SBSINews – Masih dalam suasana akhir pekan dirgahayu kemerdekaan ke-74 Republik Indonesia, Nusantara kembali terguncang dengan kabar kerusuhan di Manokwari, Papua Barat. Hari Senin (19/8) pagi, massa diketahui menyampaikan protes atas dugaan persekusi dan rasisme terhadap mahasiswa Papua di sejumlah daerah di Indonesia seperti Malang, Surabaya, dan Semarang.
Warga setempat tampak menyebar ke jalan-jalan sembari membawa senjata tajam dan spanduk. Sebagian massa yang membawa senjata tajam bahkan menebang pohon untuk memblokade sejumlah ruas jalan, yakni Jalan Yos Sudarso, Jalan Trikora Wos, dan Jalan Manunggal Amban di Kecamatan Manokwari Barat, Kabupaten Manokwari, Provinsi Papua Barat. Massa di pinggir Jalan Yos Sudarso juga diketahui melemparkan pecahan botol serta merobohkan papan reklame dan tiang lampu lalu lintas.
Pengunjuk rasa membawa spanduk yang bertuliskan kecaman atas perlakukan diskriminatif yang dialami mahasiswa Papua baru-baru ini di Surabaya, Malang, dan Semarang. Mereka mengaku tak terima dengan aksi persekusi yang dilakukan sejumlah oknum dan ormas di Jawa Timur terhadap mahasiswa Papua yang konon disebut sebagai “monyet.” Sebagian demonstran terlihat membawa poster bertuliskan “Keluarkan Monyet dari NKRI.” Mereka juga menyerukan agar rakyat Papua diberikan kesempatan untuk menentukan nasib sendiri melalui referendum.
Siaran Breaking News Kompas TV hari Senin (19/8) pagi melaporkan bahwa massa membakar gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Papua Barat di Jalan Siliwangi, Manokwari. Beberapa ruas jalan terpaksa ditutup akibat pembakaran itu, salah satunya jalan utama, yaitu Jalan Yos Sudarso.
Selain Gedung DPRD, sejumlah kendaraan roda dua dan roda empat juga tampak dibakar. Massa juga melakukan pelemparan terhadap Kapolda Papua Barat dan Pangdam XVIII/Kasuari yang datang untuk menenangkan massa.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menuturkan kepada Al Jazeera bahwa gedung yang sebelumnya ditempati oleh Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan juga telah dibakar. Belum ada kabar pasti mengenai jumlah korban jiwa hingga sejauh ini. Demonstrasi di berbagai titik di Papua masih terus berlangsung hingga tulisan ini ditulis. “Untuk saat ini, kami masih fokus pada mengumpulkan data korban dan mencoba menenangkan massa,” ujar Dedi.
Sementara itu, Wakil Gubernur Papua Barat Mohamad Lakotani mengatakan pihaknya tengah melakukan negosiasi dengan pemimpin aksi. Dilansir dari Kompas TV, Lakotani menyebutkan sudah berkoordinasi dengan Kapolda dan Panglima TNI untuk bertemu pemimpin aksi demi meredakan situasi.
Hingga pukul 8 pagi waktu setempat, akses Jalan Yos Sudarso di perempatan lampu merah Sanggeng, Jalan Trikora Wosi, dan beberapa tempat lain masih diblokade warga.
Lakotani mengaku tidak bisa mendekat ke gedung DPRD Papua Barat yang dibakar massa, padahal jarak antara kantornya dengan gedung DPRD Papua Barat begitu dekat. “Saya tidak bisa mendekat dengan gedung DPRD. Massa masih beringas, anarkis. Gedung DPRD sudah dibakar.”
Berdasarkan informasi yang disampaikan stafnya di lapangan, massa masih terkonsentrasi di beberapa titik. “Saya berusaha ke lokasi pertemuan. Tapi sejumlah ruas jalan utama itu sedang dihalang dengan tebangan pohon, dan bakar-bakaran ban bekas. Kami sedang cari jalan yang disepakati untuk bertemu dengan pimpinan aksi,” lanjut Lakotani.
Dikutip dari Tribun News, Lakotani mengimbau agar warga Manokwari menahan diri, meyakinkan bahwa pihaknya akan segera mencari solusi terbaik atas permasalahan ini. “Supaya tidak mengganggu aktivitas dan merugikan semua, merugikan pembangunan di daerah.” Lakotani menyayangkan kerusuhan ini yang telah menimbulkan dampak bagi hampir seluruh titik atau pusat pertumbuhan ekonomi yang terkonsentrasi di Manokwari.
“Kami bukan Merah Putih, kami Bintang Kejora,” demikian nyanyian lantang para demonstran muda Papua. Menurut Al Jazeera, setiap individu yang didapati membawa bendera Bintang Kejora dapat dijerat dengan pasal makar dan dijatuhi hukuman penjara hingga 15 tahun.
Selain kerusuhan yang mencekam Manokwari, protes serupa juga dilakukan di berbagai kota seperti ibu kota sekaligus kota terbesar provinsi Papua, Jayapura, Merauke, Entrop di Jayapura Selatan, hingga Yapen dan surga pariwisata Raja Ampat di Papua Barat. Iring-iringan penduduk setempat maupun anggota parlemen tampak berjalan kaki hingga mengendarai ratusan sepeda motor dalam protes damai di berbagai kota tersebut.
Aksi solidaritas juga tampak dilakukan di berbagai wilayah lainnya di luar Papua seperti di Gorontalo.
Al Jazeera juga menerima laporan dari warga setempat bahwa para demonstran yang marah menurunkan paksa bendera Merah Putih di luar kantor Gubernur Papua Lukas Enembe.
Selain penutupan terhadap ruas jalan utama akibat kebakaran di DPRD Papua Barat maupun gelombang demonstran, sejumlah toko dan bank pemerintah dilaporkan tutup akibat kerusuhan yang terjadi di Manokwari hari Senin (19/8).
Kompas.com melaporkan bahwa aparat keamanan telah dikerahkan di sejumlah titik kerusuhan untuk mengamankan situasi. “Belum ada penetapan status siaga satu untuk Manokwari. Kita masih berkomunikasi agar aksi ini tidak anarkis,” ujar Karo Ops Polda Papua Barat Kombes Pol Moch Sagi.
Untuk menghentikan aksi anarkis tersebut, polisi terpaksa menembakkan gas air mata. Dedi memastikan bahwa meski sempat terjadi kerusuhan, kepolisian dibantu TNI saat ini telah berhasil mendinginkan massa di Manokwari. Polri menerjunkan 7 SSK (Satuan Setingkat Kompi), sementara TNI menerjunkan 2 SKK untuk mengendalikan situasi di Manokwari. “Untuk situasi secara umum masih dapat dikendalikan oleh aparat kepolisian, Polda Papua Barat serta Polres di sekitar Manokwari bersama-sama TNI. Konsentrasi massa saat ini masih ada di satu titik saja, titik lain berhasil dikendalikan.”
Dipicu persekusi mahasiswa Papua di Surabaya, Malang, dan Semarang?
Terkait dugaan persekusi terhadap mahasiswa Papua di Surabaya yang diduga memicu kerusuhan Manokwari, Gubernur Papua Lukas Enembe menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi Papua menghargai upaya hukum yang dilakukan aparat keamanan atas angkut paksa terhadap 43 mahasiswa Papua di Surabaya. Lukas mengaku menghargai tindakan aparat selama dilakukan secara proporsional, profesional, dan adil.
Lukas meminta petugas keamanan agar tidak membiarkan tindakan persekusi dan main hakim sendiri oleh kelompok atau individu yang bisa melukai hati masyarakat Papua. “Pemprov Papua menyatakan empati dan prihatin terhadap insiden yang terjadi di Kota Surabaya, Semarang dan Malang, yang berakibat adanya penangkapan atau pengosongan asrama mahasiswa Papua,” ucap Lukas kepada awak media di Jayapura hari Minggu (18/08). “Kita sudah 74 tahun merdeka, seharusnya tindakan-tindakan intoleran, rasial, diskriminatif tidak boleh terjadi di negara Pancasila yang kita junjung bersama. Tindakan rasial di Surabaya sangat menyakitkan.”
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa menelepon Gubernur Papua untuk meminta maaf terkait kejadian di Surabaya dan Malang, Jawa Timur yang konon telah memicu kerusuhan di Manokwari.
“Kami telepon Gubernur Papua, mohon maaf. Sama sekali itu bukan suara Jatim. Harus bedakan letupan bersifat personal dengan apa yang menjadi komitmen Jatim,” tutur Khofifah dalam jumpa pers bersama Kapolri Jenderal TNI Tito Karnavian hari Senin (19/8).
Khofifah mengatakan bahwa pihaknya bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah sering berkomunikasi dengan para mahasiswa Papua. Mereka bahkan sering diundang dalam setiap acara penting di Jawa Timur. “Komunikasi kami sangat intensif. Masing-masing harus bangun satu komitmen untuk menjaga NKRI, Pancasila, dan Merah Putih,” ujarnya, sembari mengajak semua pihak untuk bersama-sama saling menghormati dan menghargai.
Jubir Polri Dedi Prasetyo dalam konferensi pers di Gedung Humas Mabes Polri hari Senin (19/8) siang mengakui provokasi di media sosial sebagai penyebab kerusuhan Manokwari. “Mereka boleh dikatakan cukup terprovokasi dengan konten yang disebarkan oleh akun-akun di medsos terkait peristiwa di Surabaya,” ujar Dedi. Konten di media sosial yang tersebar di antara warga Papua, menurut Dedi, dapat membangun opini publik bahwa peristiwa penangkapan mahasiswa Papua adalah bentuk diskriminasi hingga rasisme.
Dedi memastikan bahwa penangkapan mahasiswa Papua di Surabaya telah selesai secara hukum. Polisi awalnya menerima laporan mengenai perusakan bendera Merah Putih di asrama mahasiswa Papua, lantas melemparkan gas air mata untuk menerobos masuk asrama. Polisi telah memeriksa beberapa mahasiswa yang tinggal di asrama dan melepaskan mereka kembali lantaran tidak menemukan unsur pidana. “Peristiwa Surabaya sendiri sudah cukup kondusif dan berhasil diredam dengan baik. Tapi karena hal tersebut disebarkan oleh akun yang tidak bertanggungjawab, membakar atau mengagitasi mereka dan dianggap narasi tersebut adalah diskriminasi,” kecam Dedi.
Kepolisian berharap agar warga Papua yang berada di Pulau Papua maupun di seluruh penjuru Indonesia dapat menahan diri dan tidak terprovokasi, khususnya oleh pesan berantai di media sosial yang membentuk opini tertentu. “Jangan terprovokasi oleh ulah oknum-oknum tertentu yang memang ingin membuat keruh keadaan.”
Sementara itu, jurnalis Al Jazeera Febriana Firdaus mengunggah di akun Twitternya pernyataan sikap ULMWP (United Liberation Movement for West Papua) yang diwakili ketuanya Benny Wenda, menyatakan bahwa kerusuhan di Manokwari bukan hanya soal pengepungan asrama Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Malang, melainkan juga banyak rangkaian peristiwa diskriminatif lainnya yang dialami orang-orang Papua mulai dari penangkapan terhadap pelajar Papua di asrama mahasiswa di Surabaya, hingga penahanan dan pemukulan peserta aksi di Jayapura hari Kamis (15/8) yang mendukung seruan kemerdekaan Papua oleh ULMWP di Forum Kepulauan Pasifik (PIF). Benny menyayangkan bahwa masih banyak orang Papua yang diteriaki “monyet” dan “diusir pulang,” tidak bisa menuntut kemerdekaan tanah mereka sendiri, sementara Indonesia baru saja merayakan dirgahayu kemerdekaan ke-74 hari Sabtu (17/8). (Sumber: matamatapolitik)