PRASANGKA TERHADAP PEREMPUAN

Topik yang kami diskusikan di kelas pekan ini cukup menarik dan, di luar dugaan, disambut dengan antusiasme oleh mahasiswa. Beberapa kelas yang biasanya agak ‘hening’ (karena dilaksanakan di siang hari) entah kenapa tiba-tiba rame dan aktif. Mungkin karena temanya sedang ‘in’ dan hangat di kalangan mahasiswa Australia. Apalagi konon Presiden Mahasiswa UQ tahun ini adalah seorang aktivis kiri-feminis yang didukung oleh dua faksi besar kelompok Partai Buruh yang memang dominan di UQ. Dan juga, selama 4 tahun saya berkuliah dan mengajar/nutor di UQ, banyak isu-isu gender, perempuan, dan seksualitas yang dibicarakan dan diperdebatkan oleh mahasiswa, staf akademik, dan tentu serikat pekerja kampus.

Salah satu dari sekian banyak isu yang kami perdebatan di 4 tutorial yang saya ampu adalah soal ‘prasangka’ terhadap perempuan. Seorang mahasiswa berargumen bahwa salah satu ide yang muncul di kalangan feminis adalah kritik terhadap “prasangka buruk” terhadap perempuan, dan pandangan yang menyepelekan hal-hal rumah tangga. Seakan-akan mereka yang memilih untuk merawat rumah tangga atau berada di rumah (baik laki-laki atau perempuan) adalah mereka yang tidak berkontribusi terhadap negara dan masyarakat, tidak bekerja, dan jadi beban.

Hal ini mengingatkan saya pada apa yang terjadi pada seorang figur publik yang kebetulan mendapatkan beasiswa pemerintah di Indonesia, dan sepulangnya memilih untuk “menjadi ibu rumah tangga”. Banyak netizen yang mengecam itu sembari berkomentar “jauh-jauh disekolahkan ke luar negeri kok malah jadi ibu rumah tangga”. Beliau memang pasangan baru yang memilih untuk fokus di keluarga daripada “berkontribusi” secara profesional.

Apakah yang beliau lakukan itu keliru? Tentu saja tidak. Tapi ini menceritakan tentang ‘prasangka’ terhadap ibu rumah tangga (apalagi bapak lho ya) dari masyarakat Indonesia yang melihat kontribusi pada negara itu ya dengan cara bekerja. Seakan-akan kalau kita memilih untuk membesarkan anak sembari mengelola rumah tangga itu dianggap tidak bekerja. Cara pandang ini adalah sebagian bentuk “prasangka” terhadap perempuan yang dalam banyak hal jadi kritik gerakan feminisme.

Padahal yang namanya di rumah itu kerjanya jauh lebih capek dan bermanfaat daripada di kantor. Apalagi jika punya anak! Dan dalam banyak hal mengelola rumah tangga juga jauh lebih berkontribusi bagi bangsa karena kita bisa mendidik anak secara lebih baik, menyiapkan lingkungan yang baik bagi keluarga, atau (bagi yang belum punya anak) bisa memberikan kesempatan untuk menambah skill dan pengetahuan yang tidak bisa didapatkan di dunia kerja.

Hal yang demikian kemudian jadi refleksi bagi masyarakat kita yang berpikir tentang ‘kerja’ dalam kerangka kapitalisme. Perdebatan kami di kelas kemudian mengarah pada isu ‘interseksionalitas’ atau keterhubungan antara satu bentuk penindasan dengan penindasan lainnya. Lho jangan-jangan selama ini prasangka terhadap perempuan ya juga adalah isu kelas, karena ada prasangka terhadap ibu yang dianggap tidak bekerja dan tidak berkontribusi pada kapitalisme (atau kapitalisme negara, mengingat karakter beasiswa pemerintah sekarang)? Yang kemudian juga meniscayakan adanya ‘penitipan anak’ yang lebih terjangkau, dukungan terhadap ibu untuk menyusui dan fleksibel di dunia kerja, serta ‘cuti melahirkan’ yang mestinya juga tidak diperuntukan bagi ibu, tapi juga bapak.

Sayangnya kelas kami hanya satu jam, akhirnya saya terpaksa harus mengakhiri karena tutorialnya sudah selesai dan saya juga harus menutor kelas lain, hehe.

Penulis
~ Ahmad Rizky Mardatillah Umar ~

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here