Oleh: Rusdianto Samawa
SBSINews – Kalau Menteri KKP Benar-Benar Komitmen Memajukan Perikanan Tangkap ? Maka, Segera Cabut Peraturan Menteri Nomor 56 Tahun 2014 dan Surat Edaran Nomor D.1234/DJPT/PI.470.D4/31/12/2015 tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal Perikanan pada SIUP, SIPI dan SIKPI. Kebijakan Era Susi Pudjiastuti ini termasuk penyebab banyaknya KAPAL IKAN ASING lakukan ILEGAL FISHING di Indonesia karena membatasi Gross Ton (GT) kapal – kapal dalam negeri.
Nelayan tradisional Bagan di Sumbawa merasakan Surat Edaran Dirjen Tangkap yang membatasi Gross Ton kapal nelayan. Sekitar 40 kapal nelayan Bagan di Sumbawa terpaksa harus mengurangi atau “mack down”. Padahal secara hukum “Mack Down” itu termasuk tindak pidana ilegal perikanan, yang tidak dapat dibenarkan. Namun, akibat Surat Edaran itu mereka merasa takut untuk melaut dan pemerintah: KKP sendiri mengajarkan untuk “Mack Down.”
Begitu juga, para pengusaha Industri Unit Pengolahan Ikan (UPI) disektor perikanan mereka harus berjibaku pertahankan usahanya agar tetap berlangsung aman dan selamat. Dalam situasi itupun, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak ada niat baik untuk merevisi dan/atau mencabut.
Pembatasan ukuran kapal tangkap dan kapal pengangkut ikan hidup menjadi alat efektif untuk membangkrutkan UPI-UPI yang memiliki kapal tangkapnya eks luar negeri. Pemerintah membatasi ukuran maksimal kapal tangkap sebesar 150 Gross Tonnage (GT) dan kapal angkut 200 GT dengan alasan untuk memberi kesempatan berusaha yang sama bagi nelayan kecil.
Akibat Peraturan Menteri Nomor 56 Tahun 2014 dan Surat Edaran Nomor D.1234/DJPT/PI.470.D4/31/ 12/2015 tentang Pembatasan Ukuran GT Kapal Perikanan pada SIUP, SIPI dan SIKPI itu, pengusaha dan nelayan: besar maupun kecil tetap terbebani oleh peraturan tersebut.
Permen dan SE DJPT itu, tidak pandang nelayan besar dan kecil, semua bersifat menyeluruh kena semua. Inilah kebijakan paling bodoh sepanjang rezim selama ada Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Permen ini sangat berdampak pada seluruh aktivitas nelayan. Keluhan atas permen dan SE DJPT ini sejak 2015. Waktu saya ke wilayah Probolinggo Jawa Timur saja, nelayan dan pengusaha perikanan mengeluhkan ukuran kapal angkut sebesar 200 GT yang terlalu kecil, sedangkan tangkapan nelayan banyak. Dengan ukuran kapal yang kecil berpengaruh pada pengiriman yang jumlahnya terbatas, ongkos distribusi pun jadi lebih tinggi.
Mestinya, KKP mengerti akan hal ini, seharusnya menambah kapasitas kapal angkut menjadi 1.000 – 1500 GT. Sebab, nelayan dan pengusaha ingin ongkos angkut dari daerah timur ke barat Indonesia lebih efisien dengan penghantaran sekali jalan.
Kajian lainnya, sekarang percuma merevisi Peraturan Menteri 02 Tahun 2015 dan Permen 71 Tahun 2016, kalau saja Peraturan Menteri 56 Tahun 2014 dan SE DJPT juga tidak dicabut. Karena sama saja, nelayan dan pengusaha bisa bebas apabila semua Peraturan tersebut dicabut.
Ada masalah lain yang harus dipahami oleh Menteri KKP Edhy Prabowo, yakni: Pertama, apabila Permen 56 tahun 2014 dan SE DJPT tidak dicabut. Maka, yang mendapat keuntungan adalah Perusahaan Gelondongan. Sementara, Unit Pengolahan Ikan (UPI) dalam negeri sendiri bangkrut.
Mengapa perusahaan Gelondongan memiliki keuntungan yang sangat besar?. Pengusaha gelondongan ini, pengusaha tidak jelas. Asal mereka memiliki perusahaan ekspor – impor, mereka sudah untung sekali. Perusahaan Gelondongan ini tidak memiliki: kapal dan nelayan yang mereka bina langsung. Perusahaan gelondongan ekspor – impor ikan tidak langsung distribusi dari hasil tangkapan nelayan, tetapi mereka dapatkan dipasar-pasar atau coldstorage.
Sementara, Unit Pengolahan Ikan (UPI) dalam negeri memiliki: Kapal dan nelayan sendiri dengan harapan bisa menyuplai bahan baku setiap hari. Tetapi, kondisi mereka prihatin karena munculnya Permen 56 Tahun 2014. (Cob)
Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)