Bulan Agustus adalah bulan yang keramat dan penting bagi bangsa Indonesia, sebab menjadi momentum berdirinya sebuah negara yang berdaulat dan mengatur dirinya sendiri, bukan di bawah penguasaan dan diktean bangsa lain.
Begitu memasuki bulan Agustus, kita bisa tiba-tiba sentimental, tiba-tiba semua merasa nasionalis, dan begitu mencintai negara ini. Kita jadi ingin mendengarkan lagu-lagu nasional dengan penghayatan yang tidak biasa, tidak sebagaimana bulan-bulan yang lain.
Kisah kepahlawanan dan heroisme para pejuang di situasi genting ingin memproklamasikan kemerdekaan, seolah baru terdengar di telinga atau baru kita baca, padahal sudah berulang kali disampaikan, tapi ketika itu kita dapatkan di bulan Agustus, seolah itu terpampang nyata dan kita turut berada di barisan pemuda yang tegang bersama tokoh-tokoh revolusi.
Dulu, di masa Orba, Agustus menjadi bulan yang membuat kita kembali bernostalgia dengan masa-masa revolusi kemerdekaan dengan film-film perang yang ditayangkan. Efouria perayaan atas kemerdekan turut kita rasakan dengan kesemarakan lomba-lomba Agustusan yang diadakan sampai ke pelosok-pelosok kampung.
Bendera merah putih ditambah dengan umbul-umbul memenuhi jalan-jalan dan menjadi ornamen yang dipasang di bangunan-bangunan.
TV dan radio-radio selama Agustus gandrung memperdengarkan lagu-lagu nasional dengan aransemen musik yang lebih gempita. Kesemua itu, bukan hadir serta merta dan begitu saja, tapi memang direkayasa, agar bangsa ini, khususnya generasi muda, tahu dan mengenal sejarah.
Bangsa ini didesain agar di bulan Agustus mendapat suntikan semangat agar nyala api revolusi kemerdekaan 17 Agustus tetap berkobar disanubari anak-anak bangsa.
Tujuannya apa? agar kira merawat ingatan, bahwa bangsa ini merdeka bukan dari hadiah dan pemberian. Negara ini dibentuk bukan serba tiba-tiba, tapi lahir dari perjuangan panjang para pahlawan. Betapa banyak darah yang tertumpah dan nyawa yang melayang demi tercapainya kemerdekaan.
Itu semua harus diingat, agar generasi sekarang bisa terus punya tekad dan keinginan kuat untuk menjaga eksistensi negara ini.
Kita bisa melihat betapa menderitanya rakyat yang menjadi pengungsi di negara lain, karena negara mereka terus-terusan dirundung konflik dan perang.
Memiliki negara yang berdaulat dan aman, adalah anugerah besar yang harus disyukuri dan dijaga.
Dari sinilah, mengapa peringatan hari besar nasional itu penting. Kita memperingati hari kemerdekaan yang menandai berdirinya republik ini, hari sumpah pemuda, hari lahirnya Pancasila, hari kesaktian Pancasila, hari kebangkitan nasional dan lain-lain adalah agar bangsa ini disetiap generasinya tidak kehilangan pengetahuan akan sejarah perjalanan bangsanya.
Kealpaan akan sejarahnya, akan membuat sebuah bangsa gampang diombang-ambingkan dan kehilangan identitas. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, pesan Bung Karno yang akan terus relevan disetiap masa.
Diluar itu, peristiwa-peristiwa tragis, juga tidak boleh dilupakan. Tiap tahun warga China peringati Tragedi Tiananmen 1989, warga AS peringati tragedi runtuhnya menara kembar WTC, Eropa tiap tahun peringati tragedi holocaust, Palestina peringati tragedi Nakba 1948, Indonesia peringati tragedi G 30 S dan masyarakat Sulawesi-Selatan peringati tragedi korban 40 ribu jiwa.
Tragedi-tragedi itu diingat dan dikenang bukan untuk merawat dendam, atau mengajarkan ratapan dan menyesali nasib, melainkan mengingatkan kita untuk tidak lupa pada nyawa-nyawa yang menjadi korban pada tragedi-tragedi itu.
Pada altruisme dan pengorbanan mereka. Untuk kita yang hidup bisa menghargai kehidupan ini.
Untuk kita tahu alasan dan mengapa mereka menjadi korban. Untuk kita memahami betapa sejarah penuh dengan pergolakan antara kebenaran dengan kebatilan, pertarungan antara kelompok penindas dengan mustadafin, agar kita menjadi tahu kemana kita harus berpihak dan di garis mana kita harus berpijak.
Prinsip ini pulalah, mengapa tragedi Asyura penting untuk diperingati dan menghidupkan majelis-majelis yang mengenang kedukaannya.
Majelis Asyura mengingatkan, disetiap hari akan bermunculan Yazid-Yazid baru, dan disetiap tempat akan berkuasa Yazid-Yazid baru, karena itu Majelis Asyura penting dihidupkan, disemarakkan dan diramaikan, yang darinya diharap bisa lahir Husain-Husain baru, yang tidak hanya berdiri tegak menentang kezaliman Yazid namun menjadi pioner keruntuhan otoritarianisme.
Bung Karno, pendiri negara ini, dari pengakuannya belajar banyak dari revolusi Al-Husain. Perlawanan dan penentangannya pada kerakusan dan kebengisan penjajah terinspirasi dari perjuangan Imam Husain dan pasukannya di Padang Karbala. Kalimat yang populer di kalangan pejuang, “Lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup dijajah!” adalah semboyan yang diajarkan Imam Husain as.
Soekarno dalam bukunya, “Di Bawah Bendera Revolusi”, menulis, “Husain adalah panji berkibar yang diusung oleh setiap orang yang menentang kesombongan di zamannya, di mana kekuasaan itu telah tenggelam dalam kelezatan dunia serta meninggalkan rakyatnya dalam penindasan dan kekejaman.”
Jadi, bisa dikatakan perjuangan Soekarno dalam melawan penindasan kolonialisme dan imperialisme, diilhami oleh perjuangan Imam Husain.
Perjuangan Imam Husain dan Soekarno bersandar pada prinsip yang sama, keberanian melawan kezaliman.
Peristiwa Karbala itu adalah madrasah bagi para pemberani. Imam Husain dan para pengikutnya adalah pemberani.
Dan bangsa ini juga melahirkan banyak pemberani. Apa yang dilakukan Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Tan Malaka dan lain-lain dalam menentang kolonialisme dan imperialisme adalah keberanian.
Keberanian itulah yang membuat Indonesia bisa merdeka.
Dirgahayu RI ke-76, Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh!!!
Qom, 8 Muharram 1443 H
Ismail Amin Pasannai
Kota Makassar