Singkat namanya, mudah mengingatnya.
Setiap tanggal 24 Desember, menjelang Hari Raya Natal, saya selalu mengingat nama singkat itu dan menyelipkan sepotong doa untuknya: kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa menempatkan dia di tempat terbaik-Nya.
24 Desember tahun 2000, Gereja Eben Haezer, Mojokerto, Jawa Timur, terisi penuh oleh jemaat. Tak ada bangku kosong. Malam itu adalah ibadah Natal.
Tiba-tiba terjadi kegaduhan kecil di tengah ibadah. Jemaat gempar karena mendapati ada bungkusan lumayan besar, mirip kado, terselip di antara deretan bangku.
Benda yang berada di tempat tidak sewajarnya itu tentu mengundang perhatian.
Seseorang lalu menyeletuk soal bungkusan kemungkinan berisi bom. Makin paniklah orang-orang.
Riyanto, 25 tahun, anggota Banser-NU yang kala itu secara sukarela menjaga gereja menjelang perayaan Natal, membukanya dan tampaklah kabel-kabel terjulur keluar.
Secara refleks ia membawa keluar bungkusan. Riyanto tahu ada ratusan jemaat pria-wanita dan anak-anak di dalam gereja.
Bungkusan ia bekap dengan tubuhnya. Tujuannya satu: membuangnya ke tempat sampah di depan gereja.
Naas, sebelum sampai tujuan, entah karena guncangan hingga detonatornya terpicu, atau memang sudah waktunya: bungkusan itu benar-benar meledak!
Daya ledaknya luar biasa, hingga warga -konon- menemukan serpihan tubuh Riyanto pada jarak seratus meter!
Bisa dibayangkan bila bom yang dibekap Riyanto ini meledak di dalam ruangan tertutup, korbannya akan banyak sekali!
Efek ruangan tertutup akan memantulkan energi bom!
Jasa dan keberanian Riyanto memang luar biasa. Tak heran bila Kota Mojokerto mengabadikan namanya menjadi nama jalan, lengkap dengan gapura megah di depannya.
Presiden Abdurrahman Wahid, Gus Dur, sendiri menempatkan nama Riyanto sebagai nama bea siswa yang tiap tahun diberikan oleh Wahid Institut, organisasi nir laba yang dikelola keluarga mendiang Gus Dur, untuk mengenang keberanian Riyanto.
Riyanto adalah warga biasa sama seperti kita, yang terpanggil untuk bekerja melayani warga negara lain yang -kebetulan- sedang beribadah menyambut hari besar mereka.
Riyanto bukan tentara seperti, misalnya, Kopral Marinir Amerika: William Kyle Carpenter, yang membekap granat hidup dengan tubuhnya sendiri demi menyelamatkan nyawa kawan-kawannya di Afganistan, 21 Nopember 2010.
Keberanian Kyle, yang beruntung bisa bertahan hidup, mengantarnya memperoleh Medal of Honor, medali paling bergengsi dan tertinggi (hingga harus Presiden AS sendiri yang menyerahkannya) untuk mengukur jasa dan keberanian seseorang di medan perang.
Riyanto hanya orang biasa, tetapi tindakannya sungguh luar biasa.
Kepada Riyanto kita belajar: tentang luhurnya nilai persaudaraan dan sikap siap berkorban demi saudara sebangsa dan setanah air yang harus selalu kita jaga, tidak peduli dari agama apapun dan dari suku mana dia datang!
Riyanto, singkat namanya, tetapi akan selalu saya kenang.
Setiap Natal tiba, selalu terselip doa untuknya.
By : Gunawan W.