Catatan Siang

Masalah tunggakan klaim pembayaran BPJS ke RS sampai saat ini masih terus bermasalah. Ada RS yg justru mempublikasi “nasib” mereka ke publik atas keterlambatan BPJS membayar klaim ke RS. Janji Menkeu membailout BPJS sebesar Rp. 4.9 T masih saja terus dinanti kalangan RS, supplier obat dan supplier alat kesehatan, dsb. Semoga minggu depan cair

Posisi awal september 2018 utang klaim yg belum dibayar BPJS ke RS sekitar Rp. 7 Triliun, terus naik karena pasien JKN terus dilayani RS. Per akhir Mei 2018 posisi utang klaim tsb sebesar Rp. 4.2 Triliun. Artinya dalam posisi utang sebesar Rp. 4.2 Triliun hingga Rp. 7 Triliun dalam 3 bulan (juni – agustus 2018) maka secara rata – rata beban denda BPJS bertambah sekitar minimal 150 miliar (= 3 bulan x 1% x Rp. 5 triliun).

Tentunya beban BPJS akan terus bertambah bila tunggakan tsb tdk juga kunjung dibayar ke RS.

Sejak Menkeu berjanji membailout BPJS, lalu dilakukannya audit oleh BPKP hingga dikeluarkannya PMK No. 113/2018 hingga janji akan mencairkan bailout Rp. 4.9 Triliun pada minggu depan, merupakan sejumlah proses waktu yg berakibat pada penambahan beban BPJS ke RS karena adanya kewajiban membayar denda 1 persen per bulan atas keterlambatan pembayaran klaim tsb.

Kalau saja beban denda atas tunggakan tsb disadari pemerintah dan BPJS Kesehatan maka seharusnya Pemerintah dan BPJS Kesehatan menggunakan instrumen SCF (supply chain financing) dengan meminjam ke Bank untuk menutupi tunggakan utang klaim tsb.

Regulasi SCF saat ini hanya memposisikan RS yg pro aktif minjam ke bank. Tidak semua RS mau menggunakan SCF ini guna membantu cash flownya karena RS berharap dapat 1 persen denda secara keseluruhan, tidak mau mensharingkannya ke bank. BPJS Kesehatan terkendala untuk meminjam dari bank.

Dengan BPJS menggunakan SCF maka BPJS kesehatan akan menjamin pembayaran klaim ke RS cepat terlaksana dan beban denda 1 persen akan dihemat.

Dengan SCF maka cash flow RS segera pulih. Dengan SCF maka RS tidak akan mem”bully” BPJS lagi. Tidak akan ada lagi spanduk2 yg memojokkan BPJS karena telat bayar klaim.

Dengan SCF maka denda BPJS akan berkurang.

Bank akan membebankan bunga ke BPJS di bawah 12 persen per tahun atau di bawah 1 persen per bulan. Bank akan membebankan bunga ke BPJS bervariasi sekitar 0.5-0.8 persen. Ini artinya denda 1 persen yg wajib dibayarkan BPJS ke RS akan bisa dihemat sekitar 0.2 – 0.5 persen per bulan dari outstanding tunggakan klaim.

Dengan SCF ini, misalkan, bila bank membebankan suku bunga pinjaman 0.7 persen perbulan ke BPJS maka BPJS bisa menghemat denda sebesar 0.3 persen per bulan atau selama Juni – agustus 2018 ini bisa menghemat sekitar Rp. 45 milyar (= 3 bulan x 0.3 persen x Rp. 5 triliun). Suatu penghematan yg besar tentunya.

Dengan SCF maka pundi pundi APBN akan bertambah. Dgn BPJS Kesehatan menggunakan SCF maka pendapatan bunga dan pendapatan administrasi bagi bank akan meningkat. Pendapatan bank yg meningkat ini tentunya menjadi pendukung keuntungan bagi bank, yg akhirnya menjadi obyek pajak bagi negara dan yg akan menambah pundi2 APBN.

Bila denda 1 persen dibayar ke RS dan itu menjadi pendapatan RS maka dipastikan nilai pajak RS lebih kecil dari pajak keuntungan bank. APBN akan mendapat pajak lebih besar dari bank dibandingkan dari RS.

Nah, oleh karena itu ketentuan ttg SCF harus segera direvisi dengan posisi BPJS harus pro aktif menggunakan SCF ini, tentunya dalam kondisi defisit seperti saat ini.

Bila saja minggu depan dana bailout Rp. 4.9 Triliun turun maka utang klaim sebesar Rp. 7 triliun akan dibayarkan. Tapi masih ada kekurangan Rp. 2 triliun. Ini artinya masih ada tunggakan BPJS ke RS yg cukup besar dan berakibat pada pembayaran denda 1 persen lagi atau sekitar Rp. 20 miliar per bulan.

Dengan kondisi defisit yg sangat besar maka beban denda akan terus bertambah, bila pemerintah hanya membailout Rp. 4.9 triliun. Oleh karenanya memang pemerintah harus membuat skenario bailout tahap II ke BPJS di tahun ini dan dalam proses penantian pencairan bailout tahap II ini SCF bisa digunakan, sehingga klaim tunggakan ke RS bisa terbayarkan dan defisit 2018 tidak terbawa ke tahun 2019.

Pinang Ranti, 23 September 2018

Tabik

Timboel Siregar

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here