SBSINews – Hidayat Matnoer MPP, Co Founfer Crisis Research Institute meramalkan berdasarkan anslisisnya bahwa krisis global akan terjadi tahun depan (2020).
Siapapun boleh percaya dan juga boleh tidak percaya. Tapi anslisisnya menarik juga disimak seperti uraian berikut ini.
Gawat memang jika benar-benar sampai terjadi. Karenanya antisipasinya perlu mulai dipikirkan sebelum terlambat.
Peringatan resesi global telah terjadi. Hal ini dapat dilihat dari perlambatan ekonomi dunia dan kehadiran the inverted yield curve (IYC) yaitu kurva imbal hasil yang terbalik.
Kurva IYC adalah kurva yang menunjukan adanya kerugian jika investor berinvestasi dijangka waktu panjang 10 tahun dibandingkan investasi jangka pendek 2 tahun.
Kurva IYC menjadi laporan suram ekonomi Amerika pada masa yang akan datang.
Meski demikian, banyak ekonom tidak setuju menggunakan kurva IYC untuk menunjukan dekatnya waktu resesi.
Kurva IYC dapat diperbaiki jika bank sentral melakukan intervensi yaitu mengembalikan yield investasi jangka panjang 10 tahun dengan cara membeli surat berharga T-Bill dalam harga yang tinggi.
Namun, sampai kapan bank sentral menjadi redemption bagi kelemahan sektor riil, bukankah berbahaya memanipulasi kinerja sektor riil dengan artifisial stimulus moneter oleh bank sentral?
Mengapa ada perdebatan.
Para ekonomi yang mendukung resesi tidak akan terjadi mengatakan bahwa angka penganguran AS terus membaik, ketegangan US-China dalam perang dagang sudah mereda karena konsesus dagang pada Juli 2019 lalu, geopolitik global pun masih positif yang ditandai lancarnya prosesi brexit di bawah kepemimpinan Boris Johnson meski mereka mengakui adanya perlambatan ekonomi secara global.
Sementara ekonom yang mengatakan resesi datang lebih cepat bercermin dari data siklus bisnis suram dan proteksionisme yang dianut banyak negara termasuk US dan UK.
Gangguan yang disebabkan oleh tarif dan kebijakan proteksionis telah memainkan peran besar dalam rusaknya pertumbuhan ekonomi seiring dengan terjadinya gelembung kredit di Cina.
*Memerahnya indikator saham dan penurunan laba perusahaan.*
Margin laba bersih S&P 500 untuk kuartal ketiga (September) diprediksi sebesar 11,3% di bawah kurtal kedua (11,5%) namun lebih baik daripada kuartal pertama 11%.
CNBC melaporkan (21/10) menyatakan bahwa ada 9 dari 11 sektor industri yang melaporkan terjadi penurunan laba bersih untuk Q3 2019 dibandingkan Q3 tahun 2018 yaitu penurunan laba sektor energi 5,4% versus 8,1%, dan sektor teknologi informasi 20,6% dari 23%.
Indikator sektor perbankan dan keuangan menunjukan terjadinya pelemahan namun kebijakan relaksasi dari Bank Sentral dapat mengurangi pelambatan tersebut.
Tanda resesi yang paling utama dalah jatuhnya keuntungan operasional perusahaan yang diikuti dengan angka pengangguran yang naik tinggi. Kedua hal tersebut meski belum terlihat namun diprediksi akan terjadi tahun 2020.
Tanda lain dari resesi adalah keuntungan perusahan mencapai titik tertingginya sekitar 17 bulan sebelum resesi dan titik pengangguran terendah sekitar 10 bulan sebelum resesi.
Menurut FactSet data, laba untuk S & P 500 mencapai titik tinggi yaitu 12% terjadi pada kuartal ketiga (September) 2018, sebelum jatuh ke 11,2% dan tinggal menjadi stagnan sejak itu.
Melihat keuntungan perusahan yang terus menurun maka para ekonom sangat alert dan waspada. Keuntungan tertinggi perusahaan di Amerika terjadi pada Kuartal pertama (Maret) 2019 atau 12 bulan yang lalu sehingga prediksi resesi terjadi pada 5 bulan dari sekarang atau sekitar Maret 2020.
Tingkat pengangguran di Amerika turun di level 3.5% pada September 2019 yang merupakan tingkat pengangguran terendah sejak 1969. Titik terendah pengangguran tersebut merupakan petanda (symptom) dari 10 bulan sebelum resesi atau sekitar Juli/Agustus 2020.
Menggunakan metode tersebut, resesi Dunia diprediksi terjadi sekitar Maret-Agustus 2020.
Analis dari Ned Davis Research (ndr.com) menulis: Resesi diawali dengan margin keuntungan perusahaan mencapai puncaknya pada 17 bulan sebelumnya dan terjadi titik terendah tingkat pengangguran pada 10 bulan sebelumnya.
Penurunan keuntungan perusahaan menjadi pendahulu untuk terjadinya PHK besar-besaran. Biasanya saat perusahaan mencapai tahap akhir dari ekspansi bisnis, mereka sering memotong lebih dahulu biaya tenaga kerja untuk menjaga pertumbuhan pendapatan. Pengurangan tenaga kerja tersebut menjadi energi negatif yang mempercepat terjadinya resesi.
Analis Credit Suisse juga telah mewaspadai penurunan terbesar yang datang untuk perusahaan energi dan beberapa perusahaan teknologi dan komunikasi, seperti alfabet, Amazon, Apple dan Facebook
Credit Suisse mengatakan ada konsensus jika terjadi penurunan laba Amazon mencapai 50% maka pertumbuhan laba perusahan dalam listing S&P 500 hanya mencapai 0,3%.
Tahun 2020 diperdiksi akan terjadi penurunan laba perusahaan lebih lanjut karena tiga penyebab pertama adalah efek residu dari perang Dagang, kedua adalah biaya regulasi untuk perusahaan media sosial dan ketiga dalah turunnya harga minyak global sehingga 2020 diprediksi penurunan laba lebih besar terjadi pada sektor energi dan sektor teknologi.
Meski demikian, ada optimisme dari sebagian pelaku pasar dan akademisi. Mereka melihat stagnannya laba S&P 500 menjadi tanda keuntungan masih eksis.
Secara data, kenyataannya terjadi penurunan laba emiten pada dua sektor terbesar pada Oktober 2019 yaitu industri teknologi (-40 bps) dan industri keuangan (-80 BPS). Penurunan laba tersebut sebagian diimbangi oleh peningkatan laba untuk Industri umum (+ 30 BPS) dan Industri layanan kesehatan Health Care (+ 30 BPS). Jika laba operasi S&P 500 jatuh di atas 40 bps dari puncaknya, maka resesi ekonomi dunia akan berguncang lebih cepat lagi. (rmol/ Jacob Ereste)