Mungkin tak sedikit orang yang cermat memperhatikan substansi pengertian di balik frasa terorisme juga teroris, radikalisme juga radikalis dan intoleransi juga intoleran lalu menganggapnya ragam kata itu semacam sinonim.
Selain itu, maraknya polemik seputar isu politik dengan ragam stigma negatif seperti kadrun sebagainya bisa mengaburkan sumber persoalannya seolah istilah radikalis dan intoleran hanya sah sebagai cap bagi pihak yang punya pilihan politik yang tak sama dengan Pemerintah, setelah dikadurkan tentunya.
Teroris (pelaku aksi teror dengan motif ideologi kontra Pemerintah yang sah) pastilah radikalis. Radikalis (pendukung gagasan dan gerakan ideologis radikal kontra asas negara dan demokrasi) pastilah intoleran. Intoleran (menolak semua pandangan yang tidak dianut diri dan kelompok sendiri secara aktif melalui ujaran kebencian, persekusi dan provokasi) pastilah korban propaganda, hoax, indoktrinasi dan manipulasi penafsiran teks agama).
Intoleran tak mesti radikalis dan teroris. Intoleransi tak identik semata dengan kelompok atau organisasi yang secara nyata melakukan gerakan ideologis kontra asas negara dan Pemerintah juga tak selalu mengusung narasi khilafah sebagai pengganti Pancasila, UUD dan demokrasi.
Intoleransi adalah fenomena umum dalam masyarakat yang tidak familiar dengan heterogenitas sebagai konsekuensi niscaya dari proses interaksi sosial seragam dalam lingkungan primordial di bawah kendali otoritas kultural temurun kelompok atau organisasi sosial keagamaan yang legitimasi otoritas keagamaan.
Dalam proses interaksi yang intensif itu intoleransi tentu tidak dianjurkan, namun yang dilakukan adalah indoktrinasi kemutlakan persepsi dan metode (mazhab, manhaj dan visi misi) yang secara niscaya menghasilkan penolakan semua pandangan lain dengan stigma sesat. Pada hakikatnya, indoktrinasi intoleransi adalah taktik proteksi terhadap kekuasaan kultural yang telah menjadi warisan dan kapital yang amat berharga.
Tak sampai di situ, jargon toleransi dan moderasi pun diakuisisi dan mencitrakan diri sebagai paling gigih memperjuangkan toleransi terhadap kelompok minoritas tak seagama, yang tentu tak dipandang sebagai rival potensial, seraya tetap mempraktekan intoleransi dalam ragam bentuknya (persekusi dan provokasi) terutama di wilayah pengaruhnya dilakukan secara sistematis hingga struktur terendah dan akar rrumput.
Meski nyata intoleransi terjadi dan secara vulgar melanggar konstitusi dan asas legalitas, pemegang otoritas fornal strukrural tak mampu dan tak terlihat antusias menegakkan hukum secara adil karena pertimbangan stabilitas tanpa keadilan dan kadang karena kepentingan politik.
Karena target intoleransi berupa penyesatan dan diskriminasi adalah kelompok kecil intra agama, dan karena massa pelakunya bukanlah kelompok-kelompok ideologis kontra negara dan Pemerintah, bahkan dianggap sebagai elemen pendukungnya juga penentang radikalisme yang kerap membawa-bawa khilafah, maka aksi-aksi persekusi berjalan lancar dengan restu eksplisit dan implisit dua sentra otoritas tersebut seolah toleransi dalam kehidupan sosial adalah fakta.
Pembiaran intoleransi yang menyasar sebuah kelompok minoritas intra agama dikonfirmasi oleh pemberian hak legal kepada gerombolan intoleran untuk membangun aliansi semua elemen intoleran lintas ormas dan afiliasi politik dalam sebuah organisasi yang mencantumkan “anti” kelompok minoritas seagama itu dalam nama resminya.
Selama tidak mengusung khilafah, tidak memobilisasi massa untuk aksi-aksi menentang Pemerintah juga konsisten teriak NKRI harga mati, kezaliman terhadap rakyat yang ditirikan ini terus terjadi.
Penulis
Dr Muhsin Labib MA