kekuasaan raja tidak terbatas, hal ini tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lain adalah persembahan dari kerajaan lain dan ada juga selir yang berasal dari lingkungan masyarakat bawah yang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana, sehingga dapat meningkatkan statusnya. Perempuan yang djadikan selir berasal dari daerah tertentu. Sampai sekarang daerah-daerah tersebut masih merupakan legenda.
Koentjoro mengidentifikasi ada 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan dan sampai sekarang daerah tersebut masih terkenal sebagai pemasok perempuan untuk diperdagangkan, daerah tersebut adalah Jawa Barat (Indramayu, Karawang, Kuningan), Jawa Tengah (Pati, Jepara, Wonogiri), Jawa Timur (Blitar, Malang, Banyuwangi, Lamongan).
Di Bali juga terjadi hal tersebut, misalnya seorang janda dari kasta rendah tanpa dukungan yang kuat dari keluarganya secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan masuk ke lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur dan sebagian penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur. Perlakuan terhadap orang, yaitu perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas di Jawa saja, tetapi kenyataannya juga di seluruh Asia.
Dalam Prostitution in Colonial Java dalam DP Chandler and M.C. Ricklefs bahwa prostitusi di Indonesia mengalami puncaknya sekitar tahun 1811, yaitu pada saat pembangunan jalan dari Anyer menuju Panarukan dan dilanjutkan pembangunan jalan dan stasiun kereta api oleh Daendels, sekarang juga masih terjadi di mana lokalisasi prostitusi dekat stasiun kereta api. Perkembangan prostitusi kedua adalah tahun 1870 ketika pemerintah Belanda melakukan privatisasi perkebunan atau kulturstelsel.
Sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan perdagangan orang seperti yang dikenal dalam masyarakat modern saat ini, tetapi apa yang dilakukan pada masa itu telah membentuk landasan bagi perkembangan perdagangan orang yang ada pada saat ini. Bentuk perdagangan orang lebih terorganisir dan berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda. Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa. Perdagangan orang berbentuk kerja rodi dan menjual anak perempuan untuk mendapat imbalan materi dan kawin kontrak.
Sejak tahun 1929 masalah perdagangan orang khususnya perdagangan perempuan dan anak telah dibahas. Persoalan perdagangan orang yang khususnya perdagangan perempuan dan anak ini muncul ketika ada peristiwa yang banyak dibicarakan dan menjadi pembahasan dalam masyarakat tentang beberapa anak dari desa Pringsut di Magelang yang diculik pada saat darmawisata ke Semarang. Penculikan dilakukan dengan membius terlebih dahulu anak-anak tersebut dan dibawa ke Singapura. Kasus ini mendorong terbentuknya Perkumpulan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (P4A).
Lembaga ini menjadi cikal bakal terbentuknya Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak (BPPPA) yang merupakan hasil keputusan Kongres perikatan Perkumpulan Istri Indonesia di Surabaya pada tanggal 13-18 Desember 1930. Kasus-kasus yang banyak ditangani adalah kasus pembayaran utang. Pada saat itu di bawah pemerintahan kolonial Belanda, sehingga masyarakat Indonesia dalam keadaan miskin, sehingga banyak keluarga yang terlibat utang pada rentenir dan kemudian menyerahkan anak atau istrinya sebagai alat pembayar utang.
Selain itu, banyak terjadi juga kasus-kasus penculikan anak-anak laki-laki yang kemudian dijual untuk dijadikan korban laki-laki dewasa yang menuntut ilmu tertentu karena tidak diperbolehkan melakukan perkawinan atau hubungan seksual dengan perempuan. Salah satunya sering disebut dengan Warok (di Jawa).
Begitu juga periode penjajahan Jepang, perdagangan orang berbentuk kerja rodi dan komersial seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur, Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong untuk melayani perwira tinggi Jepang. Hartono dan Juliantoro menemukan berbagai cara rekrutmen dalam perdagangan orang khususnya perempuan, yaitu:
1. melalui saluran-saluran resmi yang digagas Jepang, dimana perempuan diperas tenaganya dalam pekerjaan massal seperti menjadi pembantu rumah tangga, pemain sandiwara atau sebagai pelayan restoran
2.Melalui jalur resmi aparat pemerintahan, seperti para carik, Bayan dan Lurah dikerahkan untuk mengumpulkan perempuan desa. Pendekatan yang dipergunakan oleh aparat desa adalah cara kekeluargaan, sehingga dalam proses pemberangkatan tidak banyak persoalan. Mereka dijanjikan untuk mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan uang untuk membantu kehidupan keluarga, padahal, perempuan tersebut dijadikan Jugun Ianfu, yaitu wanita penghibur baik untuk kalangan militer maupun sipil Jepang. Mereka dikirim sampai ke Kalimantan atau bahkan ke pulau Iain asing bagi mereka.
Kondisi kerja eksploitatif biasanya dihadapi oleh para Jugun Ianfu. Selain dikurung ditempat asing dan tertutup, mereka juga harus bersedia melayani balatentara Jepang setiap saat. Apabila mereka menolak, akan mendapat pukulan, sehingga dikondisikan untuk tidak mempunyai pilihan kecuali menurut.
Jaringan perdagangan orang tidak bisa dipisahkan dari batas-batas negara yang semakin mudah dilintasi. Mereka mempunyai jaringan lintas negara yang terstruktur rapih dan sangat rahasia keberadaannya. Dalam perkembangannya, perdagangan orang mencakup berbagai tujuan.
Setelah merdeka, hal tersebut dinyatakan sebagai tindakan yang melawan hukum. Di era globalisasi, perbudakan marak kembali dalam wujudnya yang ilegal dan terselubung berupa perdagangan orang melalui bujukan, ancaman, penipuan, dan rayuan untuk direkrut dan dibawa ke daerah Iain bahkan ke luar negeri untuk diperjual belikan dan dipekerjakan di luar kemauannya sebagai pekerja seks, pekerja paksa dan atau bentuk-bentuk eksploitasi Iainnya.
Kini, perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi perhatian Iuas di Asia bahkan seluruh dunia. Perdagangan orang terjadi tidak hanya menyangkut di dalam negara Indonesia saja yaitu perdagangan orang antar pulau, tetapi juga perdagangan orang di Iuar negara Indonesia dimana terjadi perdagangan orang ke negara-negara Iain. Maraknya isu perdagangan orang ini diawali dengan semakin meningkatnya pencari kerja baik Iaki-laki maupun perempuan bahkan anak-anak untuk bermigrasi ke Iuar daerah sampai ke luar negeri guna mencari pekerjaan.
Kurangnya pendidikan dan keterbatasan informasi yang dimiliki menyebabkan mereka rentan terjebak dalam perdagangan orang. Berbagai penyebab yang mendorong terjadi hal tersebut di atas di antaranya yang dominan adalah faktor kemiskinan, ketidak tersediaan lapangan kerja, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang tidak berkesudahan.
Kondisi ini tidak saja dialami oleh Indonesia. Laporan survei Dunia IV tentang perempuan dan pembangunan (1999) menyebutkan bahwa banyak negara berkembang di Asia seperti Vietnam, Srilanka, Thailand, dan Filipina mengalami hal yang sama, sebagai akibat ketidakpastian dan ketidakmampuan menghadapi persaingan bebas dari konsep liberalisme ekonomi di era globalisasi yang mempunyai dampak cukup kompleks terutama terhadap peningkatan peran dan kedudukan perempuan dalam bidang ekonomi baik tingkat nasional maupun internasional. Perdagangan orang terkait erat dengan kriminalitas transnasional yang merendahkan martabat bangsa dan negara karena memperlakukan korban semata sebagai komoditi yang dibeli, dijual, dikirim, dan dijual kembali.
Perdagangan orang yang mayoritas perempuan dan anak merupakan jenis perbudakan pada era modern ini merupakan dampak krisis multidimensi yang dialami Indonesia. Dalam pemberitaan saat ini sudah dinyatakan sebagai masalah global yang serius dan bahkan telah menjadi bisnis global yang memberikan keuntungan besar terhadap pelaku. Dari waktu ke waktu praktik perdagangan orang semakin menunjukkan kualitas dan kuantitasnya.
Setiap tahun diperkirakan dua juta manusia diperdagangkan dan sebagian besarnya adalah perempuan dan anak. Tahun 2005, ILO Global Report on Forced Labour memperkirakan hampir 2,5 juta orang dieksploitasi melalui perdagangan orang menjadi buruh di seluruh dunia, dan lebih dari setengahnya berada di wilayah Asia dan Pasifik dan 40% adalah anak-anak. Di satu sisi, hal ini terjadi karena kemiskinan struktural seperti tidak mampunya keluarga untuk mengikuti kenaikan harga bahan pokok memaksa mereka mengirim anggota keluarganya untuk bekerja.
Dilain pihak, telah menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap pelaku dan belum ada mekanisme yang efektif untuk melindungi perempuan dan anak-anak yang dieksploitasi tersebut.
Kenyataan bahwa yang lebih dominan korban adalah perempuan dan anak karena merekalah kelompok yang sering menjadi sasaran dan dianggap paling rentan. Korban perdagangan orang biasanya ditipu, diberlakukan tidak manusiawi, dan dieksploitasi. Bentuk-bentuk eksploitasi itu sendiri diantaranya dengan cara memperlakukan korban untuk bekerja yang mengarah pada praktik-praktik eksploitasi seksual, perbudakan atau bentuk-bentuk perbudakan modern, perbuatan transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersial, sampai penjualan bayi yang dimaksudkan untuk tujuan dan kepentingan mendapatkan keuntungan besar bagi para pelaku perdagangan orang. Kasus perdagangan orang terutama terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Medan, Padang, Pontianak, Makassar, dan Manado.
Hasil seminar Illegal Migration and Human Trafficking in Women and Children menunjukkan bahwa tahun 2000 dari 1.683 kasus yang dilaporkan ke kepolisian hanya 1.094 kasus yang diteruskan ke pengadilan. Laporan dari Malaysia berdasarkan data tahun 1999 dan 2000, di wilayah perbatasan negara tetangga Malaysia dan Singapura menunjukkan bahwa lebih dari 4.268 orang berasal dari Indonesia dari sejumlah 6.809 orang yang terlibat dalam kejahatan perdagangan perempuan di Malaysia sebagai pekerja seks, sedangkan dari hasil pemantauan yang disampaikan oleh US Department of State bahwa dari 5 juta buruh migran terdapat 20% merupakan hasil perdagangan perempuan dan anak berasal dari Indonesia. Adapun Economy and Social Commissionon Asia Pacific (ESCAP) melaporkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga atau terendah dalam upaya penanggulangan masalah perdagangan orang. Dan pada tahun 2017 Indonesia adalah urutan ke dua di dunia jadi korban perdagangan orang.
Kesimpulan
- Saat ini masalah perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi perhatian Iuas di Asia bahkan seluruh dunia.
- Penyebab maraknya masalah perdagangan orang adalah :
a.Diawali semakin meningkatnya laki-laki, perempuan bahkan anak-anak untuk mencari pekerjaan atau banyaknya pengangguran.
b.Kurangnya pendidikan dan keterbatasan informasi yang dimiliki menyebabkan mereka rentan terjebak dalam perdagangan orang.
c.Berbagai penyebab yang mendorong terjadi hal tersebut di atas, di antaranya yang dominan adalah faktor kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan kerja, perubahan orientasi pembangunan dari pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang tidak berkesudahan. - Pada tahun 2017 Indonesia urutan ke 2 (dua) di dunia menjadi korban perdagangan orang.
- UU No. 21 Tahun 2017 tentang Pembrantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang belum diterapkan dengan baik, karena Perdagangan orang di Indonesia semakin tahun semakin marak korbannya.
Saran
Indonesia adalah Negara Kaya dan paling luas wilayahnya di Asia, tetapi penduduknya masih banyak yang miskin, banyak pengangguran, pendidikan belum merata bahkan tenaga kerja Indonesia 60 % hingga tamatan SMP, selebihnya tamatan SMA dan Perguruan Tinggi, sehingga kondisi ini menyebabkan Indonesia pada tahun 2017 menjadi korban perdagangan orang nomor 2 di dunia.
- Sebagai rakyat kita harus mengawasi kinerja pemerintah sehingga pejabat bekerja sesuai aturan ATAU tidak KKN.
- Mendorong pemerintah menggalakkan penyuluhan pelatihan kerja di daerah khususnya usaha padat karya bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) untuk menciptakan lapangan kerja guna mengurangi pengangguran dan TKI. Demikian tulisan ini disampaikan. Semoga bermanfaat.
HENRI LUMBAN RAJA, SE., SH., M.H.
(ADVOKAD, Kurator & Pengurus dan HKPM)