Oleh: Hasanudin Abdurakhman
Jumat, 21 September 2018
Sembako mahal, hidup rakyat makin sulit. Uang Rp.100 ribu hanya dapat cabe dan bawang. Itu ungkapan Sandiaga Uno, calon wakil presiden Prabowo Subianto. Sontak ungkapan itu dibantah oleh pendukung Jokowi. Emak-emak berlomba-lomba membuat video kesaksian bahwa sembako tidak mahal, dalam berbagai versi.
Tidak ada yang baru sebenarnya dari pola kampanye ini. Ini adalah varian dari kampanye Prabowo sepanjang masa pemerintahan Jokowi. Garis besarnya adalah “salawi”, semua salah Jokowi; apa pun yang dilakukan Jokowi, apa pun hasilnya, pasti salah.
Dalam sebuah pidato, Prabowo mengkritik keadaan di mana segolongan kecil orang menguasai kekayaan yang demikian besar. Itu dia sebut sebagai contoh buruk hasil kerja pemerintah sekarang. Itu adalah salah satu ungkapan konyol Prabowo. Ia adalah salah satu orang yang dia sebut itu, orang yang menguasai begitu banyak harta kekayaan. Demikian pula pendampingnya, Sandiaga Uno. Mereka berdua punya kekayaan dalam orde triliun rupiah. Prabowo mengeluh soal itu, menyebutnya sebagai kesalahan Jokowi.
Bila dipikir dengan kritis, pola kampanye seperti itu adalah pola kampanye yang buruk dan tidak cerdas. Tapi Prabowo dan Sandi memang tidak ingin melakukan kampanye cerdas. Mereka sedang melakukan pola kampanye dengan memanfaatkan kelemahan manusia berupa cognitive ease. Apa itu?
Secara sederhana, cognitive ease bisa kita ganti dengan istilah “malas mikir”. Sistem berpikir manusia terbagi dua, yaitu sistem cepat dan sistem lambat. Sistem cepat itu dipakai untuk melakukan hal-hal yang mudah, seperti menghitung 2+2. Sistem lambat dipakai untuk hal yang lebih rumit, misalnya menghitung akar bilangan 4700. Memakai sistem lambat itu melelahkan, menghabiskan energi. Karena itu manusia cenderung memakai sistem cepat. Kedua sistem sebenarnya mutlak diperlukan dalam diri manusia. Meski melelahkan, sistem lambat sangat penting. Demikian pula sistem cepat. Masalahnya adalah ketika salah pakai sistem. Bila sistem cepat dipakai untuk memikirkan sesuatu yang rumit, hasilnya adalah bias.
Salah satu bentuk cognitive ease adalah mengonfirmasi kepercayaan yang sudah dianut. Bila disodori sejumlah informasi, orang akan cenderung memilih informasi yang cocok dengan kepercayaan yang sudah dia anut. Itu membuat dia nyaman. Dia tidak perlu lagi mengeluarkan energi intelektual untuk memeriksa informasi itu. Di situ sistem cepat tadi bekerja.
Propaganda tentang Jokowi sejak Pilkada DKI 2012 sudah menempatkan seperangkat kepercayaan pada pikiran sekelompok orang. Jokowi itu abangan, tidak islami, bahkan cenderung anti-Islam. Konyolnya, citra itu diperkuat oleh fakta bahwa Prabowo saat itu mendukung Jokowi. Prabowo sangat cocok dengan citra abangan itu. “Keburukan” Prabowo waktu itu diungkap sebagai informasi pelengkap untuk membangun citra bahwa Jokowi itu buruk.
Ajaibnya, citra itu terus bertahan, ketika di tahun 2014 Jokowi berhadapan langsung dengan Prabowo di pemilihan presiden. Orang tidak peduli bahwa yang dulu membawa Jokowi ke pusaran politik nasional adalah Prabowo. Sama dengan tidak pedulinya orang pada fakta bahwa Prabowo itu kaya raya, tapi mengeluhkan ketimpangan ekonomi. Itulah keajaiban cognitive bias, yang terjadi karena cognitive ease tadi.
Sandiaga tidak peduli pada bantahan-bantahan terhadap pernyataannya. Ia memang tidak mengirim pesan kepada orang-orang yang membantah itu. Ia sedang mengirim pesan kepada orang-orang malas mikir yang terbuai oleh cognitive ease mereka. Yang menerima pesan itu tidak perlu mencocokkan informasi dengan fakta, karena itu akan menghabiskan energi intelektual mereka. Mengaminkan informasi itu lebih nikmat. Apalagi bila diikuti dengan kesempatan berswafoto bersama Sandiaga.
Ada lagi bias lain yang dipakai dalam pola propaganda ini, yaitu prinsip “dua diri”. Manusia punya dua sisi, yaitu “diri yang mengalami” dan “diri yang mengingat”. Ketika jari Anda terjepit pintu, Anda merasakan sakit. Tapi yang Anda ingat dalam sisa hidup Anda bukan berapa lama Anda merasakan, atau bagaimana sakitnya, tapi puncak rasa sakit itu, bagian yang paling menyakitkan. Manusia merekam pengalaman dari puncak-puncak itu.
Emak-emak mendapati harga telur naik menjadi Rp.30 ribu sekilo. Itu adalah sebuah puncak. Di memorinya akan tercatat rekaman bahwa “harga telur mahal”. Rekaman itu akan membekas, tidak mudah terhapus. Emak-emak akan selalu percaya bahwa “harga telur mahal”, tidak peduli di pasar harga telur sudah turun menjadi Rp.23 ribu sekilo.
Propaganda yang memanfaatkan cognitive bias memang sangat efektif, dan sulit dilawan, khususnya bila hendak dilawan dengan pola-pola rasional. Itu seperti Anda menyodorkan seporsi steak matang bersama sepotong daging mentah. Tak peduli bahwa daging mentah itu adalah sepotong wagyu yang paling mahal, orang akan cenderung memilih steak matang, walau hanya terbuat dari daging sapi lokal yang keras, karena wagyu mentah masih perlu diolah. Berpikir, menganalisis informasi yang disodorkan itu melelahkan, mereka tak ingin melakukannya.
Hasanudin Abdurakhman
Penulis dan pekerja profesional.