Alhamdulillah setelah lebih dari setahun tidak berjumpa dipertemukan lagi dengan Ustadz Muhsin Labib. Ustad intelektual yang enggan menyandang berbagai gelar kehormatan, yang hidup sederhana dengan kemewahan horizon wawasan keislaman yang disandang dalam pikirannya.
Kami ngobrol sekitar 4 jam dari jadwal yang saya agendakan sekitar 2 jam. Setelah saling menanyakan khabar, kami langsung bicara soal filsafat tentang agama dan nalar, keyakinan dan rasio. Seperti setiap kami bertemu, kami tidak menyia-nyiakan waktu untuk menyegerakan langsung berbicara tentang filsafat dan pengetahuan. Perbincangan awal langsung kami mulai dengan diskusi soal apa itu realitas, apa itu wujud. Serta apa implikasi-implikasi turunannya dari penjabaran tentang wujud. Setelah mendengar soal ini, maka sahibul bayt kami Ustad Abdullah Baabud langsung menyambung,”wah ini harus direkam dimasukkan ke youtube. Monggo kita siap-siap.
Saya dengan senang hati mengikuti, dan saya minta ijin dengan para ustad ini,”perkenankan saya memposisikan diri sebagai devil advocate, saya berusaha menjadi penyambung keresahan dan argumen dari kaum freethinker, agnostik bahkan atheist”. Mereka menyambutnya dengan senang hati dan senyum merekah.
Diskusi kemudian berlangsung seru sampai lebih dari satu jam. Kru yang merekam diskusi sahabat-sahabat sampai menyatakan ini siaran paling padat yang pernah kita rekam. Perbincangan berangkat dari tema filsafat keburukan dan musibah. Saya memulai dari filsafat absurditas Albert Camus yang diuraikan dalam karyanya Sampar sampai dengan pandangan kontroversial Yuhal Noah Harari tentang agama sebagai hoax. Namanya berposisi sebagai devil advocate ya saya terus majukan argumen sampai pada uraian paling radikal. Baik Ustad Labib yang sekarang nama udaranya adalah Bang Mula dan Ustad Abdullah Baabud menjawabnya dengan uraian filosofi tentang apa itu Realitas.
Pada akhirnya kami sampai pada kesimpulan soal berkeyakinan harus berangkat dari nalar. Rasio digunakan dalam keyakinan secara radikal sampai akhir. Saya menambahkan bahwa argumen tentang dosa dan kemaksiatan sebagai penyebab bencana, harus direinterpretasikan ulang dengan mengikutkan analisis sosial. Bahwa kemaksiatan dalam kasus banjir tidak dapat dilepaskan dari problem deforestasi. Yang akarnya semua itu tidak bisa dilepaskan dari kemaksiatan oleh kelas sosial dominan!
Sehat selalu Ustadz!
Penulis : Airlangga Pribadi