Kompasnasional l kalangan buruh dan pejabat dari tingkat daerah sampai nasional pasti sudah tidak asing lagi. Karena dia adalah salah satu aktivis buruh yang mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) pada tanggal 25 April 1992 di Cipayung, Jawa Barat. Saat itu, ada beberapa tokoh besar yang turut hadir memprakarsai pembentukan organisasi buruh. Seperti Gus Dur, Rachmawati Soekarnoputri, Sabam Sirait dan dokter Sukowaluyo Mintohardjo. Dalam pertemuan perdana tersebut, Mucthar Pakpahan lalu terpilih menjadi Ketua Umum SBSI yang pertama.
Masa Cilik di Kampung Halaman
Pria kelahiran Bah Jambi 2 Tanah Jawa Simalungun, Sumatera Utara pada 21 Desember 1953 ini, menghabiskan masa kecil di kampung halaman bersama keluarga besar. Dia memulai sekolah di Sekolah Dasar 06 (selesai 1966) serta Sekolah Menengah Pertama di Tanah Jawa (selesai 1969), Simalungun, tidak jauh dari rumahnya. Muchtar panggilan akrabnya, selama menempuh pendidikan di tanah kelahiran hidup bahagia bersama kedua orang tua, dan menjalani kehidupan seperti anak-anak lain yang mendapatkan perhatian serta kasih sayang.
Sejak menjadi mahasiswa dia lantang bersuara dan melakukan aksi protes atas ketidakadilan yang dialami oleh kaum buruh, petani dan nelayan di bawah rezim orde baru yang membungkam ruang demokrasi menggunakan moncong senjata. Muchtar kemudian memulai karier dari bawah sebagai reporter Koran Sinar Harapan Edisi Sumatera Utara (1975-1976), dari situ semangatnya semakin tumbuh untuk membela kaum terpinggirkan.
Di kampus dia juga aktif berorganisasi dan menduduki jabatan strategis. Seperti menjadi Senat Mahasiswa Fakultas Hukum USU, dan BPC GMKI Medan Masa Bakti 1978-1979. Militansi dan komitmennya dalam medan layan tidak perlu diragukan lagi. Setelah menjadi Sarjana Hukum dia lalu membuka kantor pengacara bersama rekan-rekan, dan menjadi advokat sejak 1985. Mereka fokus pendampingan hukum bagi petani, buruh dan nelayan yang tersangkut masalah hukum ataupun melakukan advokasi memperjuangkan hak-hak.
Hal ini menyebabkan dia sering kali dianiaya bahkan sampai pada ancaman pembunuhan oleh militer ataupun orang suruhan. Penderitaannya tidak sampai di situ, berulang kali mendapatkan intimidasi serta keluar masuk penjara dengan tuduhan menghidupkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedekatan dengan gerakan buruh, tani dan nelayan mengakibatkan dia dicap bagian dari PKI. Di mata rezim orba, PKI adalah dalang atas semua peristiwa kelam tahun 60an.
Maka orang-orang yang dianggap simpatisan dan anggota PKI hukumnya wajib dilenyapkan atau penjara tanpa proses peradilan. Bukan hanya itu, mereka dibuang ke tempat pengasingan di berbagai daerah. Melalui kekuatan militer, negara dengan seenaknya membungkam setiap gerakan perlawanan rakyat. Aktvis-aktivis yang dinilai lantang bersuara mengkritik pemerintah ditangkap lalu dijebloskan ke dalam penjara, salah satunya Muchtar Pakpahan.
Lelaki yang sempat menjadi dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan tahun 1981-1986 tersebut, dipecat atas perintah langsung Pangdam Bukit Barisan karena dianggap menghidupkan PKI. Selain jadi dosen di kampus tersebut, dia juga dipercaya menjadi Sekretaris Eksekutif Unit Bantuan Hukum pada rentang waktu 1982-1984.
Dia lalu merantau ke Jakarta dan selama di sana mengajar pada Universitas Kristen Indonesia dan Universitas Tujuh Belas Agustus (1990-1994). Beliau berkarir di UKI sebagai dosen Fakultas Hukum UKI Jakarta, sekaligus Ketua Jurusan Hukum Tata Negara FH UKI Jakarta pada rentang waktu 1988-1990. Tahun 1994 dia tertangkap di rumah, selanjutnya dibawa ke Rumah Tahanan Tanjung Gusta Medan.
Dari balik jeruji besi lagu perjuangan serta teriakan-teriakan perlawanan terus berkumandang tanpa merasa takut sedikitpun. Namun sebelum meringkuk di penjara Muchtar telah terpilih sebagai ketua SBSI tahun 1992 hingga 2003. Selain itu, beliau juga menjadi salah satu Ketua DPP Persatuan Intelligensia Kristen Indonesia (PIKI) tahun 1989-1993.
Mendekam dalam penjara tidak sedikitpun membuat idealismenya pudar. Sekeluar dari Rumah Tahanan Tanjung Gusta, Muchtar tetap konsisten di garis depan perlawanan. Juli 1996, dia kembali ditangkap dan dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang karena menulis buku “Potret Negara Indonesia”. Karyanya itu dianggap membahayakan Orde Baru sehingga hampir dikenakan ancaman pidana seumur hidup.
SUMBER : KOMPASNASIONAL.COM