Kesadaran bangsa Indonesia terhadap pandemi virus covid-19 sangat beragam. Tidak hanya dari dua kubu residu pilpres 2019, tapi dari irisan-irisan latar belakang manusia Indonesia yang sangat beraneka ragam. Sudut pandang politik, agama, kesehatan, dlsb.

Dari sudut pandang politik, bangsa kita masih terbelah. Ada yang islamis (Islam dijadikan ideologi), ada yang sekularis (agama ya agama, negara ya negara), ada yang Pancasilais (Pancasila sebagai dasar hidup bernegara, belakangan dianggap sebagai ideologi), ada yang agama 100% Indonesia 100% seperti semboyan Umat Katolik, dll.

Dari sudut pandang agama, khususnya agama Islam sebagai mayoritas, umatnya pun terbelah. Ada yang jabbariyah, berpandangan bahwa takut itu hanya kepada Allah dan bukan takut kepada virus. Teologi seperti ini tidak hanya dipakai oleh anggota atau masyarakat yang berafiliasi ke kelompok Islam atau ormas tertentu, ada yang dari ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah, juga kelompok-kelompok lain seperti PERSIS, gerakan Tarbiyah, eks-HTI, salafi, dll.

Ada juga yang qodariyyah, yang berpedapat bahwa kita harus berikhtiar untuk mencegah penyebaran virus, termasuk yang kini sering diperdebatkan oleh sesama penganut teologi qodariyyah atau juga versus jabbariyah terkait kegiatan sholat berjamaah di masjid, khususnya mendekati Hari Raya Iedul Adha. Perdebatannya selalu ramai di media sosial, Facebook, Twitter, Reels IG, juga lebih seru lagi di Tik Tok. Perbedaan teologi ini juga saling beririsan terhadap basis pandangan politik umat Islam dalam menanggapi kebijakan Pemerintah dalam menangani pandemi. Ada yang pro dan puas, ada yang anggap gagal, dan tidak sedikit pula yang menganggap Pemerintah adalah Dajjal, pun terhadap pemerintah negara lain seperti Kerajaan Saudi yang menutup masjid-masjid.

Dari sudut pandangan kesadaran kesehatan, wah banyak lagi. Ada yang merasa kebal terhadap virus, ada yang percaya WHO dan sebaliknya, ada yang percaya teori konspirasi virus, ada yang paranoid, dll. Mereka semua terus menerus ribut di media sosial.

Yang lucu lagi, dan ini tidak lucu, ada yang bilang jangan salahkan rakyat terus. Yang disalahkan itu bukan rakyat, tapi yang provokasi atau abai terhadap protokol kesehatan karena tidak percaya adanya virus ini. Bisa rakyat biasa seperti kita, bisa polisi, satpol PP, anggota TNI, pejabat pemerintah, lurah, Pak RT, Pak RW, dokter juga ada lho!!

Kita jujur saja, ada kok oknum polisi yang menganggap virus covid-19 ini tidak ada. Satpol PP, TNI, lurah, dll. juga ada. Ketika mereka bertugas ya bertugas saja. Oknum ya! Apa sebab? ya itu tadi, isi kepalanya beda-beda. Mungkin dalam tahapan tertentu dalam hidup akan sadar juga. Everyone always change.

Itulah yang membuat Pemerintah kita kewalahan menangani covid. Mau diganti? Ini juga tambah ngawur. Selain memperpanjang daftar perdebatan, penanganan covid yang sudah berjalan akan semakin jauh dari keberhasilan. Sudah banyak yang dilakukan pemerintah kita, meski kedepan masih menghadapi tantangan yang lebih besar dan sulit.

Kini, setelah korban meninggal terus bertambah hari demi hari, berita duka terus berseliweran di grup-grup WA, timeline FB, IG story, dlsb, kesadaran terhadap adanya virus adalah hal yang lebih mahal dari tabung oksigen. Kesadaran ini akan mencegah orang menyebarkan kabar yang salah terkait covid-19.

Selanjutnya, bergotong royong untuk menyadarkan orang lain sebanyak dan semampu mungkin. Tinggalkan ego politik, ego keyakinan, dan ego-ego lainnya. Dan mulai mendahulukan rasa kemanusiaan sebelum apapun.

Jika kesadaran ini tidak segera dibangun, sebaik apapun kerja pemerintah, petugas medis, dan lainnya, maka akan terus jauh dari keberhasilan. Jika perdebatan ini terus berlanjut dan tak tercapai kesadaran bersama, maka yang akan terjadi adalah seleksi alam. Sekuat apapun doamu terhadap Tuhan, kita tetap bukan Nabi Ibrohim yang selamat dari makhluk bernama api.

Redaksi SBSINEWS
12 Juli 2021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here