Catatan Siang
SBSINews – Berita tentang keluhan Direktur Utama (Dirut) RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) tentang kesulitan yang dialami RSCM karena utang BPJS Kesehatan menjadi viral di medsos saat ini. Sang Dirut mengeluhkan tentang kesusahan untuk mendapatkan obat dan alat kesehatan, hingga meminjam dana kepada bank. “Kita direpotkan sekali karena kasus-kasus keterlambatan atau kurang bayar dari BPJS Kesehatan, kita harus menghadapi vendor sampai harus menghentikan beberapa pelayanan, pasien harus dipulangkan karena tidak jadi operasi karena tidak ada obat bius”, demikian keluhan lanjutannya.
Saya menilai keluhan Dirut tersebut sangat ekstrem, yang dengan tega mengorbankan perawatan pasien karena alasan BPJS Kesehatan belum membayar utang klaimnya ke RSCM. Pemberitaan tentang keluhan ini belum mendapat tanggapan atau klarifikasi dari pihak RSCM.
Bila memang pernyataan Dirut RSCM tersebut benar, ini artinya pasien telah dikorbankan dan sudah terjadi penegasian hak pasien untuk dilayani di RSCM. Asas penyelenggaraan RS yang diamanatkan Pasal 2 UU No. 44 Tahun 2009 tentang RS telah benar-benar diabaikan RSCM. Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Keselamatan pasien digadaikan oleh RSCM karena utang klaim dari BPJS Kesehatan belum dibayar.
Atas dasar dan alasan apapun RS tidak boleh mengorbankan keselamatan pasien. Walaupun RSCM belum dibayar utang klaimnya oleh BPJS Kesehatan sehingga cash flow RSCM terganggu, RSCM tidak boleh menghentikan pelayanan kepada pasien JKN apalagi sampai pasien harus dipulangkan karena tidak jadi operasi karena tidak ada obat bius. Saya berharap pengakuan sang Dirut harus diinvestigasi oleh Kementerian Kesehatan sehingga tidak menjadi preseden buruk ke depan nantinya.
Memang benar ada persoalan belum dibayarkannya klaim RS oleh BPJS Kesehatan karena memang BPJS Kesehatan mengalami defisit. Di tahun keenam saat ini pun aset DJS (Dana Jaminan Sosial) BPJS Kesehatan terus mengalami defisit, seperti tahun-tahun sebelumnya. Dengan utang klaim ke RS per 31 Desember 2018 sebesar Rp. 9,1 Triliun (hasil audit BPKP) dan defisit bulanan sekitar 1 triliun lebih diperkirakan, oleh BPJS Kesehatan, defisit tahun ini akan mencapai Rp. 28 Triliun.
Sebenarnya RS tidak akan mengalami persoalan dengan cash flow-nya ketika terjadi keterlambatan pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan bila RS mau menggunakan instrumen SCF (Supply Chain Financing) dengan mendapat pinjaman dari perbankan. Pihak RS akan membayar bunga pinjaman ke bank dengan menggunakan denda 1 persen per bulan yang diperoleh RS dari BPJS Kesehatan atas keterlambatan pembayaran klaim. Denda yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan tersebut mengacu pada Pasal 75 ayat (5) Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Dan tentunya bunga pinjaman yang diberikan bank ke RS dengan instrument SCF tersebut di bawah 1 persen per bulan sehingga RS pun masih mendapatkan selisih untung dari denda yang dibayarkan BPJS Kesehatan.
Bila merujuk pada surat BPJS kesehatan ke PERSI (Persatuan RS seluruh Indonesia), per 30 April 2019, telah ada kucuran pinjaman dari perbankan kepada RS sebesar Rp. 5.1 Triliun. Jumlah RS yang sudah memanfaatkan SCF ini sebanyak 630 RS dari 26 lembaga perbankan. Dan bila membandingkan dengan utang klaim yang belum dibayarkan BPJS Kesehatan ke RS per 30 April 2019 yaitu sebesar Rp. 5,3 Triliun, maka sebenarnya hanya ada sekitar Rp. 200-an miliar utang kalim RS yang belum dibantu dengan instrument SCF.
Saya menilai dengan jumlah sekitar 200-an miliar utang klaim yang belum dibantu perbankan, yang tersebar di seluruh RS yang telah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi RS untuk mengorbankan pasien JKN dengan tameng alasan belum dibayarnya klaim oleh BPJS Kesehatan.
Mengingat SCF ini sangat membantu persoalan RS dan jumlah lembaga perbankan yang turut serta masih sekitar 26 lembaga maka seharusnya pihak Bank Indonesia dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) juga mendorong seluruh lembaga perbankan bersedia mendukung SCF ini dengan tidak memberlakukan persyaratan-persyaratan sulit bagi RS, walaupun tetap dengan menjalankan proses yang pruden.
Instrumen SCF memang dapat membantu cash flow RS namun tetap focus utama Pemerintah dan BPJS Kesehatan adalah bagaimana dapat mengatasi defisit tahun ini yang nilainya diperkirakan akan lebih besar dibandingkan tahun-tahun seblumnya. Mengacu pada data per 30 April 2019, BPJS Kesehatan telah membukukan cadangan teknis bagi Liabilitas Pelayanan Kesehatan Dalam Proses sebesar Rp. 3,58 Triliun dan cadangan teknis bagi Liabilitas Pelayanan Kesehatan Belum Dilaporkan sebesar Rp. 20,07 Triliun. Itu masih sampai akhir April, belum lagi untuk bulan-bulan berikutnya sampai akhir Desember 2019 nanti.
Program JKN sudah banyak memberikan manfaat kepada rakyat Indonesia dan oleh karenanya Pemerintah dan BPJS Kesehatan serta stakeholder lainnya harus serius mencari solusi atas masalah defisit Program JKN ini. Jangan sampai JKN menjadi program yang hanya berumur kurang dari sepuluh tahun dan kesehatan rakyat Indonesia menjadi terabaikan.
Pinang Ranti, 20 Juli 2019
Tabik
Timboel Siregar