Buruh/pekerja adalah asset perusahaan yang mendatang penghasilan dan keuntungan bagi Perusahaan, dengan mengeluarkan keringat serta tenaga para buruh bekerja untuk menghidupi keluarga dan anak-anaknya dan itulah rutinitas yang mereka lakukan sehari-hari bahkan tidak terpikir bagi mereka untuk memiliki mobil mewah, rumah mewah apalagi menikmati tour keluar kota atau tour keluar negeri.
Pukul 06.00 pagi para buruh/pekerja berbondong-bondong untuk apel pagi mendengarkan arahan assiten dan mandor sebelum bekerja di lahan, setelah selesai arahan dari para assisten dan mandor baru mereka bekerja di ancak (lahan) yang sehari-hari tempat mereka bekerja bagi pemanen, dan lahan yang lainnya bagi pekerja perawatan (pemupuk, penyemprot dan penebas semak belukar) atau pekerja lainnya. Sistem kerja yg di berikan cukup bervariasi ada sistem waktu 8 jam sehari dalam seminggu dengan 5 hari kerja, 7 jam sehari dalam seminggu enam hari kerja serta hari libur istirahat atau bagi yang mau bekerja di hitung lembur atau ada sistem borongan, untuk menjaga agar semua ini berjalan dengan baik oleh perusahaan di buatkanlah Perjanjian Bersama (PB) atau Peraturan Perusahaan (PP) bahkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) namun diatas segalanya tidak menjadi mutlak implementasi dari beberapa Perjanjian/Peraturan tersebut terlaksana di lapangan bahkan peraturan yang timbul seketika itulah yang berlaku dan menjadi SOP Perusahaan, Sungguh tragis sekali.
Kehadiran Serikat Buruh/Serikat Pekerja dilingkungan perusahaan diharapkan membawa perubahan bagi nasib Buruh/Pekerja namun upaya tersebut juga di jegal oleh pihak perusahaan dengan mendirikan Serikat Pekerja Tingkat Perusahaan (SPTP) yang notabene semua pengurusnya adalah management perusahaan sehingga dengan seenaknya mereka mengclaim bahwa buruh/pekerja mereka adalah anggotanya. Hadirnya UU 21 Tahun 2000 Tentang Kebebasan Berserikat juga di harapkan membawa dampak yang positif bagi Buruh/Pekerja namun hal ini juga hanya sekedar isapan jempol belaka, disaat Buruh/Pekerja mendirikan SB/SP maka hukuman yang diterima mereka adalah mutasi atau sanksi PHK dan mirisnya ketika semua ini di laporkankan kepihak yang berwajib belum pernah ada yang terpidana pada saat kebebasan berserikat tersebut di kekang oleh kaum kapitalis.
Untuk menjamin Perlindungan Buruh/Pekerja dalam bekerja serta Kesejahteraan Buruh/Pekerja Pemerintah kembali mengundangkan UU Nomor 03 Tahun 1999 Tentang Jamsostek, dan UU Nomor 24 Tahun 2004 Tentang BPJS dengan harapan agar setiap buruh terlindung dan ada jaminan dalam kehidupan mereka sehari-hari pada saat melaksanakan aktivitas mereka seperti halnya (Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian dan Jaminan Hari Tua) dengan berbagai jaminan tersebut masih ada yang belum mendapatkannya bahkan sangat banyak yg tidak mendapatkan jaminan tersebut. Dengan peralihan JAMSOSTEK ke BPJS semakin sempurnalah perlidungan dan jaminan yg di dapatkan Buruh/Pekerja, Jaminan Kesehatan di kelola oleh BPJS Kesehatan begitu juga dengan Jaminan Kecelakaan Kerja ( JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan, berbagai harapan senantiasa diharapkan membawa perubahaan di kalangan Buruh/Pekerja kehadirian UU Nomor 24 Tahun 2014 sungguh di luar dugaan ternyata masih banyak sekali buruh/pekerja yg tidak terdaftar di BPJS terus dimana hukum itu apakah betul hukum itu tumpul keatas dan tajam kebawah, yang sakit tidak dapat berobat, yang kecelakaan kerja di telantarkan, yang di PHK sudah bekerja 5,6,7,8,9 bahkan 10 tahun saldo JHT masih saja 2,5 juta.
Wahai kaum buruh mengapa kalian hanya diam saja dan tidak bersuara untuk menuntut itu semua, apakah kalian takut tidak bekerja, apakah kalian takut di PHK atau takut tidak dapat upah ….?dari beberapa UNDANG-UNDANG yang ada tersebut hadir juga UU Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerja yang di harapkan menjadi surat sakti bagi Perjuangan Buruh/Pekerja seperti halnya tentang PHK yang di atur dalam Pasal 151 “Pengusaha, pekerja/buruh, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, dan Pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”. Dari pasal ini upaya yg telah dilakukan tetap berujung pada PHK dengan alasan telah terjadi disharmonis.
Pemerintah yang memiliki power segalanya masih juga tidak bisa menunjukkan kekuasaanya untuk mempertahankan Buruh/Pekerja yang di PHK tersebut menurut Pasal 151 terkesan pemerintah juga membela pengusaha sehingga bertambahlah pengangguran di Republik ini. (Henrik Hutagalung)