Oleh: Andi Naja FP Paraga
Polarisasi Politik lima tahun terakhir sejak 2014 – 2019 merupakan fakta tak terbantahkan menjadi penyebab besarnya kualitas disintegrasi dalam pengertian yang lebih luas.
Hadirnya gerakan-gerakan politik sejak kasus AHOK menjadi entry point polarisasi hingga munculnya opini dan kampanye hate speech telah semakin melebarkan polarisasi ditengah kehidupan berbangsa.
Frase – frase mengerikan yang tumbuh seperti jamur dimusim hujan menambah ketegangan berkepanjangan.
Penumpang Gelap HTI, Radikalisme dan Ekstrimisme pun ikut memberi andil ketegangan berkepanjangan itu.
Quick Count hasil pemilu menjadi faktor penyebab berikutnya hingga hasil Real Count yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum(KPU) hingga hasil Sidang Perselisihan Hasil Pemilu dituntaskan di Mahkamah Konstitusi.
Namun Fakta lain muncul gugatan yang sama di MA hingga berita persoalan perselisihan ini akan dibawa ke Mahkamah Internasional.
Tentu semua ini semakin menambah polarisasi yang seharusnya sudah berakhir dengan terbitnya Keputusan Mahkamah Konstitusi.
Pertemuan Jokowi – Prabowo Sabtu 13/07/2019 sebagai langkah awal rekonsiliasi memang sebuah langkah yang tepat walaupun tentu hal ini belum cukup untuk menghentikan polarisasi itu.
Langkah rekonsiliasi berikutnya adalah bagaimana Koalisi Merah Putih (KMP) bersungguh – sungguh mendukung pemerintah terutama didalam mengambil keputusan – keputusan di Parlemen.
Jika KMP menjadikan momentum pengambilan keputusan di DPR RI sebagai langkah konkritnya dapat dipastikan makna rekonsiliasi menjadi REAL RECONSILIATION.
Namun jika tidak maka rekonsiliasi ini hanyalah panggung politik baru yang tidak menguntungkan untuk Indonesia.
Kalimat Prabowo Subianto” Siap membantu Jokowi” tentu hal yang sangat dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat indonesia mengingat PS adalah Tokoh Sentral KMP dan Nakhoda Tunggal KMP.
Mampukah PS membuktikan kalimatnya setidaknya ketika Partai GERINDRA menyelenggarakan Kongres berikutnya memberikan kesempatan kepada Presiden Joko Widodo untuk memberikan Kata Sambutan sebagaimana yang sudah dilakukan Partai Demokrat.
Mampukah PS mengkonsolidasikan hal yang sama terhadap Partai Keadilan Sejahtera(PKS) yang naga-naganya akan menjadi Oposisi Tunggal karena PKS adalah bagian dari KMP. Rasanya inilah Pekerjaan Rumah(PR) terberat dari Prabowo Subianto mengingat PKS seakan tidak menjadi bagian dari KMP karena telah menerima hasil pemilu sebelum sidang sengketa pilpres di MK.
Rasanya rekonsiliasi bersyarat pun harusnya dilakukan bukan pada persoalan hukum seperti tawaran yang menimpa pendukung KMP melainkan pada hal-hal substansif seperti menyatukan Visi Misi Kebangsaan, kawin silang program dan saling dukung mendukung hingga pada tingkat DPR RI – DPRD propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, agar dengan demikian seluruh program dapat dieksekusi lebih cepat menjadi program pemerintah pusat dan daerah lima tahun mendatang.
Rekonsiliasi Ideologi juga sangat penting terutama bagaimana menyepakati dibubarkannya Hizbut Tahrir Indonesia(HTI) dari Bumi Indonesia.
Inilah Rekonsiliasi yang sesungguhnya yang harus dilakukan dengan sungguh – sungguh. Alhasil Rakyat Indonesia menerima sepenuhnya langkah awal rekonsiliasi ini dan seperti pesan Joko Widodo yaitu tidak ada lagi Frase CEBONG dan KAMPRET, tidak ada lagi Pendukung 01 dan 02 semuanya adalah bangsa Indonesia.
Prabowo Subianto pun menegaskan bahwa semuanya adalah MERAH PUTIH.
Hari ini jelas menjadi hari bersejarah bagi kita semua dan MRT Lebak Bulus hingga MRT Senayan dan tempat keduanya menikmati makan siang yang dipercepat menjadi bukti telah dimulainya babak baru rekonsiliasi bangsa.
Terimakasih Bapak Joko Widodo dan Bapak Prabowo Subianto yang telah mewujudkan Simbol Rekonsiliasi Bangsa. (ANFPP)